Home BERITA Belas Kasih Tuan Letnan Yang Menyedihkan

Belas Kasih Tuan Letnan Yang Menyedihkan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Kita telah terbiasa menghadapi pilihan semu yang terlihat indah, nyatanya, hanya ada sebuah keterpaksaan tak berdaya atas keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan.

“Keberanian seringkali tak lain sebuah kelemahan yang dibalik,” ujar sang narator sebelum bercerita. Ialah Letnan Anton Hofmiller tokoh utama novel Kalut karya Stefan Zweig. Anton Hofmiller adalah pemberani yang meraih penghargaan Ordo Maria Teresa, sebuah kehormatan militer tertinggi di Imperium Austria-Hongaria. Namun, baginya, kisah hidup tak lebih dari rangkaian cerita ironis yang menjadi aib memalukan, tentang masa muda berisi kenyataan pahit dengan kelabilan dan kebodohan.

Selalu ada kisah di balik kebesaran seseorang, seperti selalu ada bumbu di balik kelezatan makanan. Rasa manis, asam, pahit telah menciptakan kesan berbeda setiap pengalaman, tidak terkecuali bagi Tuan Letnan. Anak muda baik hati yang suka menolong orang dan mejunjung tinggi kejernihan hati nurani, ternyata memiliki nostalgia menakutkan. Ia memulai kisahnya dengan sebuah kesalahan lugu nan polos: Mengajak berdansa gadis lumpuh di sebuah acara makan malam. Atas ketidaktahuannya, ia melewati malam dengan rasa berasalah yang sulit diabaikan begitu saja.

Tidak sedikit bagi kita, mengalami perasaan tidak jelas ketika melakukan sebuah kesalahan. Dengan segala ketololan rasanya ingin sekali meminta waktu untuk mundur sejenak mengubah alur cerita yang telah dimulai. Namun, kita selalu saja kalah terhadap putaran jam dinding bisu itu. Dan perasaan itu kerap kali bertahan sesuai dengan porsi kesalahan yang kita buat.

Berawal dari kesalahan lugu, muncullah perasaan welas asih terhadap kenyataan yang jauh dari perkiraan. Tidak butuh lama untuk rasa iba menghampiri Hofmiller bagaikan hantu berparas cantik rupawan. Menggerakkan seluruh upaya tanpa kehendak, setidaknya menciptakan alasan untuk nurani yang selalu saja menuntut sebuah tindakan. Di pagi yang sepi, Tuan Letnan mengirimkan seikat bunga sebagai tanda permintaan maaf atas kebodohannya. Tapi, siapa sangka, bunga artifisial itu akan menjadi awal dari keadaan-keadaan yang tidak diharapkan.

Edith, gadis lumpuh nan malang, merasakan hal berbeda dengan apa yang dirasakan Tuan Letnan.  Baginya, keranjang bunga itu memiliki arti lebih untuk penderitaan panjang makhluk rapuh sepertinya. Emosi anak manusia yang terpinggirkan, jiwa yang terguncang dan merasa terasing oleh nasib dunia yang kejam, sering kali menciptakan tingkah laku menyakitkan bagi orang-orang di sekitarnya. Wajah pucat itu penuh keputusasaan atas segala hal dalam kehidupan. Merasa menjadi anak tiri Tuhan, terlantar di pinggir jalan dan kebetulan diberikan paksa ke keluarga kaya Kekesvalfa, tanpa ada tawaran.

Seperti gadis remaja umumnya, rasa ingin mencintai dan dicintai pasti selalu hadir dalam keadaan tersial sekalipun, termasuk di antara celah-celah keputusasaannya. Mungkin sejak pemberiaan bunga itu, sang putri lumpuh ini merasa telah diberi anugerah kotak Pandora, bukan dari langit oleh kuasa dewa, melainkan lelaki biasa yang berpangkat perwira. Dan akhirnya sang putri menemukan alasan untuk kembali berharap dan memperpanjang hidup sialnya beberapa saat.

Namun sayang, Tuan Letnan malah tidak menyadari arti penting dirinya sebagai sosok lelaki. Merasa kehadirannya telah membawa suasana baru di rumah keluarga menyedihkan, entahlah karena keluguan atau kebodohan, alih-alih menuruti kemauan belas kasihnya untuk selalu berkunjung. Lambat laun itikad baik menyenangkan orang-orang sekitar mulai menjadi rutinitas berkelanjutan. 

Hofmiller hanya tahu bahwa dirinya telah menjadi pahlawan agung dalam sebuah perang besar di antara keputusasaan orang-orang terasing. Rasa iba yang ia berikan kepada gadis malang telah memberi pelajaran moral. Memahami orang yang ditalak nasib telah melatih kepekaan Tuan Letnan terhadap perasaan orang-orang sekelilingnya. Kebiasaan itu telah membawa Hofmiller kepada kesadaran sosial yang lebih luas: semangat membantu antar sesama manusia“Buat mereka menjadi lebih baik agar tak ada lagi yang menyerah pasrah pada ketidakadilan!” batinnya meyakinkan diri.

Akan tetapi, semangat anak muda yang haus akan kebenaran dan kebaikan membuat Hormiller lupa konsekuensi untuk rasa empati berlebihannya. Tanpa disadari, ia telah mulai membingkai perangkapnya sendiri ke dalam keadaan-keadaan keparat. Ketika banyak pilihan menjadi semu karena dilema ironis. Edith, gadis lumpuh nan malang telah menggantungkan pilihan hidup dan mati di pundak Tuan Letnan seperti hanger baju yang ringan di cantolan lemari. Sialan.

Dan akhirnya, Tuan Letnan terbangun dari mimpi, harapan dan perjuangan mulia itu dalam sebuah ciuman liar dan panas. Ketika sang gadis lumpuh tak kuasa menahan lagi gairah cintanya yang tiada kejelasan. Ia pun menjelajahi pipi, dahi, mata dan bibir Tuan Letnan dengan kecupan manis seorang anak manusia marjinal yang agresif penuh birahi.

Kemudian, Tuan letnan sedikit kaget melihat kenyataan seperti cahaya terang yang menyilaukan mata. Sekelebat muncul pikiran untuk memejamkan kembali dan mengatur ulang mimpi, harapan dan perjuangan yang lain. Pergi jauh dari belenggu cinta sepihak gadis cacat yang tidak masuk akal hanya karena rasa ibanya yang mulia.

Codor, dokter pribadi keluarga Kekesvalfa menegaskan kemungkinan yang terjadi. “Kau tahu, apa yang akan terjadi jika kau pergi jauh diam-diam? saat ini, setelah kau memutarbalikkan isi kepalanya dengan rasa ibamu yang mengagumakan itu?” Ya, tentu saja Tuan Letnan tahu. Ia kini menjadi juru selamat dari seorang gadis malang yang berdiri di depan ambang pintu kematian.

Kini, kenyataan itu telah membuat itikad baik nan agung Tuan Letnan ikut serta ke dalam kelumpuhan makna yang gelap. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, hanya ada kebingungan dan kekalutan akut. Hofmiller marah terhadap dirinya yang lugu dan bodoh

“Hanya aku yang tak tahu apa-apa, terus bermain mejadi badut akibat rasa belas kasihanku sendiri, menjadi kawan baik hati sekaligus tolol”.

Saya kira tidak begitu berlebihan dengan kalimat di blurb novel “Stefan Zweig mengacak-acak anatomi perasaan manusia yang rapuh sekaligus penuh tikungan”. Konflik dibentuk seperti anak tangga yang menjulur ke puncak. Namun, Tuan Letnan bukanlah berdiri di puncak Ordo Maria Teresa seperti yang dibanggakan semua orang. Hanya perihal waktu yang tidak lagi memberi kesempatan untuk memperjuangkan ketidakadilan dan keputusasaan seseorang. Dan harapan terbaik untuk hidup yang baik ialah menantang maut dengan revolver tua dan berkarat.

Tak ada lagi rasa muak untuk kesadaran yang datang terlambat, terdahului oleh itikad tulus sempurna. Bahwa niat baik seseorang tidak lain hanyalah harapan-harapan agung yang tidak pasti.

Judul Kalut | Penulis Stefan Zweig | Penerbit Moooi | Terbit Oktober 2020 | Tebal 518 | Peresensi Fikri Labib

Sumber foto: Marjin Kiri