“Perjuangan politik identitas menggambarkan orang-orang yang terpinggirkan, yang termarjinalkan itu kembali,” ungkap Ruth Indiah Rahayu dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Komunitas Gereja Anugerah, Rabu (28/10).
Lebih lanjut, dalam diskusi bersubtema Ragam Identitas dan Perjuangan Kelas itu, Ruth menjelaskan asal mula politik identitas. Ia berakar dari konsep pengakuan Hegelian. Apabila identitas suatu kelompok tidak diakui, ia akan mengalami distorsi identitas. Kemudian akan terbentuk mayoritas yang berkuasa dan minoritas yang tidak dianggap. Hal ini menyebabkan terjadinya penindasan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Ruth memberikan contoh pada era Orde Baru, dimana sistem politik yang ada pada saat itu bersifat sentralistik. Budaya Jawa juga turut menjadi budaya mayoritas hegemonik pada saat itu. Tak ayal, pakaian saat juga didominasi pakaian dari adat Jawa. Budaya selain Jawa pun mengalami distorsi rekognisi setelah dikucilkan oleh budaya Jawa.
Ruth menjelaskan, pada dasarnya, fokus utama dari politik identitas ini adalah pengakuan. Politik identitas bergerak dalam memperjuangkan pengakuan atas keberagaman identitas. Sehingga kelompok dengan identitas minoritas turut diakui. “Politik pengakuan bertujuan untuk memperbaiki dislokasi diri internal dengan melawan gambaran budaya yang diciptakan budaya dominan,” jelas Ruth.
Politik identitas menggunakan subjektivitas dan individu sebagai arena penindasan sekaligus perubahan. Ia memberikan perumpamaan feminis politik, dimana yang ditindas sekaligus disadarkan atau unit analisis mengenai penindasan biasanya perempuan itu sendiri. Tetapi Ruth menyayangkan perjuangan politik identitas kini lebih memperjuangkan identitas kelompok tertentu ketimbang memperjuangkan kelas yang tercipta di masyarakat.
Menurutnya, sumber pokok ketidakadilan dan ketertindasan itu bukanlah berasal dari keragaman identitas, melainkan ekonomi. Dimana terdapat pembagian kelas sosial antara kelompok orang yang memiliki kuasa (borjuis) dan kelompok yang tidak memiliki kuasa (proletar). Ketimpangan relasi inilah yang menjadi kunci utama ketidakadilan.
Maka dari itu, perjuangan tertinggi adalah perjuangan kelas, bukan pengakuan identitas. Sesungguhnya, politik kelas bersifat universal dan politik identitas bersifat partikular. Universal selalu memimpin yang partikular. Apabila politik identitas merupakan bagian dalam politik kelas maka pokok perjuangannya terdapat pada perjuangan kelas.
Ia kemudian menyimpulkan, bahwa gerakan sosial yang mengibarkan bendera politik identitas, sesungguhnya masih sebatas pada capaian pengakuan. Oleh karena itu, perjuangan politik identitas itu belum cukup dan belum menyeluruh. Untuk itu, politik identitas mesti beraliansi ke dalam perjuangan kelas untuk merebut redistribusi kesejahteraan.
“Antara politik identitas dan politik kelas bukan dua hal yang bertentangan, tetapi punya lokasi kontradiksi yang berbeda. Karena itu harus disikapi bberbed-beda dan juga dalam perjuangannya berbeda-beda,” pungkas Ruth.
Reporter Asy Syifa Salsabila | Redaktur Sidra | Sumber Gambar The Daily Signal