Lpmarena.com— Minggu, 17 Februari 2019 silam, Joko Widodo menepis pernyataan Prabowo Subianto pada Debat Capres Jilid II ketika menjawab pertanyaan terkait langkah-langkah capres dalam mengatasi konflik lahan dan perampasan tanah dalam pembangunan infrastruktur.
“Mungkin Pak Prabowo bisa lihat dalam empat setengah tahun ini hampir tidak ada terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita. Karena apa? Tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung,” ujar Jokowi setahun silam.
Akan tetapi pernyataan itu dibantah oleh Benny Wijaya, pada Webinar Dies Natalies LPM Aspirasi, UPN Veteran Jakarta, Sabtu (31/10). Ia selaku bagian media kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memaparkan data bahwa sejak tahun 2015 sampai 2019 telah terjadi sekitar 2.047 kasus konflik agraria.
Rinciannya, 729 kasus perkebunan, 499 kasus properti, 369 kasus infrastruktur, 145 kasus pertanian, 118 kasus kehutanan, 117 kasus tambang, 60 kasus terkait pesisir dan pulau-pulau kecil, serta 10 kasus pembangunan fasilitas militer.
Konflik sengketa tanah dan lahan ini mengakibatkan buntut panjang. Berdasarkan catatan KPA, sepanjang tahun 2015 hingga 2019, sebanyak 1.298 orang dikriminalisasi, 757 orang dianiaya, 75 orang tertembak, dan 55 orang meregang nyawa. Tercatat pula 100 kasus kekerasan yang dilakukan anggota polisi, 93 kasus oleh security perusahaan, 43 kasus oleh TNI, serta 23 kasus dilakukan Satpol PP.
Data KSP 2016 menyebutkan sebanyak 10,2 juta rakyat miskin yang tersebar di 25.863 desa di seluruh Indonesia menggantungkan hidup di kawasan hutan. Data lain menyimpulkan, sebanyak 5,1 juta rumah tangga petani berpindah mata pencaharian. Hal tersebut disebabkan penyusutan lahan pertanian yang semula 10,5% menjadi 4,9% dan terus mengalami pemerosotan.
Perampasan dan penggusuran akhirnya juga membikin masyarakat desa terlempar ke belantara sektor informal, seperti menjadi buruh tani, kebun atau pabrik, tunawisma, TKI/TKW, serta urban poor. Masalah kemandirian ekonomi dan politik masyarakat juga dapat timbul karena menyempitnya tanah serta ruang hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Lebih lanjut, Benny menilai bahwa akar masalah konflik agraria di Indonesia salah satunya karena pemerintah tidak menjalankan undang-undang dengan benar. Pemerintah justru membuat berbagai peraturan lain yang tumpang tindih sehingga masyarakat semakin terjepit.
“Setiap kebijakan yang ada di urusan agraria itu tidak memprioritaskan rakyat kecil, seperti nelayan, masyarakat adat, petani, dan sebagainya tapi lebih bercorak pro modal,” ujar Benny.
Senada dengan Benny, Abdul Malik Adkom, Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta menyatakan bahwa akhir-akhir ini terjadi pelanggaran terkait pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Tanah serta sumber daya agraria yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat justru malah merugikan mereka. Hal semacam itu sering ia temukan saat mendampingi masyarakat yang terlibat konflik agraria.
Abdul Malik juga menyinggung rekam jejak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto yang bertentangan dengan isi pasal 13 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal itu menyebutkan bahwa pemerintah mencegah usaha-usaha dalam lapangan agraria dari pihak swasta yang melakukan monopoli.
“Kita punya Menko Perekonomian Airlangga Hartanto yang juga sebagai perancang Satgas Omnibuslaw. Itu (menjadi) kontra produktif karena dia memiliki usaha tambang di Kalimantan Timur sebesar 39 ribu hektar. Itu sangat kontra produktif sekali,” ujarnya.
Terkait Omnibuslaw, Abdul Malik menyoroti pasal 8, pasal 10, serta pasal 19 poin A, B, C yang berisi aturan penambahan pengadaan tanah untuk pembangunan dan industrialisasi. Melalui aturan tersebut, pemerintah mau sampai turun tangan mencarikan lahan untuk para investor.
Reporter Muhammad Hanafi | Redaktur Nur Hidayah | Sumber Gambar geotimes.co.id/