Home MEMOAR Kunang-Kunang dan Mujahadah di Malam Itu

Kunang-Kunang dan Mujahadah di Malam Itu

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ach Nurul Luthfi*

Sekitar jam 7 malam Desa Wadas sudah gelap gulita, hanya disapu sedikit lampu jalan utama. Saat itu aku sedang berkendara. Aul, teman yang aku bonceng, terus berceloteh dan heboh sendiri lantaran mendengar suara jangkrik dan kunang-kunang yang salih sahut-sahutan. ditambah ada hewan yang mempunyai lampu di badannya.

Dia baru pertama kali melihat kunang-kunang secara langsung dengan mata telanjang. Di Yogya, tempatnya menempuh pendidikan tinggi, jarang sekali dia temukan hewan itu. Apalagi tempat tinggalnya di Jakarta. Malam di Jakarta hanya dihias lampu kendaraan yang saling bertabrakan di jalan raya.

Ada sedikit mitos soal kunang-kunang di daerahku, Pamekasan. Kata orang-orang rumahku kunang-kunang adalah jelmaan kuku mayat. Aku enggak tahu kebenarannya, bisa jadi itu hanya bahan penakut biar aku enggak main sampai larut malam. Paling cepat, aku biasa kelar main seusai maghrib.

Sembari mendengarkan kebahagiaan temanku yang melihat kunang-kunang itu, aku fokus menjaga keseimbangan melewati jalan menuju desa Wadas. Jalannya sempit, hanya bisa dilewati satu mobil, dilapisi semen di sisi kanan dan kirinya, sementara di tengahnya ditumbuhi rerumputan liar.

Perjalananku ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo dalam rangka reportase. Kabarnya, di sana bakal ada proyek penambangan dan warga menolak. Penambangan itu dilakukan untuk mengeruk batuan andesit sebagai bahan penopang pembangunan Bendungan Bener. Ia memerlukan material sekitar 15,5 Juta meter kubik batuan Andesit.

Setelah mulai memasuki Desa Wadas, aku disuguhkan pemandangan sisi-sisi jalan yang dipenuhi spanduk-spanduk. Ukurannya beragam: kecil, agak besar dan besar. Ada pula poster-poster dan juga bendera kecil. Di atribut-atribut itu tertera tulisan seperti “Save Wadas”, “Wadas Harga Mati”, “Bumi ini untuk bertani bukan dieksploitasi”, “Ganteng doang tapi hutan ditambang”, dan sebagainya.

Tak hanya warga, di sana ada banyak komunitas dan organisasi yang intens mengawal dan mendampingi warga Wadas. Beberapa di antaranya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan masih banyak yang belum bisa disebut satu-satu tentunya.

Kebetulan juga malam itu malam Minggu. Ada kegiatan rutinkeagamaan warga se-desa Wadas, yaitu mujahadah. Sebagai anak yang juga dari desa, aku tidak begitu asing dengan kegiatan ini. Kami juga lazim melakukan ritual serupa, meskipun namanya berbeda.

Kegiatan ini diikuti oleh bapak-bapak, ibu-ibu dan para remaja yang berkumpul di salah satu musala. Kata salah satu warga yang ku ajak ngobrol, tempat mujahadah tiap minggu selalu pindah-pindah dari musala satu ke yang lainnya.

Mujahadah mulai setelah isya. Semua warga salat hajat dua rakaat berjamaah. Aku salut, antusias warga sangat tinggi sampai-sampai musala overload dan harus disiapkan kursi tambahan.

Rangkaian selanjutnya adalah tawasul kepada para ulama dan sesepuh Desa Wadas dipimpin kyai setempat. Lantas membaca tahlil dan pujian-pujian lainnya. Acara itu lantas ditutup dengan doa yang diamini oleh semua hadirin.

Mujahadah diyakini warga Wadas sebagai senjata perlawanan. Dengan mendekatkan diri kepada yang menciptakan alam semesta, dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka memohon perlindungan untuk diri dan lingungkan mereka.

Aku melihat kesungguhan yang mendalam dari setiap warga untuk tidak kehilangan tanah tercinta mereka karena adanya proyek penambangan. Mereka dengan khidmat membaca pujian-pujian, memanjatkan doa sambil berdiri, dan menghadap kiblat sambil memejamkan mata.

Salah satu kyai memandu pembacaan doa, diamini secara serentak oleh warga Wadas. Aku terbawa suasana hangat dan haru atas upaya warga untuk meminta kepada Tuhan, untuk mempertahankan hak hak mereka.

*Pemimpin Umum LPM Arena