Home CATATAN KAKI Bagaimana Menjadi Warga Negara yang Baik

Bagaimana Menjadi Warga Negara yang Baik

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Tiga kali sehari seperti kebanyakan anjuran dokter atau secara tidak sadar sudah banyak kenal baik dengan bandar narkoba. Seperti itulah mungkin gambaran betapa overdosisnya aku kala mengkonsumsi tafsiran-tafsiran serta parameter mengenai hidup yang baik.

Lupakan soal dokter dan bandar narkoba. Lagipula siapa peduli dengan mereka? Pasar menjanjikan yang membuat mereka eksis sampai sekarang. Siapa peduli soal kesehatanmu?

Semua tafsiran itu jelas masuk ke kupingku. Ia tidak lewat begitu saja dari kuping kanan ke kuping kiriku. Ia menekan diafragmaku sehingga seringkali aku cegukan tanpa alasan.

Rasanya aku ingin sekali omong kosong itu berada di usus besarku, supaya gerakan otot-otot di dinding usus besarku segera mendorongnya menuju lubang duburku. Aku ingin sekali omong kosong itu muncul di ujung tahiku, kemudian meludahinya, melemparkan puntung rokok yang kubawa selama aku berak ke sana, lalu membiarkannya hilang selamanya di septic tank rumahku.

Singkat cerita aku muak, aku sungguh muak. Bisakah kita selesai dengan hal-hal bodoh seperti ini? Puta!

***

Seringkali aku dibuat kebingunan tentang gejala hidup manusia. Betapa dinamis dan mengejutkannya kita. Pada kondisi tertentu, emosi kita bisa begitu bergejolak. Memicu ledakan-ledakan di batin kita. Dalam beberapa kasus penyelidikan, sumbu pemicunya tidak pernah ditemukan. Semua terjadi begitu saja. Cepat, bahkan dalam hitungan detik.

Tetapi aku lebih suka bagaimana Eka Kurniawan membahasakan ini semua. siapa yang tahu kalau didalam diri kita telah bersarang seekor harimau? Jangan coba usik dia dari tidur nyenyaknya, atau Anwar Sadat yang lain mungkin akan bergelimpangan di trotoar dekat rumahmu. Ngomong-ngomong aku sedang tidak ingin berdebat tentang Anwar Sadat. Margio tepat sasaran. Bajingan itu pantas mati.

Mungkin semua sudah terlanjur mengendap. Cepat cari toilet! Kita harus segera berak. Menggenggam batu di tanganmu sungguh tidak akan membantu, kecuali kita percaya memecahkan kaca rumah atau kepala orang adalah pelarian yang tepat.

Ketika secara emosional kita terguncang, ada banyak ekspresi yang mungkin tergambar dari respon kita. Sebagian orang menenggak berbotol-botol minuman keras, Sebagian yang lain pergi ke gang-gang sempit mencari wanita sewaan, dan mungkin yang paling menyebalkan adalah berperilaku seperti kepentingan luar negeri Amerika Serikat, mengurus urusan orang lain.

Emosi sangatlah simbolik. Ramai dibicarakan, kita harus mampu mengelola emosi kita dengan baik. Percayalah, pada dunia hari ini, emosi tidak bisa didaur ulang dengan baik. Setiap hari kita mendapat kiriman amarah. Kita mungkin merasa hidup baik-baik saja. Ya, hidup sungguh baik-baik saja. Tapi tunggu sampai dapur daur ulang itu tak sanggup lagi menampung lebih banyak lagi.

***

Sore ini seharusnya langit berwarna merah. Tapi ini adalah musim hujan di pertengahan bulan Februari. Langit merupa kertas buram dan gerimis mulai turun. Semua orang sedang berhamburan pulang dari tempat kerjanya.

Petani bersiap pulang dari sawah. Mereka bisa saja semalaman berada di sawah. Tapi orientasi terbesar mereka saat ini adalah bersiap mengikuti jaga ronda. Mereka bisa pergi ke sawah besok pagi. Panen raya sudah di pelupuk mata.

Buruh-buruh sudah keluar dari pabrik, Sebagian masih tertahan kerja lembur sembari diolok-olok majikannya yang berlibur di luar negeri. Upah buruh di Indonesia sangat murah, memungkinkan setiap juragannya dengan mudah kaya mendadak.

Sebagian yang lain keluar dari kantor. Tapi ingat, mereka menolak dipanggil buruh. Mereka mengenakan dasi dan menenteng tas berisi Macbook. Itu sudah cukup menjadi alasan bahwa mereka bukan buruh. Dan aku salah satu diantara mereka.

Memalukan.

Bagiku sore ini sama saja dengan sore-sore atau bahkan hari-hari yang lain. Apa yang istimewa? Hujan? Apa yang bisa kita harapkan dari hujan? Sebentar lagi hujan deras dan wilayah perkampungan di bantaran sungai akan segera tergenang. Rata-rata penghuni perkampungan di bantaran sungai ini adalah korban penggusuran. Atau mungkin lebih sopan jika disebut relokasi. Rumah asli kami berada di jantung kota. Iya, di pusat perekonomian itu. Nenek moyang kami dulu mematok tanah sesuka hati mereka. Tapi kini tak sejengkal pun kami nikmati

Tapi siapa peduli pula dengan semua itu. Pertama-tama, kita harus menjadi warga negara yang baik tanpa terlalu banyak menuntut dan melawan. Kedua, banjir sudah dekat, segera selamatkan Macbookmu.

Sepulang kerja aku tidak langsung pulang. Aku biasa mampir di Kedai Kopi Juara. Di sana aku biasa berkumpul dengan beberapa teman. Beberapa supir ojek online juga biasa mangkal di sini. Bertukar cerita dengan beberapa teman mengenai pekerjaan dan perkembangan Rafatar adalah kebiasaan kami.

Di sela keheningan, aku menyampaikan beberapa uneg-unegku.

“Pernah gak sih kalian mikir, setiap hari berusaha dan bekerja keras, hampir seminggu penuh kita semua bekerja, tapi tetep aja ga kaya-kaya, tailah!”

Salah seorang teman menjawab,

“Nabung makanya. Masa depan itu enggak dibayangkan, tapi dipersiapkan.”

Aku tidak lagi menjawab. Lagipula aku tidak harus menjawab itu. Jawaban-jawaban seperti itu sifatnya memaksa, memaksa untuk dipercayai. Kadang dalam situasi kemuakkan seperti ini kita tidak memiliki solusi.

Keramaian didominasi oleh orang yang percaya pada ketetapan takdir. Meskipun dijelaskan ada beberapa takdir yang bisa kita ubah, orang-orang tidak ingin repot-repot mengubahnya. Jadilah warga negara yang baik dan berikan sebuah kontribusi. Astaga, aku benar-benar tidak percaya aku bisa semuak ini secara tiba-tiba.

Kadang aku bertanya-tanya, apakah keringat kita selama ini bukan bentuk kontribusi? Setiap pergantian kuartal Menteri Keuangan menyampaikan kenainkan pertumbuhan ekonomi. Setiap tahun jalan dibangun, gedung ditingkat-tingkat, produksi tergenjot dan ekspor naik. Apakah semua itu digarap oleh Bandung Bondowoso? Apakah itu semua bukan wujud kontribusi?

Hampir aku lupa, Honda Beat kesayanganku tiap tahun kubayar pajaknya. Belum pajak penghasilan, pajak bumi bangunan. Apa itu bukan kontribusi?

Ah, sudahlah. Lagipula sejak kapan ekspor kita bagus.

Lalu jika kita memilih kesendirian, apa yang kita harapkan? Onani tidak memberikan efek baik dalam jangka waktu lama. Bunuh diri pun kapan saja bisa datang menawar kesendirianmu.

Dalam situasi seperti ini biasanya kita mencari tumbal untuk disalahkan. Tapi siapa yang harus bertanggung jawab atas semua keresahanku. Sejauh pikiranku mampu menggapai, sejak duduk di bangku SD kita memang dididik untuk menerima. Kita memang dipersiapkan untuk kalah sekalah-kalahnya.

Terdidik untuk tertib, untuk patuh, untuk, sekali lagi, menjadi bagian dari warga negara yang baik. Kita perlu terus bekerja dan menabung untuk mencapai kesuksesan dan mimpi-mimpi yang kita tulis dan tempel di mading kelas.

Tunggu sampai resesi datang dan kita dilarang menarik uang kita dari bank dengan alasan agar tidak memperburuk resesi. Sampai mana lelucon menabung untuk masa depan barusan? Masa depan siapa?

Hematnya, aku merasa tumbuh dalam keadaan tunduk. Aku sekarang baru menyadari kehidupan tidak semulus dan sedatar itu. Bukankah untuk itu kita hidup? Untuk menyelesaikan satu per satu permasalahan yang ada. Tapi apa daya, aku benci mengulang perkataan ini. Jangan banyak mengeluh dan protes. Jadilah warga negara yang baik.

Tapi aku tak sudi juga jika harus menyalahkan guru-guruku di bangku sekolah dulu. Mereka terlampau tulus untuk mengurusi sekelompok berandalan di dalam kelas. Siapa yang sudi mengurus anak-anak yang sesungguhnya tak pernah peduli dengan apa yang gurunya katakan di depan kelas?

***

Azan subuh berkumandang. Aku sudah bangun dan tak akan tidur lagi. Jam delapan pagi aku sudah harus duduk rapi di balik meja kantor. Tadi malam aku pulang cukup larut dan tak punya cukup waktu lagi untuk menceritakan apapun. Apalagi mengurus urusan asmara.

Sudah jangan ke Jatinangor, dia sudah ada yang punya…”

Suara khas Jason Ranti dalam membawakan nada minor mengenai percintaan sangat relateble untukku. Bedanya aku tak punya kekasih karena aku belum mau gila mengurus pacar yang sedang pms setelah seharian panjangku yang menyebalkan dan membosankan.

Aku sudah siap berangkat kerja, aku sudah sarapan dua kali. Pertama aku makan sepiring nasi goreng, kedua memakan ocehan tetanggaku,

“Kerja yang bener, biar bisa cepet nikah.”

Aku bergegas berangkat bersama rekan kerjaku, dia menjemputku dirumah,

“Besok setelah gajian aku mau nabung, persiapan hari esok, cuyyy.

Aku tak menjawab, aku malah bertanya dalam hati, sebanyak apa gaji kita sampai berlagak bicara soal hari esok. Kalau sebelum tanggal 15 saja belum habis, itu sudah baik.

Aku sampai di kantor. Seperti biasa pimpinan perusahaan memberikan briefing sebelum kami memulai kerja. Di akhir rangkaian omong kosongnya dia berkata, “Berikan yang terbaik untuk perusahaan, hari ini, esok dan selamanya, bersama-sama kita menuju hidup yang lebih baik.”

Baru kemarin dia pulang dari Eropa, dan aku masih di warung kopi memesan kopi hitam seharga lima ribuan, dan sekarang dia membicarakan menuju hidup yang lebih baik bersama-sama.

Sesungguhnya hari baru saja dimulai, dan aku sudah begitu muak. Aku bisa saja melemparkan komputer di hadapanku ke kepala atasanku. Atau terjun bebas dari rooftop kantor ke trotoar jalan.

Semua tafsiran dan parameter ini menjijikan. Dan aku tidak bisa menyampaikan apapun. Pertama aku tidak mau dipecat, dan aku harus menjadi warga negara yang baik.

Dalam situasi semacam ini, sepertinya mendirikan kartel narkoba internasional dan melawan pemerintah terlihat cukup menjanjikan.

Penulis Reyhan Majid* | Sumber Gambar Sapien Soup

*Penulis adalah pecinta demonstrasi yang gemar mendengar musik psychedelic