Lpmarena.com– Data Badan Pusan Statistis (BPS) mencatat angka kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada September 2019, persentase kemiskinan di kota sebesar 6,69 persen, sementara kemiskinan di desa mencapai 12,85 persen.
“Pertanyaannya sederhana. Bagaimana bisa orang yang memproduksi pangan kita malah dalam keadaan yang lebih sulit?” tanya Ayip Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), pada diskusi buku virtual Rezim Pangan Dan Masalah Agraria karangan Philip McMichael. Diskusi tersebut diselenggarakan Insistpress, Kamis (29/10).
Dalam bedah buku itu, Ayip menerangkan persoalan pangan bukan hanya mengenai komoditas dan kuantitas yang dapat diproduksi. Namun juga keadilan yang timpang akibat politik pangan.
“Karena kita menyaksikan dengan nyata bahwa pertumbuhan pangan sejatinya naik luar biasa” jelas Ayip. Seyogyanya hal ini memperngaruhi tingkat kesejahteraan manusia. Namun pertumbuhan produksi pangan bukan solusi atas kemiskinan dan kelaparan. Melihat fakta laporan Badan Pangan Dunia (FAO), satu dari delapan orang di dunia mengalami kelaparan.
Ayip juga memaparkan analisis McMichel bahwa persoalan pangan berhubungan erat dengan arus kapital perdagangan dan mata uang. Dalam buku tersebut, penulis melihat ruang politik pangan terbelah oleh tiga rezim penguasa pangan: Kerajaan Inggris, Amerika dan teknologinya, serta kekuatan kapital korporasi.
Ayip melanjutkan, perpindahan rezim dari negara ke korporasi telah merubah cara pandang penguasaan pangan. “Kalau kita amati dengan jeli, kebijakan di sektor pertanian pangan kita menggambarkan bagaimana kuasa korporasi mempengaruhi itu,” jelas Ayib.
Hal ini didukung Dwi Astuti, aktivis Bina Desa, dengan memaparkan bagaimana rezim pangan korporasi menanam modal investasi di berbagai negara berkembang. Tujuan penanaman modal, utamanya, untuk menguasai produksi pangan dan mengembangkan lembaga-lembaga riset pertanian termasuk di Indonesia.
Tidak hanya itu, penguasaan pangan yang dominan membikin pasar global dapat merangsek ke dalam pasar-pasar nasional. Ujungnya, produksi pangan lokal mesti bersaing menghadapi produksi pangan dari luar.
Dwi lantas memberi contoh yang dapat ditiru, perihal kebijakan Jepang menghadapi impor beras. Beras Indonesia di Jepang hanya digunakan untuk bahan pangan ternak. Karena Jepang memiliki kebijakan proteksi untuk menggunakan produksi lokal sebagai pangan nasional, “Dan permainan itu legal tertulis,” ungkap Dwi.
Reporter Fikri Labib | Redaktur Sidra | Sumber Gambar Climate News Network