Home BERITA Masyarakat Belum Dilibatkan Aktif dalam Pemenuhan Hak atas Kota

Masyarakat Belum Dilibatkan Aktif dalam Pemenuhan Hak atas Kota

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-Masyarakat urban seharusnya memiliki peran atas pembangunan kotanya. Namun hak atas kota tersebut didominasi oleh pemerintah dengan campur tangan investor. Pengelolaan dan pengembangan kota pun hanya dimiliki oleh kelompok tertentu. Hal itu diungkapkan Inez Darmalia dalam diskusi virtual bertema Hak Atas Kota dalam Aktivisme Perkotaan oleh Nekropolis dan Kota Bergerak, Sabtu (21/11).

Ruang publik adalah ruang pertemuan antar-kelas dan ruang interaksi sosial. Namun pada kenyataannya ruang publik menjadi ruang untuk akumulasi kapital. Contohnya dapat dilihat pada bangunan-bangunan mal atau pelataran Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Inisiasi dari ruang tersebut tidak berasal dari masyarakat, melainkan dari mereka yang mempunyai kekuasaan, baik dari pihak pemerintah maupun investor.

Masyarakat kecil belum dilibatkan aktif dalam membangun konsep kota yang diinginkan karena intervensi pemerintah dan investor. Ruang-ruang publik beralih menjadi ruang privat ketika sebagian kalangan saja yang bisa menikmatinya.

Privatisasi ruang publik itu pun berhubungan dengan keuntungan korporasi. Sehingga partisipasi masyarakat kembali dipertanyakan. “Apakah masyarakat menginginkan hal tersebut?” ujar Handry Jovento mendiskusikan teori hak atas kota.

Padahal sumbangsih masyarakat menjadi tolok ukur realisasi hak atas kota yang merupakan elemen penting dalam menciptakan pembangunan secara kolektif bagi kebutuhan masyarakat.

Dominasi melalui Kebijakan

Pemerintah melalui segala macam regulasinya mengamini bahwa ruang publik hanya dikelola oleh investor. Hal ini menyalahi pemenuhan hak atas kota. Keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam menentukan pembangunan kota kurang dipenuhi.

Salah satunya dapat dilihat dalam kebijakan terkait Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang dibuat mengkampanyekan tuntutan hak atas kota. Musrenbang secara garis besar mengakomodasi penyediaan ruang bagi masyarakat. Namun kebijakan itu dalam praktiknya masih bermasalah dengan  adanya politisasi oleh sebagian orang.

Handry Jovento mengungkapkan, Musrenbang menggunakan partisipasi masyarakat dalam hal persetujuan saja. Sedangkan pemerintah sudah membuat perencanaan terlebih dahulu. Dalam hal ini pemerintah mendominasi kebutuhan masyarakat dengan segala kuasa yang dimiliki.

 “Ternyata masih ada gap disitu, masih ada kesenjanagan power di dalamnya,” imbuh Rizkiana Sidqi, pembicara lain yang juga hadir dalam diskusi.

Reporter: Bisma Aly Hakim | Redaktur: Dina Tri Wijayanti