Home BERITA Menguliti Fenomena Neo-Orba dalam Bedah Buku Eko Prasetyo

Menguliti Fenomena Neo-Orba dalam Bedah Buku Eko Prasetyo

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com– “Pandemi ini semakin lama malah semakin parah, bukannya semakin membaik. Bahkan di bulan Januari 2021 angka penyebarannya lebih dari 800.000 kasus,” jelas Viola Nada H, moderator, membuka bedah buku daring yang diadakan oleh Social Movement Institute (13/1).

Dalam bedah buku bertajuk Zaman Otoriter: Corona, Oligarki, Dan Orang Miskin, Eko Prasetyo selaku penulis mengulas latar belakang penulisan buku tersebut. Dilanjutkan pembahasan otoritarianisme negara pada era kekinian, dan membahas ketiadaan negara dalam kesejahteraan rakyat.

“Secara umum buku ini ingin membahas tiga hal: pertama, tentang pandemi dan dampaknya terhadap masyarakat, yang kedua terkait oligarki yang menjadi satu lapisan sosial yang menjadi kritikan banyak kalangan, dan yang ketiga orang miskin atas akses kebutuhannya yang makin sulit dan terpojok,” ujar Eko Prasetyo selaku penulis.

Eko juga menjelaskan tentang kebijkan pemerintah yang tidak sejalan dengan situasi pandemi. Ia juga menguliti fenomena bangkitnya Neo-Orba. Neo-Orba ini dicirikan dengan meluasnya praktik kekerasan, pembatasan kebebasan berpendapat, mudahnya isu SARA muncul dan partai politik yang makin personal serta orientasi ekonomi yang kapitalistik dan ekploitatif.

Asfinawati, Direktur Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengafirmasi data dalam buku karya Eko tersebut. Ia juga memaparkan temuan YLBHI selama pandemi terkait politik hukum dan sejauh apa keterkaitan Covid-19 dengan demokrasi yang ada di Indonesia saat ini.

Aktivis HAM itu juga menyinggung tanggung jawab pemerintah dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Masyarakat. Melalui PP Nomor 21 Tahun 2020, pemerintah malah melempar tanggung jawab tersebut ke pemerintah daerah, dengan membuat mekanisme PSBB ditetapkan melalui pengajuan kepala daerah.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti kebohongan pemerintah berkenaan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 untuk Pandemi. Perpu ini dibuat seolah untuk menghadapi pandemi saja tapi, “dia juga tidak salah kalau hanya untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, dan juga tidak salah hanya untuk stabilitas sistem keuangan” tegas Asfinawati.

Terakhir, zaman ini seperti Neo-Orba, seperti Orde Baru, menurut Asfinawati, namun dengan varian yang lebih ganas karena adanya teknologi & informasi. Pemerintahan kini juga bisa mengendalikan partai oposisi dan membuat UUD sesuai maunya. Ini varian baru namun dengan struktur lama, pungkasnya tentang pola hambatan dalam kebebasan berpendapat.

Diskusi tersebut dilanjutkan dengan penjelasan Ahmad Arif selaku Founder Lapor Covid-19. Ia memaparkan perjalanan Lapor Covid-19 dan temuan data tentang pandemi, ketimpangan resiko dan wajah birokrasi saat ini.

“Negara ini sebenarnya, menurut saya, gagal mengelola pandemic. Konsekuensinya, akan memicu piramida pengorbanan yang paling dasar, masyarkat yang miskin secara sosial dan ekonomi”, jelas Arif.

Pada akhirnya jika negara gagal mengelola pandemi ini yang terjadi adalah survival of the fittest. Berdampak pada persaingan masyarakat untuk bertahan dengan caranya sendiri yang tidak adil karena sturktur ekonomi politik sebelum wabah yang timpang.

“Bahwa korban terbesar di piramida pengorbanan adalah masyarakat miskin” pungkas Arif.

Reporter Naufal Aulia Rachman (magang) | Redaktur Sidra Muntaha