Lpmarena.com- Ratusan organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menyatakan sikap terhadap pemerintah untuk menuntut hak referendum dan menghentikan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus). Pernyataan tersebut diutarakan dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada Kamis (7/1) siang melalui kanal Youtube Suara Papua TV.
Juru Bicara Nasional PRP, Awom menyampaikan bahwa petisi penolakan Otsus dan perjuangan hak referendum yang dimulai sejak 2020 silam telah berhasil mengumpulkan 654.561 suara. Ia juga berkata kebijakan Otsus tidak menjawab keinginan rakyat Papua.
“Sebab tuntutan rakyat Papua sebagaimana awal lahirnya kebijakan Otsus di Tanah Papua, yakni rakyat Papua ingin berdaulat penuh atas tanah air atau merdeka,” ungkap Awom.
Dalam acara tersebut, Awom juga menegaskan Otsus yang berlaku di Papua sejak 2001 telah gagal dalam berbagai aspek. Sebut saja, bidang kesehatan dan pendidikan yang tak kunjung membaik.
Permasalahan lain yang menjadi sorotan adalah arus transmigrasi yang terjadi secara masif. Berdasarkan data tahun 2015, terdapat 763.807 transmigran yang datang ke Papua. Sementara pada tahun 2019, data orang asli Papua berdasarkan marga menunjukkan angka 2.386.048 jiwa.
“Berdasarkan akumulasi antara data kelahiran, kematian, serta arus transmigrasi yang tak terkontrol, tentu bukan hal yang tidak mungkin, bahwa Papua sedang menuju ke ambang kepunahan,” tegas Awom.
Kasus pelanggaran HAM juga turut disinggung oleh Awom. Ia menuturkan bahwa selama era Otsus, terdapat banyak kasus pelanggaran HAM, baik yang terdata maupun tidak.
“Semua peristiwa pelanggaran HAM tersebut membuat ratusan ribu rakyat sipil Papua meninggal. Bahkan ribuan rakyat sipil mengungsi jauh dari tempat mereka berada dan tidak mendapat perlakuan adil di depan hukum, sedangkan pelaku mendapat impunitas,” tuturnya.
Tak berhenti di situ, Awom juga menambahkan bahwa fenomena pemerataan dan pembangunan infrastruktur kerap menjadi alasan untuk menjadikan Papua sebagai lumbung investasi. Sekitar 9.053 perusahaan skala basar dan kecil telah tercatat serta tersebar di Papua hingga tahun 2019.
Hal senada juga disampaikan oleh perwakilan Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP), Yarinap yang mengutarakan bahwa pembangunan infrastruktur telah mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Papua.
“Banyak perusahaan-perusahaan hari ini berebutan untuk masuk di Papua. Ketika besok Otsus dilanjutkan, hutan Papua habis, dan sekarang sedang habis,” ucapnya.
Perwakilan Green Papua, Yohanes Giyai juga menambahkan bahwa dampak negatif terhadap lingkungan ketika berlangsungnya Otsus sangat dirasakan oleh rakyat Papua.
“Ini dampak-dampak lingkungan memang sudah sangat dirasakan oleh rakyat (Papua), dimana mereka kehilangan tanah-tanah adat. Kemudian juga kehilangan tempat-tempat pencaharian sumber-sumber kehidupan mereka, lahan berburu, kemudian air juga tercemar, dan lain-lain. Ini adalah dampak-dampak yang sudah sangat merugikan,” ungkapnya.
Giyai menegaskan, menjadi hal yang keliru apabila pemerintah yang menentukan keberhasilan atau kegagalan otonomi khusus. Sebab, rakyat Papua yang merasakan secara langsung dampak penerapan kebijakan otonomi khusus. Sehingga lanjut atau tidaknya kebijakan otonomi khusus harus kembali kepada rakyat Papua.
“Tidak ada pihak yang berhak mengintervensi keinginan rakyat Papua untuk menilai kebijakan otsus (otonomi khusus). Semua suara untuk melanjutkan otonomi khusus atau tidak, itu mesti dikembalikan kepada rakyat Papua,” tegas Giyai.
Reporter Lila (magang) | Redaktur Sidra Muntaha