Lpmarena.com– Keterbukaan informasi publik masih menjadi masalah di institusi pendidikan hingga lembaga negara. Di ranah institusi pendidikan, kampus menjadi pihak yang tidak memberikan hak atas informasi publik. Persoalan ini diungkapkan oleh Frans Josua Napitu dalam diskusi daring yang diselenggarakan Lokataru Foundation bertajuk Hari-Hari Tanpa Transparasi: Kondisi Keterbukaan Informasi di Tengah Pandemi, Kamis (26/11).
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut menuturkan, tidak ada transparansi tentang informasi publik di kampus. Padahal, ia telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Menurutnya ada yang janggal dengan beberapa komponen yang berkaitan dengan anggaran. Frans pun melaporkan rektornya terkait dugaan korupsi ke KPK, sebelum akhirnya ia harus diskors dan mendapat pembinaan moral.
“Kita sudah enggak minta kampus transparan lagi, karena memang enggak transparan. Kita minta kampus dijatuhi sanksi,” kecam Frans.
Senada dengan Frans, Ulfa Yulianti, mahasiswa Universitas Mulawarman, mengeluhkan hal yang sama. Kampusnya memotong anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk kegiatan mahasiswa dengan dalih paket internet mahasiswa setiap bulan. Namun, hingga hari ini paket yang dijanjikan tak kunjung turun. “Kita gak tahu anggaran ini larinya kemana dan digunakan buat apa,” katanya.
Egi Primayogha, peneliti Indonesia Corruption Watch, menilai bukan hanya kampus yang melanggar UU KIP, melainkan juga pemerintah. Awal pandemi Covid-19, pemerintah melalui pejabat negara menutup informasi yang dibutuhkan publik. Data yang ditampilkan pemerintah pemerintah pusat kerap berbeda dengan pemerintah daerah.
Hingga 9 September 2020, terdapat selisih 568 kasus Covid yang disebut pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat menyatakan 203.342 kasus aktif, sedangkan pemerintah daerah menyatakan 203.910. Padahal berdasar pasal 10 UU KIP, badan publik wajib menyebarkan informasi yang mengancam hajat hidup orang banyak demi ketertiban umum.
Akses yang sulit terhadap informasi inilah yang membuka celah terhadap penyalahgunaan anggaran. Hingga kini, publik hanya bisa mengetahui anggaran yang tersedia dalam jumlah besar, sedangkan rinciannya tidak diketahui. Misalnya, dalam proyek pengadaan Rumah Sakit Darurat Khusus Corona di Pulau Galang, Batam. Anggaran yang diresmikan senilai 400 miliar sedangkan perincian anggaran tidak diinformasikan kepada publik dan tidak diketahui hingga sekarang.
Menurut Egi, hal ini perlu menjadi perhatian bersama karena rawan terjadi tindak korpsi termasuk di sektor kesehatan. “Apalagi di tengah pandemi dan ketertutupan informasi, celahnya akan semakin terbuka lebar.” pungkasnya.
Reporter Fatan Asshidqi | Redaktur Dina Tri Wijayanti