Home SASTRACERPEN Lampu Sentir Robert Blincoe

Lampu Sentir Robert Blincoe

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Hisyam Billya Al Wajdi*

Baginya siang dan malam sama-sama kejam

Baginya air pethak serasa brandy”

“Asap dari cerobong itu menghujani mataku, tubuhku didera terus-menerus, air mataku menguap sebab saban hari aku memandangi bara api, aku tak pernah melihat matahari,” kata Robert Blincoe, dalam lipatan kenangannya di Inggris akhir abad ke-17, dan awal 18 merupakan angin durjana.

Robert Blincoe adalah bocah sebatang kara, yatim piatu, yang bukan saja lahir berbarengan dengan gaung Revolusi Industri, tapi juga lahir dengan nasib yang pahit. Ketika menginjak usia sepuluh tahun, dia dipekerjakan sebagai buruh pabrik kapas, dan di St. Pancras London, dia sempat menjadi asisten penyapu  cerobong asap.

Bekerja sebagai seorang  buruh, sejatinya tak sebanding dengan intensitas maupun kapasitas diri anak seusianya, Blincoe harus bekerja kurang lebih 14 jam perhari: memungut sisa kapas, mencari bahan bakar mesin, dan mendapat bonus sumpah serapah, bersama 80 orang kawan lainnya. Dan bila tengah sial, ia akan merasakan cambukan. Di sana ia hanya diberi makan bubur dan roti hitam tanpa selai, apalagi susu, tentunya dengan porsi yang sangat terbatas dan kualitas yang rendah.

Malam yang membentangkan istirah kepada umat manusia tak lantas menghembus dan berlaku padanya, tangannya masih menari paksa, nafasnya kian memburu, dan setiap gerak-geriknya diawasi; ia benar-benar harus cekatan, salah-salah cambuk itu bisa melecut ke badannya; ia juga musti pintar-pintar menjaga ritme, sebab cambuk itu juga bisa melayang apabila kerjanya melambat, memacu polahnya semakin gedabikan, di neraka itulah ia kehilangan setengah jarinya. Berulang kali terbersit dalam angannya untuk bunuh diri dan berulang kali pula ia mencoba kabur dari tempat itu akan tetapi ia tak pernah mujur, dia selalu diseret kembali ke sarang mengerikan itu lagi, dan lagi.

            Hal ini berlangsung sampai 1813 di mana setelah itu ia bekerja sebagai pekerja dewasa, ini sedikit memberi nafas segar baginya, akantetapi lamban laun ia menyadari betul bahwa hal tersebut tidak akan mengubah nasibnya. Ia tidak ingin stangnan, dengan segenap pengalaman dan keterampilan yang ia dapat sejak kecil di pabrik kapas, ia memutuskan untuk mendirikan bisnis pemintalan kapasnya sendiri, dan di sinilah sentir Blincoe mulai menyala, berpijar, berpendar atau apa saja yang intinya menyibak kegelapan, membimbingnya keluar dari tempat terbrutal sejagat raya.

Singkat cerita bisnis tersebut jaya, Robert Blincoe pun menjelma menjadi seekor burung yang bebas terbang kemanapun, tapi Blincoe tetap sadar batas, ia tak ingin seperti Ikarus yang malang itu. Kini Robert Blincoe punya sarang yang nyaman dan memiliki otoritas terhadap dirinya, ia tak lagi menghirup asap yang mencekik pernafasaan ataupun lecutan cambuk yang memacu kerjanya, sentir itu tetap membimbingnya sampai ia benar-benar menemukan cahaya anandamayakosanya sendiri.

Tahun 1822  adalah tahun di mana ia mulai dikenal dunia, hal ini karena pada tahun tersebut datang seorang wartawan bernama John Brown merekam kisah hidupnya sebagai anak yang di pekerjakan. Alhasil kisah Blincoe tersebut terbubuh epik dalam majalah The Lion  yang cukup prestise kala itu dan dari situlah namanya mulai mendapat sorotan khususnya oleh para aktivis. Selang beberapa tahun, John Bown menerbitkan buku A Memoir of Robert Blincoe sebuah buku biografi yang melukiskan keadaan Blincoe ketika berada di pabrik kapas tersebut. Konon kisah Blincoe ini menjadi inspirasi novel Oliver Twist karya Charles Dickens yang sama-sama mengambil potret kemanusiaan berlatarbelakang eksploitasi anak-anak yatim-piatu terutama di kota-kota industri modern.

Tahun 1828 adalah tahun yang cukup berat bagi Blincoe, cobaan demi cobaan menerpanya: usahanya hancur terbakar, mesin pemintalnya pun tak luput; usaha yang dirintisnya mendadak sirna dalam sekejap mata. Ia di tahan karena terlilit utang. Kehidupan setelahnya, ia jalani sebagai penjual limbah kapas dan hal itu tidak begitu berat ia jalani sebab tubuh dan hatinya telah mengumpal batu ketegaran sedari kecil. Baginya kegelapan yang lebih pekat dari ini pernah ia lalui; ia sadar betul bahwa sentir ini sudah saatnya padam karena matahari yang jernih akan segera menyapa lubuk jiwanya. Matahari akan menjadi cahaya terahir yang menuntunnya menuju cahaya sejati,cahaya ilahi.

Begitulah Robert Blincoe, sorang anak yang berhasil bertahandari eksploitasi industri modern kala itu. Ia memang tidak sepedih Jean Baptise yang dilahirkan di pasar ikan kumuh, lalu dibuang ke selokan. Keinginannya hanya sederhana, ia ingin menjalani hidup tanpa pukulan, cambukan dan tanpa kata-kata kasar.

Robert Blincoe adalah salah seorang yang dapat menemukan otentisitas dirinya; ia juga merupakan potret nyata dari keserakahan segelintir kapitalis, mungkin, apa yang ditulis Iksan Sekuter dalam lagunya Bingung ada benarnya juga, bahwa makin hari makin susah saja menjadi manusia yang manusia sepertinya menjadi manusia adalah masalah buat manusia. Untuk itu, mari kita bersama-sama kembali menebalkan lapisan kemanusiaan kita.

*Penulis lahir di Yogjakarta 11 Februari 2002, saat ini menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga, prodi Aqidah Filsafat Islam, tulisannya tersiar di media cetak maupun eletronik, selain berkecimpung di dunia akademik kampus, penulis juga menyibukkan diri mengelola kebun di halaman belakang rumahnya, penulis menetap di Bantul.