Home CATATAN KAKI Sorry, Kawan. Buruh Jogja Tak Butuh Ceramah

Sorry, Kawan. Buruh Jogja Tak Butuh Ceramah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Selalu ada hari yang mendebarkan dalam hidup. Misalnya, hari itu adalah detik-detik terakhir membayar uang pangkal dan jika tak membayar, usai sudah perjalanan Anda sebagai mahasiswa. Hari seperti itu memang berjalan begitu lambat. Semakin lama, Anda akan merasa keseluruhan hidup merupakan kekecewaan, bahkan sebuah tipu daya.

Saya sempat mengalami saat-saat seperti itu, brengsek betul rasanya. Untungnya saya mempunyai cara untuk melihat sisi lucu segala hal. Melalui gawai, saya mengunjungi kelompok pemburu UFO di kota Capilla Del Monte–tempat pangkalan UFO terkubur di bawah pegunungan. Dan, hingga akhirnya saya menjumpai komedi yang sungguh menggelikan, sebuah usul dari Menko PMK Muhadjir Affendy tentang pernikahan lintas ekonomi. Singkatnya, karena kemiskinan yang teramat akut ini dan negara telah jemu dengan segala gugatan tentang kemiskinan, Muhadjir menyarankan, “Yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin”.

Saya pikir komunitas pemburu UFO juga perlu berpikir mencari pasangan dari kelas lain yang berlapang dada untuk dinikahi. Dengan begitu, mereka punya cara lebih indah menyongsong kiamat kelak.

Setelah menemukan usul tersebut, saya khawatir seseorang bermodal gaji UMR Jogja seperti saya dan kebanyakan teman punya keinginan keras melengkapi hidup dengan pasangan yang paling tidak satu tingkat di atasnya.

Pada suatu sore yang melelahkan, seorang cowok tak sengaja berjumpa dengan cewek di sebuah halte. Setelah mengumpulkan keberanian, cowok itu memulai obrolan.

22 Juli 1941, Hitler melanggar pakta nonagresi dengan melancarkan Operasi Barbarossa terhadap Uni Soviet. Ketika invasi itu terjadi, Kamerad Stalin menghilang dan Vyacheslav Mikhailovich Molotov tampil menggalang semangat bangsa Uni Soviet dengan semangat berapi-api. Pidatonya disiarkan di radio.

Baiklah, cowok canggung di halte itu, mari kita sebut Molotov. Enak didengar dan sangat industrial.

Molotov adalah pekerja Jogja pada umumnya, bekerja di sebuah perusahaan kecil dengan beban kerja seluas samudra. Ia lulusan universitas ternama dan ibunya selalu membanggakan itu. Ibunya punya harapan, kelak anak satu-satunya itu sukses di tanah rantau. Molotov enggan pulang kampung sebab ia masih sama menyedihkan sewaktu berangkat, selain memang kampus menjauhkannya dari urusan ladang dan empang.

Molotov agak ragu, tetapi jiwanya bergejolak dan melontarkan ucapan yang entah dari mana idenya.

“Hendak kemana?” tanya Molotov.

“Bertemu klien,” kata cewek itu lalu tersenyum.

“Maukah kau makan malam denganku?”

“Cewek benci pertanyaan.”

“Makan malam lah denganku.”

“Terlalu memaksa.”

“Ingin makan malam denganku?”

“Pertanyaan lagi.”

“Emm … aku akan makan malam, jika kau sudi, bergabunglah denganku.”

Cewek itu tersenyum lalu menyingsingkan rambutnya. Mereka bertukar nomor dan mengagendakan pertemuan untuk makan malam. Sebuah restoran populer dipilihnya.

Malam itu tiba dan Molotov kaget. Setelah kebingungan membaca menu di restoran, ia memesan nasi goreng dan es teh, hanya itu yang ia tahu. Sementara cewek itu memesan crispy salmon temaki dan ice coffee rendah kafein. Katanya, ia sedang melakukan diet ketat dan membatasi asupan kalori harian. Cewek itu berusaha membicarakan apa saja, mulai halaman rumah, bayi-bayi bayam yang mulai tumbuh,  sampai warna rambut kesukaan. Molotov menyimak dan berpikir keras, dengan status pekerja bergaji UMR mampukah ia mempunyai rumah, sempatkah ia mengurusi tanaman, dan bisakah ia bebas menentukan gaya rambut? Tak sampai satu jam, mereka pulang dan berpisah dan tak pernah berkabar lagi.

Setelah pertemuan itu Molotov tahu, persoalan lintas kelas adalah perkaranya dan pemerintah tak mau tahu soal itu–selain bahwa cewek yang ia sukai ternyata seorang Virgo, zodiak paling doyan menghakimi. Begitulah kira-kira rumitnya persoalan cinta muda-mudi Yogyakarta di tengah standar tinggi kota pelajar dan upah murah.

Masalah upah murah ini memang sudah sangat akrab, dari tahun ke tahun menemani buruh Jogja. Setiap Anda mengetik di mesin pencarian “UMP terendah se-Indonesia raya, mana?” pasti nama Yogyakarta berada paling atas. Selain sebagai Provinsi dengan UMP terendah, Anda juga akan menemukan fakta yang mencengangkan tentang Yogyakarta bila mengetik, “Beritahu saya Provinsi mana yang paling timpang se-NKRI!”, dan mesin pencarian akan menjawab, “Yogyakarta”. Maksud saya begini, soal aksi protes menuntut kenaikan upah sama sekali bukan atas dasar bahwa buruh sekarang berlagak perlente, tak sadar kelas, atau nganyih-nganyih. Tapi upah murah sangat erat kaitannya dengan ketimpangan. Upah yang tak cukup untuk hidup sederhana sebulan melahirkan utang-utang baru.

31 Oktober 2020, melalui Keputusan Gubernur DIY nomor 319/KEP/2020,UMP DIY naik 3,54 persen menjadi Rp. 1.765.000. Meskipun UMP DIY naik, tetap saja gelar UMP terendah Indonesia disandang Yogyakarta. Sebagai pembanding, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Hasilnya, KHL rata-rata buruh DIY sebesar tiga juta. Seperti yang kita tahu, berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2012, nilai tenaga kerja Indonesia diukur dari KHL yang berisi 60 komponen kebutuhan hidup buruh lajang.

Saya gedeg betul dengan khotbah-khotbah netizen tentang rasa syukur dan nerimo ing pandum. Bahwa buruh harusnya kerja yang benar dan tidak usah banyak menuntut, lihat noh yang nganggur. Bahwa pecat saja buruh yang tak bersyukur, masih banyak tamatan SMA yang butuh kerja. Bahwa biar pun itu tidak membuatmu kaya setidaknya bisa membuatmu hidup, jadi bersyukurlah! Oleh karena itu, mari kita hitung UMK kota Yogyakarta untuk tahun 2021 sebesar Rp. 2.069.530, sementara KHL kota Yogyakarta berdasarkan survei MPBI DIY sebesar Rp. 3.356.521. Artinya, defisit pendapatan buruh seperti Molotov sebesar Rp. 1.286.991. Contoh lain, UMK Gunung Kidul sebesar Rp. 1.770.000 dengan KHL sebesar Rp. 3.087.843 berarti buruh di Gunung Kidul mengalami defisit sebesar Rp. 1.317.843. Agar hidup terus berlangsung, penambalan defisit diperlukan, bisa dengan cara berhutang atau pergi ke pegadaian.

Persoalan perburuhan di Yogyakarta tak akan usai dengan sabar dan syukur. Dengan demikian, selain perjuangan untuk upah dan kondisi pekerja yang lebih baik, kaum buruh perlu menyadarkan netizen-netizen yang punya obsesi menjadi nabi, yang seringkali ugal-ugalan ceramah konsep nerimo ing pandum. Karena jika tidak, buruh Jogja yang melajang seperti Molotov, dan mungkin kita kelak, akan lebih menyayangi Adele dan membenci Internet Positif. Ini penting!

Blandongan, 16 November 2020 

Penulis: Ajid FM | Ilustrasi: Surya Puja

*Penulis adalah mantan Pimpinan Umum Arena yang menyukai hujan dan bercita menjadi kertel narkoba