UMKM banyak didirikan dan dimiliki perempuan yang sekaligus menjadi wadah pemberdayaan bagi mereka
UMKM banyak didirikan dan dimiliki perempuan yang sekaligus menjadi wadah pemberdayaan bagi mereka.
Lpmarena.com- Pada masa pandemi Covid-19, Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) menjadi solusi dalam pemulihan ekonomi. Hal itu disampaikan Eisha M. Rachbini dalam diskusi akhir tahun bertajuk “Perempuan, Ekonomi, dan Demokrasi” yang diselenggaran Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S), Senin (21/12).
Eisha menuturkan, seluruh negara di dunia mengalami masalah perekonomian saat pandemi Covid-19. Negara adidaya seperti Amerika, negara-negara besar di benua Eropa dan Asia, termasuk Indonesia sedang berjuang menghentikan penyebaran virus Covid-19 sekaligus memulihkan kondisi ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat pandemi mengalami penurunan 2,97% pada kuartal pertama. Pada kuartal kedua menjadi -5,32%,” ujar Eisha.
Untuk menyikapi permasalahan ekonomi ini, Eisha mengatakan UMKM bisa menjadi solusi. Menurutnya, UMKM merupakan pelaku utama yang menjadi penggerak perekonomian Indonesia. Selain itu, UMKM memiliki sifat fleksibel yang dapat menyesuaikan diri dalam segala situasi.
“UMKM dapat menghadapi perubahan dan kondisi perekonomian,” ujar Eisha.
Lebih lanjut, peran UMKM dapat dilihat dari berbagai sektor ekonomi, seperti agrikultur, perdagangan, hotel, dan restoran. Bahkan dalam sektor manufaktur, UMKM memberikan kontribusi sebesar 35%. Selain itu, UMKM juga mampu menyerap banyak pekerja di dalamnya.
Menurut Eisha, seluruh peran dan kontribusi UMKM dalam pemulihan ekonomi tidak terlepas dari campur tangan perempuan.
“UMKM banyak didirikan dan dimiliki perempuan yang sekaligus menjadi wadah pemberdayaan bagi mereka,” tutur Eisha.
Senada dengan Eisha, Indri A. Juliannisa, dosen ekonomi UPN Veteran Jakarta sekaligus pembicara kedua, mengatakan bahwa pembangunan tidak luput dari peran perempuan. Akan tetapi dalam realitasnya, perempuan dipandang lebih rendah dari kaum pria dalam segi pekerjaan maupun politik.
Saat ini, terdapat 260 juta perempuan Indonesia yang berpartisipasi aktif dalam pembangunan Indonesia. Perempuan yang bekerja dalam sektor formal maupun non-formal mampu memberikan kontribusi sebesar 44,80% – 45% untuk Indonesia. Bahkan perempuan yang bekerja sebagai buruh dengan gaji rata-rata 1,3 juta hingga 1,5 juta tetap mampu berkontribusi.
Merujuk pada sejarah, perjuangan perempuan di Indonesia sudah dimulai pada tahun 1920-an, tepatnya 1928. Perjuangan mereka saat itu tidak terlepas dari isu-isu yang melekat pada perempuan, seperti isu kesehatan, kawin anak, dan kekerasan.
“Hingga Bung Karno mencetuskan tanggal 22 Desember 1928 sebagai Hari Ibu Pertiwi,” ujar Indri.
Dengan dicetuskannya Hari Ibu, perempuan menemukan kedudukannya di Indonesia. Akan tetapi, di masa orde baru, emansipasi perempuan kembali dibungkam sehingga kedudukan mereka kembali pada pemahaman tentang kodrat wanita.
“Perempuan kembali ke dapur lagi,” cetus Indri.
Setelah reformasi, perempuan mulai membangun kembali emansipasi dan tampil di ruang publik. Meski sudah lebih baik, kata Indri, dengan perjuangan yang ditunjukkan dalam pembangunan, pemerintah seharusnya memberikan kedudukan yang lebih daripada masa Bung Karno. “Tidak seperti yang disebutkan moderator dalam diskusi refleksi akhir tahun ‘who cooks for Adam Smith’,” pungkas Indri.
Reporter Muhammad Fadlan H. Daud | Redaktur Nurhidayah | Sumber foto Antara