Lpmarena.com– Sekitar seminggu lalu, teman saya Adam sibuk memasukkan belasan botol bir kosong secara serampangan ke dalam kardus bekas. Botol-botol itu adalah benda terakhir yang tersisa dari pesta ulang tahunnya semalam suntuk di kontrakan—selain gelas dan sloki yang pecah.
Saya lantas bertanya, botol-botol itu mau dibawa kemana.
“meh dikumpul, terus dibuang, ben ra ketahuan Bapak Kontrakan,” jawab Adam kepadaku.
Saya paham betul maksud Adam. Kami memang memiliki bapak kontrakan yang gemar mengadakan sidak. Ia mirip kepala daerah yang gemar melakukan hal tersebut pada bawahannya ketika libur panjang usai. Bapak kontrakan cenderung bertindak semena-mena, main buka pagar tanpa izin dan mondar-mandir di muka halaman. Ya meskipun ini memang rumahnya, tapi toh sudah kami sewa untuk setahun ke depan.
Namun, ini bukan tulisan tentang pesta ulang tahun semalam suntuk atau tentang bapak kontrakan saya yang menyebalkan. Saya lebih tertarik untuk mengetahui ke mana sampah botol itu akhirnya bermuara. Barangkali TPST Piyungan adalah tempatnya.
Setiap bulan, setidaknya ada sekitar 15 ton sampah masuk ke TPST Piyungan. Sampah-sampah itu berasal dari tiga wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY): Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.
“Trennya ke sini, ya, itu hampir 50 persen dari Kota Jogja,” kata Ibnu, petugas administrasi TPST Piyungan.
Kota Yogyakarta memang menjadi penyumbang sampah terbesar TPST Piyungan. Meski Jogja merupakan kota paling kecil di DIY, kawasan itu padat penduduk. Ditambah, kota Jogja dipadati dengan kawasan wisata, perhotelan, serta kampus yang turut menyumbang banyak sampah ke Piyungan.
Di Piyungan, sampah dibiarkan menggunung begitu saja. Tingginya bervariasi. Dari penglihatan saya yang tidak cukup awas ini, gunungan sampah tertinggi sekira 15-20 meter. Cukup tinggi untuk sekadar tumpukan sampah. Barangkali memang dibiarkan begitu sehingga tingginya dapat bersaing dengan perbukitan sekitar.
Ada banyak pemulung yang hidup dari TPST Piyungan. Beberapa dari mereka bahkan tinggal di sekitar gunungan sampah. Laki-laki, perempuan, muda maupun tua, sama menggantungkan hidup dari sisa sampah buangan warga Jogja. Para pemulung tidak hidup sendiri. Pagi hingga petang, mereka ditemani kawanan sapi yang digembala oleh warga sekitar, yang juga mencari makan dari tumpukan sampah Piyungan.
Piyungan dengan segala keruwetannya, menjadi satu dari sekian persoalan Jogja yang perlu dituntaskan bersama. Masyarakat wajib belajar dan berhak mendapatkan pengetahuan bagaimana cara mengolah sampah. Di sisi lain, pemerintah juga punya kewajiban: menjamin penyelenggaraan pengolahan sampah dan membiayainya melalui dana APBN dan APBD.
Dalam praktiknya, meski sudah ada penganggaran dana untuk pengolahan sampah, masih banyak ditemukan kendala. Sosialisasi tentang pengolahan sampah tidak benar-benar sampai pada telinga masyarakat. Ditambah, belum optimalnya tempat pengolahan sampah di TPST Piyungan.
“Jadi untuk kita sendiri pengolahan belum ada. Baru pengelolaan,” Ibnu menambahkan.
Merujuk pada data penelitian Final Report Yogyakarta Municipal Waste Utilization Project, Shimizu & BPPT tahun 2009, sekitar 77 persen sampah di TPST Piyungan merupakan sampah organik dan sisanya adalah sampah anorganik.
Umumnya sampah memang dibagi menjadi dua bagian, organik dan anorganik. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos. Secara fungsi, ia dapat memperbaiki struktur dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air. Sedangkan sampah anorganik tertentu dapat didaur ulang menjadi ragam olahan. Dengan demikian, pengolahan sampah menjadi penting untuk dilakukan demi mengurangi beban timbunan sampah TPST Piyungan.
Saya jadi ingat celetukan Adam di ujung perbincangan soal botol-botol bir sisa mabuk beberapa malam lalu. “Jane dibuang wae ke pabrik kecap, ben dinggo meneh,”
Fotografer Firdan HK | Penulis Firdan HK | Editor Naskah Sidra