Home SASTRAPUISI Balada Rini: Puisi-Puisi Farid Merah

Balada Rini: Puisi-Puisi Farid Merah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Balada Rini

Pendar cahaya lampu,

Rapi tertata meja dan kursi,

Ada rini gadis manis kasir baru kita hari ini,

“Silakan kak mau pesan apa?” Tanyanya pada pelanggan, yang tanpa lupa pula senyuman.

“Manis,” jawab pelanggan dengan nada menggoda.

“Kopi manis ya kak?” Tanya rini.

“Oh bukan, yang manis selain kopi ada?

Tanya pelanggan, dengan pasang muka kegenitan.

“Ada kak, silakan ini menunya.” Ia tetap ramah, ia burung bangau betina yang sedang

Mencari makan, ia tak mau setitik pun lumpur mengotori bulu-bulu putih di badannya.

Pelanggan itu melihat-lihat menu, “Oh yang manis selain makanan dan minuman di sini, apakah ada yang bisa dipesan?” Tanya pelanggan itu dengan nada air muka genit.

“Maaf kak, bagaimana ya? Saya kurang mengerti,”

jawabnya ramah, dengan kesadaran penuh, bahwa ia sedang dilecehkan lewat pertanyaan itu.

Ia tetap ramah, ia adalah bangau betina, yang sedang mencari makan ia tak mau setitikpun

lumpur mengotori bulu-bulu putihnya, ia adalah bukan benar-benar bangau betina,

ia hanyalah Rini, lantaran ia tahu jikalau ia mengurangi sedikit keramahannya ia kena teguran

dari teman-teman kerjanya, ia kena teguran dari penanggung jawab yang belum tentu mau

menanggung dan mau menjawab problemnya, ia kena teguran dari manajer lapangannya, ia kena

teguran dari manajer utamanya. Ia takut bonus bulanan yang sangat ia butuhkan tertunda, 3 hari, seminggu, dan bahkan sebulan, sebab gajinya saja tak cukup buat biaya hidup sebulan kedepan,

sedang tagihan bulanan ini, bulanan anu, dan bulanan itu, terus ada dan berlipat ganda, tak bisa

tertunda pembayarannya.

Kemilau manis gula,

Pekat gelap kopi,

Kompor-gas lpj- dan kobaran api,

Cangkir-lepek-sendok-sepatu celemek-& topi.

Ada uap air di dalam panci,

Ada rebusan air di dalam panci,

Ada air panas di dalam panci,

Semua ada dalam hati.

Sabar … ! kata PJ, kata manajer, & kata bos.

Rini menjawab: sedari lahir saya sudah diajari memakan sabar oleh kedua orang tua saya.

Ketika bayi terpaksa saya harus ditinggal oleh bapak dan ibu, mereka pulang, dan saya tinggal

di rumah sakit sebagai tahanan, lantaran bapak dan ibu saya tak punya cukup uang untuk menebus biaya persalinan di rumah sakit.

Suatu malam saya dan kakak menangis lapar, lantaran tak ada yang bisa dimakan di rumah,

ibu menghibur kami dengan dongeng dan memberi sedikit harapan pada kami “kalian jangan

nangis, kasihan bapak, bapak pulang pasti bawa makan, kalau kalian nangis bapak pulang enggak

bawa makanan, kita tunggu bapak pulang kerja ya … hibur ibu pada kami.

Ketika siang hari waktu itu masih sd kelas 4, aku minta uang pada ibu ketika hendak pergi

ke sekolah, lantaran bayar buku Lks, bukannya memberi uang; ibu malah memberiku seperangkat

alat sholat, aku disuruh menukarkan itu dengan uang, pada tante lisa yang Kristen. Dan aku tahu

nama kegiatan itu ketika smp, itulah yg dinamakan pegadaian. Ibuku menyuruhku menggadaikan

seperangkat alat sholat kami untuk bayar uang lks.

Usaha, dan sabar adalah makanan kami tiap hari.

Berserah diri, dan apa adanya, adalah pelajaran kami setiap hari.

Kesetiaan itu adalah kemiskinan, ia kekasih kami hingga hari ini.

Bantul, 20 Desember 2019

Untuk Novel Baswedan

Di sebuah kursi kamu duduķ,

Di sebelahmu kegelapan,

jaraknya  1 setengah senti dari hidungmu.

Sejak peristiwa ba’da subuh itu,

Segalanya menjadi hitam-putih dan abu-abu di negara ini,

Begitu katamu.

Yang berani menjadi ragu,

Yang Tahu menjadi ramai,

Yang mendengar merasa lurus,

Yang gagah menjadi resah,

Yang tuli sedang bicara,

Yang Buta memandu jalan,

Segalanya menjadi hitam-putih, dan abu-abu,

itu katamu.

Tapi itu adalah pintumu,

Itu pintu awal menuju

Ketersingkapan rahasia yang disembunyikan darimu,

Bantul, 12 November 2019

Pidato kematian yang menguntungkan

Kami tak akan pernah membiarkan mereka mati,

Kami tak akan pernah membiarkan mereka berhenti khawatir,

Kami tak akan pernah membiarkan mereka kembali dengan tenang,

Kami tak akan pernah membiarkan mereka beristirahat dengan tenang,

Kami menginginkan kegiatan

Saat mereka mati.

Yang harus kalian lakukan adalah menggali liang,

Berapa harga sewa ruangan 2×1 meter di tempat itu?

Saat kematian datang, mereka harus siapkan uang.

Mereka berpikir masih sempat memakai baju.

Baju adalah kapas yang diolah menjadi benang

benang diolah menjadi kain

kain diolah menjadi baju

Menjadi rajutan-rajutan

menjadi ikatan-ikatan

yang mengikat dan mengingat satu sama lain.

Dan itu tidak mungkin.

Sleman, 29 Desember 2019

Kedalaman

Aku adalah pecundang di pelukan duka

dan segala kejujuranmu

Ruang intim pengap dari segala

yang kau sembunyikan

Cairan pekat diantara kerongkonganmu

Dan ketika kau berjalan mengarah pada tujuanmu

Jangan pernah mengikuti arahku

Sebab aku hanya akan melawati gurun dan belantaraku sendiri,

aku mau sendiri, aku tidak mau diwakili siapapun, tidak mewakili siapapun,

Aku enggan digembala oleh siapapun

Bekalku hanyalah pengakuan,

Tinggal lah di sini

Di sana kau hanya akan temukan kelahiran – kelahiran baru

Anak – anak haram yang menertawai ketakutan dan keresahanmu

Bayi yang lahir dari hasil ragu dan yakinmu yang tak menentu.

Sleman, 15 Januari 2020

Farid Merah lahir di Surabaya dengan sungsang dari rahim ibunya, seorang buruh warung kopi bodoh, yang bergerilya di kampus UIN sunan Kalijaga, sambil bermain peran di komunitas seni teater; teater Eska. Buku pertamanya berjudul Imajinasi Jelata terbit Juli 2020.

Ilustrasi Surya Puja Kelana