Sarjana muda, Omnnibus Law menantimu.
Lpmarena.com – “Semua rapatkan barisan! Jangan sampai ada yang keluar!” teriak perempuan berjeans dengan kerudung pink itu. Dia mondar-mandir mengatur masa aksi dan sesekali berkordinasi dengan koordinator lain.
Di samping masa aksi yang diaturnya, gerombolan siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) duduk di pos security Universitas Gadjah Mada (UGM). Kebanyakan mereka memakai celana sekolah abu-abu, atasan hoodie, dan topi.
“Mas, foto. Kami anak STM,” pinta mereka pada laki-laki yang membawa kamera dari atas pos security.
Pagi itu, (8/10/), Bundaran UGM dipenuhi massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB). Setelah sebelumnya, gaungan tagar #JogjaMemanggil dan #MosiTiakPercaya trending di jagat maya. Massa yang hadir tidak hanya mahasiswa. Ada juga pelajar, buruh, simpatisan organisasi, dan warga sipil biasa.
Mereka mengecam pengesahan UU Omnibus Law yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), 5 Oktober lalu. Salah satu tuntutan massa adalah cabut UU Cipta Kerja.
Pukul sebelas kurang seperempat, massa belum juga berjalan. Beberapa aliansi baru berdatangan. Polisi sudah bersiap di pinggiran jalan. Ada yang duduk di atas motor, mengatur lalu lintas, dan sisanya berdiri berjajar.
Sembari itu, Mutia juga mulai sibuk mengontrol barisan dan berulang kali meminta peserta aksi agar tetap tertib. Saat Mutia dalam kondisi luang, saya mendekat dan mengajaknya ngobrol.
Mutia jadi salah satu calon sarjana muda yang gelisah dengan sahnya Omnibus Law sebagai undang-undang. “Saya pengen kerja di kejaksaan,” tuturnya.
“Tapi, dengan disahkannya Omnibus Law membuat saya khawatir. Saya bisa jadi bekerja sebagai pegawai kontrak seumur hidup,” timpal Mutia.
Mutia berasal dari Papua. Dia merantau ke Yogyakarta tiga tahun lalu. Sesemester lagi Mutia akan menyandang titel sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Menurut Mutia, pengesahan Omnibus Law tersebut mengancam masa depannya sebagai calon sarjana. Dia menyoroti pasal outsourcing atau pekerja kontrak dalam UU Cipta Kerja.
“Kalau bicara pasal Omnibus Law tentang pegawai kontrak, itu sensitif. Apalagi kita sebagai sarjana, lalu menjadi pegawai kontrak seumur hidup,” keluhnya.
***
Massa aksi berangkat menuju menuju Tugu Pal Putih, sebelum melanjutkan ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta sebagai titik akhir aksi, Kamis (9/10/2020). Dalam rombongan itu ada Rifky, mahasiswa Agroteknologi. Sama seperti Mutia, dia sekarang memasuki kuliah tingkat akhir.
Rifky berangkat dari UMY sekitar pukul setengah sembilan pagi. Dia bersama rekan-rekannya menuju Bundaran UGM dengan sepeda motor.
Mahasiswa asal Bandung itu kesal dengan kelakuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengesahkan Omnibus Law menjadi undang-undang. “UU ini akan merugikan petani dan menguntungkan para investor,” kata Rifky.
Rifky bercerita bahwa keluarganya adalah pertani. Kelak, ketika dia menjadi sarjana, di juga akan berkecimpung di dunia pertanian. Tapi, kata Rifky, Omnibus Law mengancam tanah petani untuk keperluan investasi.
“Kakek nenek saya seorang petani. Saya juga mengambil jurusan yang berhubungan dengan pertanian. Omnibus Law ini akan melemahkan dan mematikan mereka [petani-red],” jelasnya.
Kehawatiran Mutia dan Rifky juga dirasakan Dina, mahasiswi semester sepuluh di Fisipol UGM. Dia tidak habis pikir bagaima nasib pekerja perempuan yang hal dasarnya tidak terakomodir dalam UU Cipta Kerja. Terlebih, kelak Dina ketika selesai kuliah dan akan mulai bekerja sebagai pekerja perempuan.
Dina mengikui aksi penolakan Omnibus Law karena isu ketidakadilan perempuan dalam UU Cpta Kerja. “Hak-hak pekerja perempuan diabaikan,” tegasnya.
Kecemsan Dina semakin menjadi, temannya terjebak dalam bentrok massa dengan aparat di halaman gedung DPRD.
Hari sudah sore, Dina meninggalkan obrolan kami dan memastikan temannya dalam kondisi baik. Massa aksi berhamburan oleh gas air mata. Ambulans hilir mudik mengevakuasi massa aksi yang terluka dan sesak nafas.
Azan magrib berkumandang, aparat tambah agresif membubarkan massa. Dibantu beberapa warga, aparat memburu massa aksi yang coba mengamankan diri. Hari itu, 9 Oktober dini hari, 95 massa aksi ditangkap dan ditahan di Polresta Yogyakarta.
Reporter: Atikah Nurul Ummah | Redaktur: Hedi