Lpmarena.com– Berbicara perihal pers dan demokrasi tak pernah mudah. Sebab, pers punya peran penting dalam mengonsolidasikan kekuatan masyarakat sipil, aktor utama dalam sistem demokrasi. Sementara itu, usaha pelemahan demokrasi dari berbagai pihak, katakanlah oligarki, tidak pernah usai. Melihat fakta ini, “peran pers” dan “regresi demokrasi” praktis menjadi kata kunci selama diskusi Menghadirkan Jurnalisme Berkualitas di tengah Pandemi, Terpaan Revolusi Digital dan Kemunduran Demokrasi yang diadakan LP3ES, Selasa (9/2).
Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy LP3S, pertama-tama memberi pengantar dalam diskusi ini. Bagi Wijaya, ada tiga tantangan yang dihadapi pers Indonesia zaman kiwari, yaitu konglomerasi media, budaya talking and clickbait journalism, dan manipulasi opini publik di media sosial. Tantangan terakhir mendapat perhatian khusus dari Wijayanto.
Menurut penulis biografi Harian Kompas itu, manipulasi opini publik dapat dilihat sekurang-kurangnya dalam lima kasus: Pilpres 2019, Revisi UU KPK, New Normal, Omnibus Law, Pilkada 2020. Pada kasus Revisi UU KPK, misalnya, terjadi tsunami percakapan di Twitter yang berlangsung selama satu minggu dengan tagar KPK dan Taliban.
Menaiknya intensitas percakapan soal KPK dan Taliban di tengah Revisi UU KPK, bagi Wijayanto, mesti mengandung unsur kesengajaan. Dan, karenanya ia disebut manipulasi opini publik. Ironisnya, media mengamplifikasi isu itu.
Padahal, “media punya tugas menjernihkan informasi yang beredar di publik,” kata Wijayanto.
Wijayanto juga mendedahkan manipulasi opini publik terkait isu New Normal. Sementara WHO menetapkan enam standar bagi setiap negara yang hendak melakukan pelonggaran pembatasan, kasus positif Covid-19 di Indonesia terus melonjak. Saat itu, Jokowi justru mengajak masyarakat menyambut New Normal. Lagi-lagi, media mengamplifikasi ucapan Jokowi.
Berbagai tantangan yang dihadapi pers ini juga diiyakan Nurul Hasfi, Dosen Ilmu Komunikasi Undip. Menurutnya, ada empat alat ukur untuk melihat tantangan media Indonesia terkait kebebasan pers. Keempat alat ukur itu adalah legal environment, political environment, political environment, dan professional environment.
Sebagian tantangan datang sebelum pandemi, dan sebagian lain muncul karena pandemi. Tantangan dalam legal environment, misalnya, adalah UU ITE, KUHP, dan lain sebagainya yang berpotensi membatasi media dalam menyampaikan informasi.
Dalam political environment pun, sudah jamak diketahui, media-media arus utama dan berbagai jaringannya hanya dikuasai segelintir konglomerat. Akibatnya, konten media arus utama relatif seragam. Adapun, setelah pandemi, tantangan dalam lingkup ini bertambah dengan melonjaknya subsidi dan dana iklan dari pemerintah.
Hasfi mencontohkan beberapa media lokal yang kekurangan kue iklan di masa pandemi, lantas menerima iklan dari pemerintah. Hal ini menurutnya, “Membuat kita bertanya seberapa independen pers ketika mendapat dana dari pemerintah?”
Tantangan paling nampak yang disebabkan oleh pandemi terjadi di professional environment. Sejak pandemi merebak pada Maret 2020, masyarakat mesti menerapkan social distancing. Pembatasan ini kemudian menjadi tantangan terbaru sebab mengubah teknik peliputan media.
Pemimpin Redaksi Tempo, Budi Setyarso juga membicarakan hal serupa dengan Hasfi dan Wijayanto perihal tantangan media. Namun, ia menambahkan peran pers semakin penting untuk melawan laju mundur demokrasi hari ini. Sebab, pemerintah justru melonggarkan tata kelolanya di tengah darurat pandemi. Salah dua pelonggaran itu, misalnya, pengesahan Omnibus Law dan UU Minerba—kebijakan yang mestinya tak begitu genting dibanding korban nyawa virus Corona.
Reporter Sidratul Muntaha | Redaktur Nurhidayah | Reporter Colombia Journalism Review