Home BERITA Orde Baru Mengubah Karakter dan Sejarah Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Orde Baru Mengubah Karakter dan Sejarah Masyarakat Tionghoa di Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-Kekuasaan Orde Baru telah mengubah karakter masyarakat Tionghoa. Kebijakan asimilasi total pada masa itu menghapus tiga pilar budaya penting dan agama Tionghoa tidak diakui negara. Hal ini membuat karakter masyarakat Tionghoa menjadi pudar. “Orang Tionghoa di Indonesia itu adalah kelompok minoritas,” ungkap Leo Suryadinata, Sinolog Tionghoa Indonesia dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Komunitas Rumah Bhinneka, Senin (9/11).

Data sensus penduduk 2010 mencatat jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa mencapai 2,83 juta jiwa atau sekitar 1,2 persen dari total penduduk Indonesia. Tidak hanya itu, golongan totok yang membawa budaya asli Tionghoa pun mengalami indonesianisasi.  Data pada tahun yang sama menyebutkan hanya 24 persen masyarakat Tionghoa yang masih menggunakan bahasa mandarin sehari-hari.

Berbeda dengan orang-orang Tionghoa yang singgah sementara untuk melaksanakan suatu pekerjaan (xinyimin), peranakan Tionghoa di Indonesia telah menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia lainnya. “Peranakan Tionghoa itu telah berakar di bumi Indonesia,” tambahnya.

Masalah rasial Tionghoa di Indonesia bisa terselesaikan jika konsep peranakan Tionghoa pada masa Orde Lama dipertahankan. Di era itu Soekarno membuat kebijakan bahwa konsep empat pilar budaya Tionghoa, yaitu organisasi etnis, media, sekolah dan agama Tionghoa harus diterapkan. Namun kekuasaan Orde Baru Soeharto menolak konsep itu.

“Yang paling mengubah masyarakat Tionghoa itu adalah peraturan ganti nama,” ujar Leo.

Masa Orde Baru tidak mewajibkan peraturan ini dilaksanakan secara langsung. Namun menurut Leo, ini membuat masyarakat umum Tionghoa merasa tidak nyaman hingga mengganti nama. Penggantian nama ini menghapus penandaan etnis pada masyarakat Tionghoa.

Kemudian dalam penelitian Banny Subianto mengenai kerusuhan dan penjarahan orang Tionghoa, salah satu penyebab masalah rasial itu presepsi masyarakat terhadap Tionghoa yang tidak ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia. “Menurut saya itu perlu dikoreksi,” ungkap Asvi Warman Adam, sejarawan dan peneliti LIPI.

Kebudayaan perantauan Tionghoa telah menunjang masyarakat Tionghoa Indonesia. Menurutnya perlu ada pahlawan nasional dari etnis Tionghoa sebagai upaya meluruskan sejarah. Asvi juga mengkritisi pembelajaran sejarah di Indonesia belum menyelami catatan historis sumbangan masyarakat Tionghoa. Menurutnya, kebudayaan etnik Tionghoa penting diajarkan dalam pelajaran sejarah Indonesia. “Sumbangan budaya Tionghoa terhadap budaya Indonesia itu tidak pernah disebut,” katanya.

Sejak reformasi, lelaki kelahiran Bukittinggi ini lantang menyerukan pandangannya di berbagai seminar dan tulisan di media. Ia meyakini perjuangan Jhon Lie, perwira tinggi TNI Angkatan Laut untuk mendapatkan predikat pahlawan nasional. Akhirnya, usaha Asvi telah membuahkan hasil. Pada tahun 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Jhon lie sebagai pahlawan nasional.

Reporter : Fikri Labib | Redaktur : Dina Tri Wijayanti