Alunan biola dimainkan mengiringi seorang mandor tua yang berjalan memastikan semua pekerjaan dikerjakan dengan baik. Matanya menatap seolah meminta pertanggungjawaban pada setiap orang yang mengenakan topi koki. Segala jenis makanan, minuman, hingga buah-buahan terbaik diolah dalam satu dapur yang megah. Tak ada cacat sedikit pun pada makanan. Lebih tepatnya, tak boleh ada cacat.
Di sebuah bangunan dengan hanya dua tempat tidur dan satu wastafel, Goreng (Ivan Massague) membuka mata dan menyadari dirinya berada di tempat yang baru dilihatnya. Seorang lelaki tua, dengan uban dan keriput, mengenakan baju persis dengan yang ia kenakan, melihatnya dengan tatapan tajam bak predator yang mengincar mangsanya. Dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.
Setelah saling bercakap, Goreng tahu orang tua itu bernama Trimagasi (Zorion Eguileor). Sejenak setelahnya, Goreng teringat wawancara dengan seorang perempuan untuk bisa masuk El Hoyo. Sebuah tempat baginya mengahbiskan 6 bulan dalam hidup untuk berhenti merokok dan membaca Don Quixote milik Miguel de Cervantes.
Hanya butuh waktu sebentar bagi Goreng untuk memahami bahwa ia berada di sebuah tempat yang lebih layak disebut neraka. Di tengah ruangan itu ada lubang besar menganga. Di atas dan di bawahnya terdapat ruangan serupa, yang membedakan hanya nomor di dinding yang menunjukan di tingkat berapa mereka berada. Dalam sistem yang berlaku, setiap bulan mereka berpindah ruangan secara acak.
Sekali setiap hari sebuah mimbar berisi makanan terbaik yang dimasak para koki dihidangkan. Dimulai dengan tingkat teratas hingga tingkat terbawah. Semakin tinggi tingkatan semakin besar kesemptan mereka untuk bisa makan dengan kenyang, sebaliknya, semakin rendah tingkatan mereka semakin kecil kesempatan mereka untuk bisa makan. kelak, mimbar itu sekaligus menjadi surga dan neraka bagi penghuninya.
Beberapa reka adegan itu adalah film berjudul El Hoyo atau The Platform dalam Bahasa Inggris. Pada adegan itu, Galder Gaztelu-Urrutia, sutradara, seolah ingin menggambarkan bagaimana sebuah sistem kelas sosial bekerja lewat pertunjukan thriller 1 jam 34 menit.
Masyarakat adalah mereka yang ada di setiap ruangan di tiap tingkatan. Mereka yang di atas bisa leluasa mengambil makanan semaunya. Seiring turunnya mimbar, semakin sedikit pula makanan yang tersedia. Bahkan di tingkat tertentu, seseorang yang tak kebagian makanan dari atas harus menghabisi nyawa dan memakan tubuh orang lain untuk bertahan hidup.
Mereka dipaksa saling berbagi, bahkan ketika tak ada lagi yang bisa dibagi. Mereka yang ada jauh di bawah mempertaruhkan nyawa setiap hari. bagi mereka hanya ada dua pilihan, makan atau dimakan.
Goreng dan Trimagasi barangkali gambaran kecil dari tragisnya sistem kelas sosial semacam itu. ketika mereka di tingkat yang cukup tinggi, hubungan keduanya menjadi akrab. Keakraban itu membuat mereka semakin dekat dan bahkan menjadi sahabat. Mereka tak merisaukan banyak hal. Hari-hari mereka berjalan mudah tanpa saling menyakiti.
Satu bulan berlalu, situasi berbalik 180 derajat. Kala itu Goreng membuka mata dengan tubuh terikat dan mulut tersumpal. Semua usaha melepaskan diri dan teriakannya menjadi sia-sia saat ia sadar angka 171 terukir di dinding. Trimagasi yang telah mengikatnya mencoba menenangkan, sembari memberi tahu kabar buruk itu. Saat kematian ada di depan mata, Goreng hanya bisa menyalahkan Trimagasi dan menudingnya bertanggung jawab jika kelak ia mati. Sumpah serapah ia keluarkan demi membuat Trimagasi merasa bersalah lalu membebaskanya.
Tanpa rasa salah, Trimagasi berdalih sistem “El Hoyo” lah yang membuat keadaan pelik. Permohonan damai Goreng ditolak. Tidak ada lagi kata sahabat. Tinggal menunggu saat ketika Trimagasi sedikit demi sedikit mengiris-iris tubuh Goreng dan memakannya hidup-hidup.
Terlepas dari betapa kejamnya perlakuan Trimagasi pada Goreng, Paulo Freire dalam teori kesadarannya menempatkan Goreng pada ranah kesadaran naif. Goreng menganggap Trimagasi adalah satu-satunya yang bersalah atas kemalangan yang ia derita. Ia tak mampu melihat bagaimana sistem El Hoyo bekerja dan menjebak mereka pada situasi yang tidak menguntungkan.
Lain dengan Goreng, Trimagasi mampu menyadari bahwa kesalahan terbesar adalah sistem yang membuat mereka saling bertarung untuk bertahan hidup. Pengetahuannya mengenai sistem yang menjadikan kehidupan mereka susah, membuat kesadarannya berada pada posisi kesadaran kritis.
Pada realitas masyarakat, kisah Goreng dan Trimagasi bukan hanya dongeng pengantar tidur. Elit pejabat yang berada di kelas sosial atas kerap berlaku licik demi memenuhi urusan perut. Korupsi senilai milyar hingga triliunan kerap terjadi dan menyengsarakan rakyat yang ada dibawah mereka. Nahasnya, banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa elit pejabat ini adalah penyebab kesengsaraan mereka.
Mereka lebih sering mengutuk takdir seraya berharap hari besok Tuhan bermurah hati membagi rezeki. Kadangkala seorang istri menyumpahi mereka karena tak becus mencari nafkah. Ketimpangan dan kesengsaraan membuat mereka harus bertahan hidup meski dengan cara menyakiti sesama. Praktek kriminalitas dilakukan karena jalan sudah kadung buntu sementara doa belum juga terkabul.
Ketidaksadaran itu yang membuat masyarakat kelas bawah tak mampu bangkit dan terus berkutat pada permasalahan hidup mereka. Mereka tak pernah merasa dimiskinkan padahal seringkali pajak yang mereka bayarkan disalahgunakan. Pendidikan disesuaikan untuk memenuhi pasar pekerjaan, bukan untuk membuka mata terhadap penindasan. Mereka disibukan dengan urusan bertahan hidup hingga lupa ada sebuah sistem yang terus mempersulit hidup.
Di bagian akhir, film berkutat pada usaha Goreng memadamkan neraka El Hoyo dan mengubahnya menjadi tempat yang, setidaknya, layak mereka tinggali. Usaha itu digambarkan bak revolusioner sejati yang akan menunaikan janji revolusi pada martir yang telah gugur. Tak jarang upayanya mengubah sistem mendapat penolakan dari sesama penghuni terutama pada tingkatan atas.
Impian Goreng sebenarnya hanya satu: makanan bisa dinikmati oleh semua penghuni hingga tak perlu lagi ada kelaparan dan nyawa yang hilang.
Kompleksitas sistem kelas sosial masyarakat, adanya ketimpangan kelas, upaya revolusioner untuk mengubah sistem, dan pergulatan batin dalam mewaraskan diri berhasil Galder kemas dalam tontonan sederhana tapi mengena. Suasana distopia yang membingkai set film semakin meneguhkan kesan thriller sekaligus misterius. Di akhir film, barangkali Anda akan dibuat kesal sambil memekik dalam hati atas apa yang terjadi.
Judul The Platform (El Hoyo) | Tahun 2019 | Durasi 94 menit | Sutradara Galder Gaztelu-Urrutia | Penulis David Desola, Pedro Rivero | Produksi Basque Film| Negara Spanyol | Pemeran Ivan Massague, Zorion Eguilor | Peresensi Fatan Asshidqi | Sumber Gambar Layar.id