Home SASTRACERPEN Lonceng Sepeda

Lonceng Sepeda

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ahmad Zubaidi*

Berawal ketika Joko bertamu ke kediaman Tuk Ramli, ia sengaja dipanggil menghadap sebab ada yang ingin disampaikan sekaligus diberikan padanya. Tuk Ramli seorang pendiam, hanya berbicara sesekali jika ada keperluan, selebihnya oleh masyarakat, ia dikenal pasif tapi karismatik.

Joko yang tinggal di area perumahan seluas empat meter persegi dengan jarak tempuh sekitar empat setengah kilometer ke kediaman Tuk Ramli, terpaksa harus berjalan kaki. Ia memang sudah lama menekuni laku aneh macam itu. Aneh? Ya! Zaman sekarang, di tengah polusi knalpot kendaraan, Joko masih miskin. Sekalipun miskin, ia begitu tabah mencari rupiah guna melunasi tunggakan SPP kampusnya. Heran, orang seperti Joko tidak terlihat oleh pemerintah.

“Joko, duduklah. Minum air putih ini, kutadah murni dari langit.”

“Baik, Tuk.” Memang yang gratis hari ini hanya air hujan, semuanya serba uang, batinnya.

“Kau masih berjalan kaki, ko!” Tuk Ramli menyusuri hitam lekat mata lelaki kurus di hadapannya yang diam menunduk.

Seketika Tuk Ramli paham.

Ia mewariskan ontel, raut Joko berbunga tiba-tiba.

***

Setelah punya sepeda, aku mengayuhnya saban hari ke Gedung Pendidikan, melewati trotoar, berhenti di tiga lampu merah, atau kesibukan lainnya. Setiap hari ada saja ajakan nongkrong di angkringan, kafe murah, atau basecamp tempatku mengantuk. Intinya semakin banyak pertemuan, lebih intim semenjak aku putuskan berhenti jalan kaki.

“Jo, (panggilan kerenku), kau bisa ngopikah di kafe biasa?” Begitu pesan lewat SMS ponsel jadulku. Aku  membalasnya dengan “y”, menirukan Tuk Ramli.

Aku segera menggenjot pedal sepeda yang berirama sumbang di lingkaran rantai. Sepeda itu, sudah remnya blong, sadelnya pun sobek dan merembes ketika terkena hujan. Pikiranku bergeming, “Sudahlah, cuma hasil pemberian.”

Setibanya di kafe aku telah dipesankan kopi. Sarang tongkrongan itu begitu ramai malam ini, tak seperti minggu kemarin. Dua temanku telah tiba lebih dulu. Maklum, mereka punya motor tancap gas.

Kau mungkin bertanya-tanya bagaimana aku membayar kopi sedang uang tabunganku masih tak cukup untuk bayar uang kuliah. Aku dilabeli pencurikah? Peminta-minta, pengamen, atau penjual koran? Tidak. Setiap kali diajak ngopi, aku telah disediakan jatah dan bayarannya hanya menyelesaikan tugas mata kuliah dua temanku itu. Tidak sulit, sebab katanya, aku termasuk mahasiswa pintar di kelas. Dan aku tak merasa begitu.

“Sungguh, jika Indonesia bisa perbaiki sumber daya manusianya, maka aku jamin negeri ini akan maju,” begitu Anto memantik Sulak.

“Betul sekali. Sebab dengan kecerdasan dan kedisiplinan manusianya, sumber daya alam bangsa ini akan bisa dikelola dengan baik,” Sulak tanggap.

Begitu mereka terus berdiskusi, melontarkan pernyataan-pernyataan salah, mengutip nama tokoh dengan bahasa buruk, serta mencontohkan realita yang tidak pernah terjadi agar masing-masing bisa dibilang pandai. Aku hanya bergeming. Heh!

Bagaimana tidak? Aku tahu kebiasaan mereka—terlepas dari tugas yang melulu harus diselesaikan olehku, bangun kesiangan, baju tak dicuci, sering telat masuk kelas dengan alasan yang hampir setiap hari berbeda. Dan malam ini, mereka dengan lihai membicarakan sumber daya manusia agar bangsa maju!

“Lebay,” dalam nuraniku.

***

Bukan hanya malam ini Joko diajak nongkrong teman-temannya sambil menyeruput kopi, menikmati rintik hujan, mencium aroma jagung bakar, dan hal-hal lain yang menggoda hidung. Bahkan sejak sebelum diberi sepeda Tuk Ramli, ia sering diajak makan dan sesering itu pula ditolaknya.

Tapi, malam ini obrolan antara kedua temannya begitu serius. Ia sengaja tak mencampurinya. Dibiarkan keduanya mengoceh sedang ia sendiri menyelesaikan tugas mereka. Mengantuk!

Sepulang dari perkopian, matanya sayup-sayup melihat jalan, menyusuri jalan kecil di antara kompleks mahasiswa yang lebih kaya darinya. Pada belokan setelah kompleks itu, ia tidak sengaja membunyikan lonceng sepeda.

“Jangan sesekali kau bunyikan lonceng sepeda di malam hari, Joko. Celaka!”

Ia tersentak mengingat pesan Tuk Ramli, dan seketika ….

Joko dikabarkan meninggal, dengan beberapa sayatan pedang.

Yogyakarta, 10 Februari 2020

*Mahasiswa yang gemar melakukan perjalanan malam dengan sepeda tua. Dan penonton setia film perang.

Sumber Gambar: Pinterest