Home BERITA Sektor Informal Jogja yang Sekarat di Tengah Pembatasan Kegiatan hingga Pukul Tujuh Malam

Sektor Informal Jogja yang Sekarat di Tengah Pembatasan Kegiatan hingga Pukul Tujuh Malam

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Kita tidak mengemis bantuan. Kita tidak minta duit walikota. Yang kita butuhkan adalah waktu untuk bekerja,” tegas lelaki berkaca mata itu.

Namanya Dinta Yuliant Sukma, salah satu massa aksi yang berorasi di depan barisan demonstran. Sesekali, lelaki yang akrab dipanggil Emon itu meninggikan suara sambil menoleh ke gedung PKK Balai Kota Yogyakarta. Gedung itu adalah tempat audiensi dan penyampaian aspirasi pekerja sektor informal Kota Yogyakarta, Selasa (12/01) lalu.

Di depannya puluhan massa aksi berbaris ke samping sambil membentangkan sepuluh poster dan satu spanduk panjang: tolak Surat Edaran Walikota Yogyakarta Nomor 443/025/SE/2021 yang terbit Senin lalu. Khususnya, pada poin pembatasan kegiatan usaha jasa makanan dan minuman yang meliputi restoran, jasa boga, pusat penjualan makanan, rumah makan, dan warung makan hanya sampai pukul 19.00 WIB.

Emon menyampaikan agenda audiensi bersama Walikota hanya ditemui oleh wakilnya saja. Itupun cuma menyampaikan surat edaran yang telah dibaca warga pekerja sektor informal, utamanya massa aksi yang terdiri dari pedagang Alun-alun Utara dan Pasar Sore Senthir.

Pembatasan tersebut dirasa memberatkan. Apalagi, beberapa pedagang baru buka warung jam lima sore. Saat itu, biasanya, pelanggan masih sepi.

Suratmi, salah satu penjual nasi di Alun-alun Utara yang menjadi bagian dari massa aksi, merasakan dampak besar bagi usahanya. Berdasarkan pengalaman, antara jam lima sore sampai tujuh malam, ia biasa mendapat dua hingga tiga pelanggan saja.

“Pokoknya tidak ada pemasukan pendapatan,” ungkap perempuan berkepala empat itu.

Padahal, sebelumnya, Gubernur DIY sudah menerapkan pembatasan jam operasional saat libur Natal dan Tahun Baru. Pembatasan jam dari pukul sembilan pagi hingga sembilan malam itu saja sudah merepotkan. Sejak berlaku dari tanggal 24 Desember sampai 8 Januari, Suratmi dan sesama pedagang di Alun-Alun Utara harus rela mematikan lampu jika waktu yang ditentukan sudah habis, kendati pelanggannya baru datang atau masih menikmati hidangan.

“Jam sepuluh baru mau rame, tapi warungnya sudah pada tutup,” Serunya dengan suara lesu pada LPM ARENA.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh koordinator umum aksi, Deva Permana. Menurutnya pemasukan pedagang angkringan dan ronde sekarang hanya berkisar Rp. 8.000 saja. Sementara lazimnya, pendapatan mereka saat sepi berkisar Rp. 20.000. Bila ramai, bisa mendapat Rp. 50.000.

“Itu yang dapat, yang blongan (tidak dapat sama sekali-red) juga banyak,” timpal lelaki yang biasa dipanggil Deva tersebut.

Emon menambahkan, harapan warga pekerja sektor informal sederhana saja. Berikan waktu yang cukup bagi mereka bekerja, setidak-tidaknya kembalikan waktunya pada pukul 23.00 sesuai instruksi Gubernur. Karena bagaimana pun, para pekerja sektor informal juga memiliki tanggungan yang besar. Seperti cicilan motor per bulan, ongkos berobat di rumah sakit, bahkan biaya pendidikan anak-anak mereka.

Sama halnya dengan Suratmi, ia juga harus mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Bekerja selama tiga jam bukannya untung justru merugikan.

“Makan ya makan, tapi kebutuhan sehari-harinya bagaimana?” tanya Suratmi.

Reporter Roziqien | Redaktur Sidra Muntaha