Pada adegan pembuka The Godfather, Amerigo Bonasera mengadu kepada kepala keluarga mafia Don Corleone. Ia mengadu sambil menangis sebab anak gadisnya dilecehkan oleh pemuda Amerika yang brengsek. Meski Bonasera sekeluarga berdarah Sisilia, ia berusaha merawat dan membesarkan anaknya dengan gaya Amerika.
“Aku beri gadisku kebebasan, tapi juga kuajari untuk tidak sekalipun mencoreng nama baik keluarga. Dia dapat cowok, bukan orang Italia. Mereka pergi menonton bioskop, pulang begitu larut. Aku tidak protes.”
Bencana datang dua bulan setelahnya. Anaknya kembali keluyuran dengan pacarnya yang lain. Dia dicekok wiski, lalu hampir diperkosa. Gadis itu menolak, lantas digebuk seperti binatang liar. Hidungnya patah; rahangnya remuk. Dia kesakitan dan tak lagi sanggup menangis.
Si bapak naif itu mencoba menyelesaikan perkara tersebut di meja hukum. Bajingan yang melukai anak gadisnya divonis tiga tahun penjara. Vonis itu tak menyembuhkan patah hati Bonasera. Sebab, pengadilan memutuskan menunda vonis tiga tahun yang menimpa pelaku. Pelaku itu bebas berkeliaran.
Tak puas dengan pengadilan Amerika, Bonasero merajuk, “Don Corleone, beri aku keadilan!”
Adegan itu mengingatkan saya pada seorang teman, yang begitu mendambakan kehidupan sebagai pengangguran. Ketika bulan puasa, saat pandemi lagi brengsek-brengseknya, ia memilih bekerja penuh waktu untuk menyambung hidup.
Dia bekerja di salah satu toko buah di Yogyakarta. Ketika matahari masih mengintip di ufuk timur, dia sudah bergegas ke tempat kerja. Saya tak tahu apa yang ia lalui di tempat kerjanya itu. Dia pulang selepas magrib, dalam keadaan sudah berbuka puasa, membaca buku barang sebentar lantas tidur seperti bayi.
Sesekali sebelum tidur, ia mengeluh seperti Bonasera. Saya tak mau ambil peran Don Corleone. Saya pikir waktu itu, ia mestinya mengadu ke bosnya yang ia sebut sebagai Bung Besar. Tiga minggu setelahnya, ia betul-betul mengadu ke Bung Besar itu.
Entah bagaimana percakapan antara teman saya dan Bung Besar itu berlangsung. Saya selalu membayangkan percakapan mereka seperti Bonasera dan Don Corleone.
“Aku merawat tubuhku seperti pemuda liberal Amerika. Kugerakkan tubuhku untuk bekerja, tapi jangan sampai fungsinya menurun. Tubuhku harus bertahan bekerja 40 jam per minggu, hanya untuk berpesta di waktu yang sangat sedikit. Aku tidak protes.”
Teman saya memang tak pernah protes meski pekerjaan telah merenggut haknya untuk bermalas-malasan. Di mata saya, ia lebih cocok disamakan dengan mafia Italia pada umumnya: gemar menganggur dan punya banyak teman minum anggur.
Bung Besar mendengar aduan itu dengan tenang layaknya Don Corleone, sambil mengelus buah pepaya di pangkuannya seperti Don Corleone mengelus kucing kesayangannya.
Tak mendapat respons, teman saya berkata, “Bung Besar, beri aku keadilan!” lalu kembali menjadi pengangguran paling bahagia se-Bimasakti keesokan harinya.
Saya menyukai cara pandang teman saya terhadap kehidupan. Bahwa hidup itu lebih enak menganggur, dan menganggur memang sebegitu enaknya. Dedikasi berlebihan terhadap dunia kerja tak perlu dilebih-lebihkan.
Pada 25 Juli 2013, seorang jurnalis bernama Miwa Sado ditemukan tewas di Tokyo dalam posisi sedang memegang ponsel. Sado mati bukan karena peluru, ia bukan wartawan perang. Sado mati bukan karena seseorang tidak suka atas pemberitaannya, ia berbeda dengan Udin. Ia meninggal karena bekerja 159 jam dalam waktu sebulan.
Di Jepang, kematian karena terlalu banyak bekerja disebut sebagai karoshi. Ada yang meninggal setelah melompat dari asramanya setelah kelelahan bekerja. Namanya Matsuri Takahashi. Beberapa minggu sebelum kematiannya, ia menulis, “Saya hancur secara fisik dan mental” dan “saya ingin mati.”
Begitu hebat, pekerjaan bisa membunuh warga Jepang yang saya kira tangguh lewat acara televisi Ninja Warrior dan Benteng Takeshi.
Membaca kisah-kisah itu bisa membuat bulu roma bergidik. Saya selalu shock melihat orang yang menyiksa diri karena begitu cinta pekerjaannya. Menurut saya, hidup yang dipenuhi pekerjaan adalah hidup yang tragis.
Saya tentu merasa tak lebih baik dari teman-teman yang bekerja dengan penuh dedikasi. Mengutip kata teman saya, kita semua hanyalah baut kecil dalam mesin besar bernama kapitalismo. Tak seharusnya kita saling mencaci. Hanya saja, melepas status pengangguran memang bukan preferensi yang saya pilih.
Namun, pekerjaan kini semakin akrab. Ia seperti teman yang saya punggungi dan benci diam-diam. Cepat atau lambat ia pasti menepuk pundak saya dan berkata, “Kok kamu diamin aku?”
Beberapa bulan yang lalu, misalnya, kakak saya bertanya apa yang akan saya lakukan setelah lulus kuliah. Kini saya menginjak semester tujuh. Menurut standar kepatutan akademik kontemporer, mestinya saya lulus semester depan atau lebih cepat.
“Entah. Gampang itu urusan nanti,” jawab saya, tak mau diinterogasi. Sejurus kemudian, saya merasa jawaban tadi agak kurang ajar sehingga akhirnya saya coba menyambung obrolan. “Enaknya kerja apa, ya?”
“Carilah ikigai-mu.” jawabnya menyebut istilah jejepangan.
Istilah apa lagi ini, pikir saya. Setelah saya cari-cari, padanan kata itu tak dimiliki oleh Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Tapi, singkatnya begini. Ikigai sering diasosiasikan dengan diagram Venn dengan empat kualitas yang saling tumpang tindih: apa yang Anda sukai, apa yang Anda kuasai, apa yang dibutuhkan dunia, dan keahlian apa yang membuat Anda dibayar orang. Perpaduan antara empat hal itulah yang disebut dengan ikigai. Ikigai bakal membuat Anda cinta dengan pekerjaan, membuat Anda punya alasan untuk bangun pagi hari.
Ikigai memang konsep yang indah. Tapi, tentu bukan itu yang membuat teman saya bangun sebelum pagi dan berangkat ke toko buah. Setahu saya dia tak begitu suka buah. Buah adalah konsumsi kalangan kelas menengah sementara uangnya hanya cukup untuk beli rokok dan nasi kucing.
Dunia mungkin butuh buah, tapi bukan karena dunia butuh toko buah dia dibayar. Jauh sebelum menjadi penjaga toko buah selama satu bulan, ia bekerja serabutan. Ia jadi kuli dekorasi pengantin, tukang kayu, dan apapun yang bisa dikerjakan ia kerjakan. Dia pernah dapat kerja memindah-mindahkan barang sebanyak satu kontainer. Kerja serabutan itu biasa dia lakukan seharian semata agar bisa hidup menganggur seminggu setelahnya. Dia dan saya mungkin hanyalah tentara cadangan pekerja. Bolehlah, sesekali bekerja. Sisanya, saya cuma ingin menghabiskan waktu di kos dan mengelap sepeda saya yang bernama Rocinante, sambil menunggu ajakan mabuk dari teman. Hidup menganggur dan sesekali bergerombol. Seperti mafia Italia!
Penulis Sidra Muntaha | Ilustrasi Dzaky
*Penulis adalah mahasiswa UIN