Home BUKU Tiga Cerita Cinta Babak Belur dari Raymond Carver

Tiga Cerita Cinta Babak Belur dari Raymond Carver

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Ketika seseorang berbicara tentang cinta, sufi Jalaluddin Rumi mungkin lebih sering disebut ketimbang cerpenis bajingan macam Raymond Carver. Cerpen Carver juga bukan referensi utama pasangan muda buat menjalani 50 tahun hubungan yang terus romantis. Bila Anda meyakini cinta bisa membuat hidup lengkap dan menyenangkan, Raymond Carver tak percaya itu. Bunga rampai cerpennya,What We Talk When We Talk About Love,merupakan contoh bahwa cinta cuma barang sial yang bikin sebagian hidup manusia jadi tragis.

Cerpen Carver berjudul Tuan Kopi dan Pak Utak-Atik adalah salah satu contoh cerita cinta yang tragis. Cerpen ini mengisahkan seorang laki-laki yang “dikhianati” ibunya, diselingkuhi istrinya, dan keluarganya hancur.

Suatu malam di musim panas, laki-laki tokoh utama tersebut ingin menumpang di rumah ibunya. Sesampainya di rumah, ia justru melihat ibunya berciuman dengan lelaki lain. Ibunya memang lajang. Umurnya 65 tahun, ditinggal mati sang suami. Namun, “Tetap saja, melihatnya indehoy bukan perkara sepele,” kata laki-laki itu.  Di dalam dirinya mungkin masih tersisa gejala mental yang, meminjam kata psikoanalis Sigmund Freud, disebut Oedipus Complex: fase psikoseksual ketika anak laki-laki masih memiliki ketertarikan seksual pada ibunya. Dan, sebagai anak laki-laki yang posesif, ia pun merasa “diselingkuhi” oleh ibunya.

Status pengangguran laki-laki itu juga membikin nasibnya makin nahas: sudah tak punya pekerjaan, istrinya juga genit. Myrna, istrinya, punya selingkuhan bernama Ross yang bekerja sebagai insinyur dirgantara, tapi lebih sering menganggur.

Tokoh utama tersebut bisa saja menceraikan Myrna yang berselingkuh dengan Ross. Tapi ia lebih memilih memendam perasaan sinisnya terhadap Ross sambil mempertahankan hubungannya dengan Myrna.

Sepanjang cerita, si tokoh utama cuma sanggup berceloteh soal Ross.  Misalnya, ia pernah bilang Ross hanyalah pecundang yang berkaki pincang akibat dibedil istri pertamanya. Ross juga pernah dijebloskan ke penjara oleh istri keduanya. Ross tak lebih dari sekadar bajingan tengik. Sebab, ia masih sanggup berselingkuh dengan seorang gadis ketika menjalin hubungan dengan Myrna, yang ingin ia persunting sebagai istri ketiga. Diselingkuhi lelaki brengsek macam itu, Tokoh Utama pernah bilang ke Myrna, “Kupikir aku akan membeli pistol Smith dan Wenson,” Untuk membedil Ross, tentunya. Tapi ia tak pernah melakukannya.

Ketika cinta konon bisa memberi daya pada seseorang, tokoh utama cerpen tersebut malah tak sanggup melakukan apapun terhadap hubungannya sendiri.

Namun, ada satu cerpen Carver yang bercerita tentang cinta yang menggerakkan: menggerakkan seorang perempuan untuk lompat keluar jendela. Perempuan itu bernama Holly, tokoh dalam cerpen berjudul Gazebo. Ia hendak bunuh diri setelah mendapati Duane, suaminya, berselingkuh dengan cewek keturunan Meksiko.

“Aku kehilangan kendali. Kehilangan rasa percaya diri. Dulu aku perempuan bermartabat,” Holly kecewa, merasa martabat itu telah direnggut. Duanne berkali-kali memberi penjelasan yang malah membuat Holly makin frustasi.

Saat Holly berdiri di depan jendela, Duane menuangkannya segelas alkohol. Memori Duanne kala mereka minum alkohol bersama lantas terpanggil. Mereka biasa minum-minum sambil membuat keputusan penting, membicarakan urusan penting, dan rencana-rencana mereka.

Kenangan itu sebentuk detak jantung bagi cinta Duane. Ia adalah alat vital yang punya peran penting buat menghidup-matikan rasa cinta mereka. Holly pun masih mengingat jelas kenangan mereka berdua. Namun, pengkhianatan Duane membuat Holly punya pemaknaan yang lebih putus asa.

“Kau ingat waktu kita ke peternakan tua di Yakima, Terrace Heights terus lagi? Waktu kita iseng berkeliling?” Pada siang yang terik, sepasang kekasih itu mengendarai mobil lalu berhenti di rumah tua. Mereka kehausan. Duanne lantas meminta minum pada tuan rumah. Pemilik rumah, yang sudah uzur,menjamu pasangan tersebut dengan ramah, memberi mereka air, mengajaknya ke belakang rumah dan duduk di gazebo.

“Kupikir kita akan begitu kalau sudah tua. Terhormat. Punya tempat kita sendiri. Dan orang-orang mengunjungi kita.”

Holly kembali duduk di ranjang, menggenggamgelasnya. Ia tak jadi bunuh diri. Dan, cerita gubahan Carver selesai di situ.

Namun, apa yang bisa diharapkan selepas pertengkaran? Duanne mungkin mencium kening istrinya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, lalu berharap yang baru saja dilewati sebagai penderitaan terakhir. Sementara itu, pikiran Holly sudah kelewat penuh. Ia membayangkan gerak lambat barang-barang kenangan yang dibanting, jerit-menjerit, penyesalan karena mencintai orang yang keliru, warna-warna aneh yang saling serobot, cangkir kopi yang dilempar ke arah Duanne tapi meleset, wajah suaminya yang buram, semu merah muda di pipi cinta pertama mereka yang malu, serta macam-macam citraan lainnya yang saling mendesak dan berebut tempat.

Cerita itu memang sudah selesai, tapi tak menutup kemungkinan Raymond Carver punyabayangan tentang akhir yang lebih buruk. Cerita cinta yang ditulis dan diamini Raymond Carver bukanlah cerita cinta yang baik-baik. Ia seorang alkoholik. Karenanya, cerita cinta yang ia tulis seperti kisah orang mabuk yang patah hati dan menangis semalaman. Ia jujur dan tulus, tapi dunia yang morat-marit ini tak berpihak padanya.

Carver mungkin percaya dengan cinta yang bersifat spiritual, suci dan membahagiakan. Kepercayaan Carver atas cinta semacam itu diungkapkan lewat Mel McGinnis, tokoh dalam cerpen berjudul Yang Kita Bicarakan Saat Bicara Tentang Cinta. Lima tahun menghabiskan waktu di seminari membuat Mel bersaksi cinta yang spiritual nyata adanya.

Namun, sebagai kardiolog, dia juga pernah melihat cinta suci yang bikin orang jadi sengsara. Suatu waktu, ia pernah merawat sepasang kekasih tua yang mengalami kecelakaan berat. Mereka luka parah. Luka di sana-sini, luka dalam, pendarahan, memar, robek, babak belur, dan masing-masing gegar otak. Sang istri lebih parah: limpanya koyak dan kedua tempurung lututnya pecah.

Apakah mereka depresi setelah kecelakaan tersebut? Tentu. Tapi bukan karena kecelakaan itu. Setelah berhari-hari dirawat, setelah kondisi mereka kian pulih, si suami bersusah payah bicara: yang paling bikin ia tersiksa adalah ia tak lagi bisa melihat istrinya.

Bayangkan: “hati si suami remuk karena tak bisa memutar kepala sialannya untak melihat istri sialannya,” tandas Mel McGinnis.

Begitulah Raymond Carver. Anda bisa memilih untuk percaya cinta yang babak belur menurut Carver atau cinta ilahiah yang diamini Jalaluddin Rumi. Namun, dunia tampaknya tak butuh banyak-banyak Jalaluddin Rumi. Dunia lebih punya banyak ruang untuk Raymond Carver yang; sebagian umurnya dihabiskan sebagai pekerja kasar; nyaris mati akibat overdosis alkohol; dan perkawinan pertamanya bubar. Jadi, cobalah untuk lebih bersiap jadi semacam Carver: mengerti luka tapi tetap berani.

Judul: What We Talk When We Talk About Love | Penulis: Raymond Carver | Penerbit: Baca | Terbit: 2018 | Peresensi: Sidra Muntaha