Rasialisme adalah warisan kolonial Hindia Belanda yang masih bertahan hingga kini. Ia sering digunakan dalam kepentingan praktis untuk menimbulkan perpecahan.
Lpmarena.com– Isu rasisme kembali mencuat di Indonesia sejak kasus yang dilakukan beberapa orang terhadap Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas HAM. Menurut Didi Kwartanada, Sejarawan lulusan National Unity Of Singapore, rasisme di Indonesia adalah warisan kolonial Hindia Belanda. Didi juga menyebut lemahnya penanganan kasus rasisme menjadikan penanganan kasusnya samar.
“Seolah-seolah kasus itu sudah selesai dengan minta maaf, postingan dihapus, membuat materai 6000,” Jelas Didi dalam diskusi bertajuk Melacak Akar Rasisme di Indonesia yang diselenggarakan oleh Historia.id secara daring, pada Selasa (9/2).
Didi beranggapan bukan kali ini saja kasus rasisme terjadi di Indonesia. Ketika musim pemilu, politik identitas dan primordialisme begitu laku di Indonesia. Keadaan ini menjadi ideal bagi kasus rasisme untuk tumbuh. Padahal isu rasisme adalah kasus hukum yang telah diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008. Namun, menurut Didi, jarang sekali ada orang diadili dengan undang-undang ini.
Jika melacak sejarah, kata Didi, rasisme di Indonesia adalah warisan kolonial Hindia Belanda. Mereka yang memecah status penduduk berdasarkan golongan hukum. Dalam klasifikasinya, ada tiga golongan dalam kebijakannya. Secara berurutan yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan yang paling bawah adalah golongan orang pribumi. “Ada diskriminasi yang dilakukan golongan Eropa kepada golongan pribumi, atau Eropa kepada golongan Tionghoa” tambahnya.
Menurut Didi, ketika Indonesia merdeka, kolonialisme hancur tetapi tidak dengan pemikiran kolonial. Meski sudah merdeka, kerap kali terdengar istilah-istilah “asing” yang ditujukan kepada saudara kita sendiri. Yang terbaru, seorang gubernur terpilih berpidato, “sudah saatnya pribumi menjadi tuan di tanah sendiri”. Padahal istilah warisan kolonial itu sudah tidak cocok direproduksi dengan konteks sekarang, apalagi kita adalah bangsa yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika.
Untuk menyelesaikan akar masalah rasisme, mula-mula, isu rasial ini seharusnya dibahas dalam pelajaran sekolah. “Semacam pelajaran ke-bhineka-an. Dijelaskan kalau ujaran rasial bukan candaan. Bahwa dalam semboyan kita, ujaran rasial itu melanggar hukum,” tegas Didi. Tentu tak cukup dengan itu, penegakan hukum harus dilakukan seadil-adilnya. Serta pengajaran sejarah harus dijelaskan apa adanya. Keduanya harus berjalan beriringan.
Reporter Mas Ahmad Zamzama Nuruddin | Redaktur Sidratul Muntaha