Oleh: A.S. Burhan*
Tulisan ini dari bahan yang sudah 3O tahun lebih bersarang di dasar sana, Bro. Apa yang serba sekilas saya tulis dalam memoar ini mungkin banyak kurang ketepatan dalam hal waktu, penyebutan orang (temen) atau bahkan dalam hal kesan—penafsiran berbeda pada peristiwa tertentu. Karena itu biasa dan slow wae ya, Dim, and mohon dipersory dan dimaklumi. Terutama pada semua teman yang segenerasi pada zaman itu, seberapa pun peran atau keterlibatan kita masing-masing di era mengeja zaman yangg luar biasa tersebut tentu patut kita syukuri. Sebab itulah salah satu episode perjalanan kehidupan kita masa mahasiswa di Arena yang akan menjadi kenangan berharga dan makin penting jadi asupan “ngekek” di usia kita yang kini beranjak menua.
***
Pada awal atau pertengahan 1989 persisinya saya lupa Arena kembali melakukan rekrutmen crew baru. Angkatan 1989 ini seingat saya antara lain (yang lalu sangat aktif): Arief Hakim, Hairus Salim, Miftahuddin, Malikhatussobaroh, Agus Muhammad, dan Joko Suyatno. Bersamaan dengan gabungnya crew baru angkatan 89 ini, suasana Arena sepertinya begitu fresh dan dinamis. Darah segar ini pun membuat aktvitas arena begitu bergelora. Sembari tetap menebitkan majalah, Arena juga seolah mendapat panggilan tugas untuk menjadi bagian yang sudah dimulai Arena sendiri dengan melakukan pengorganisasian mahasiswa di kampusnya; dan itu butuh tempat yang lebih leluasa, dan tidak dalam pantauan pihak rektorat.
Karena itu kami bersama menggagas perlunya rumah kontrakan atau wisma yang bisa untuk diskusi rutin dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan rumah kontrakan ini, saat itu sekalian muncul ide untuk mendirikan ‘lembaga’ kajian sekaligus juga untuk tempat macem-macem. Mungkin saja ide ini terinspirasi setelah ada satu tour kami bersama ke Jakarta, terutama ketika kunjungan di temen-temen UNAS yang diterima di markas mereka (rumah kost bersama) di luar kampus, yang mereka sebut markas itu dengan Bengkel Kerja Jurnalistik Mahasiswa (BKMJ) yang lokasinya ada di jalan Dewi Sartika, Kampung Melayu.
Kelompok Kajian Ampera dan KMPD
Ketika rencana punya ‘markas arena di luar kampus’ ini kami dikusikan kepada senior, ternyata mendapat respon yang positif bahkan mereka menyarankan juga agar biaya sewanya bisa didapat dengan atau dari sumber yang tidak mengikat. Saya ingat waktu itu rencana ini juga kami diskusikan khusus dengan mantan PU Arena yang sudah tampak waskita (karena tirahnya aja di masjid), tetapi tetap berjiwa muda dan berbahaya, yakni Mas Imam Azis. Nah dari dialah ketemu ide kongkrit dapat duit yang cepat dan ‘halal,’ yakni dengan dia langsung menunjukkan ada buku baru terbitan Kompas yang perlu dipublikasian via kegiatan diskusi buku di kampus. Dan atas nama Arena itu nanti dapat dikerjasamakan. Kalau gak salah ingat judulnya “Masa Depan Indonesia di Era Milinium.“ Ayuk Bur, itu tor diskusi bukunya segera dibuat nanti kalau dah jadi saya temani ke kantor perwakilan kompas.
Singkat cerita jadilah kerjasama tersebut dan kita pun dapat melaksanakan kegiatan tersebut sesuai dengan kontrak kerjasamanya, tapi bisa nyisihkan beberapa ratus ribuan yang bisa untuk menyewa kontrakan tersebut (ditambahi bantingan dari masing-masing temen juga yang akan tinggal di wisma). Salah satu sumber saving itu ya dari honor pembicara Mas Imam Azis itu sendiri he he. Pola kreatif cari saving-an ini nantinya saya pake terus untuk membiayai beberapa markas KPMD, salah satunya ketika pindah ke Sapen (kost Daboribu) pada pertengahan 1991, terus saat pindah lagi pertengahan 1992 di rumah kontrakan bawah Jembatan Kali Gajah Wong.
Saya ingat waktu itu, kami akhirnya dapat menyewa rumah kontrakan yang kita namakan saja Wisma Ampera. Letaknya persis di belakang Perpustakaan Islam. Sangat deket dengan kampus dan juga wisma sejahtera maupun juga asrama putra IAIN. Kalau dari arah utara masuk ke selatannya lewat gang batas kota di Wisma Ampera atau Kelompok Kajian Ampera ini sama sekali jauh dari mendaku sebagai bagian dari kelompok studi apa, tapi semangatnya justru adalah keluar dari pengotakan-pengotakan yang masih rame waktu itu. Yang penting kemudian dapat untuk berkumpul dan diskusi rutin tentang tema baik itu menyangkut isu kebebasan akademik, demokratisasi birokrasi kampus, juga terkait bagaimana gerakan mahasiswa harus berperan dalam isu-isu penegakkan HAM dan demokratisasi yang waktu sudah menjadi perspektif ketika melihat konflik-konflik masyarakat versus negara akibat proyek pembangunanisme yang seringkali memakan korban (tumbal) rakyat.
Yang menempati wisma ini mulai dari angkatan sebelumku, seperti Mas Nung, Amirudin, Nuerwafie Hamdan, dan yang seangkatanku hanya saya sendiri, kemudian angkatan arena 89, antra lain Miftahudin, Arif Hakim, Haisrusalim dan Joko Suyatno. Sebagai angkatan tengah, saya beruntung menikmati betul pergumulan juga pergesekan dengan mereka para penghuni wisma Ampera ini. Dari angkatan atasku (87), saya memperoleh pelajaran dari pengalaman dan kematangan kepenulisan maupun jurnalisme ber-Arena mereka yang sudah lebih luas, dan tentu juga mendapatkan asupan dari keluasaan khasanah pemikiran keislaman dan sosialnya. Sementara dari angkatan Arena 89 generasi di bawah sedikit angkatanku, sungguh saya jadi ketularan spirit dan semangat pencarian mereka pada hal-hal baru terutama terkait sastra dan perkembangannya.
Namun, terus terang hampir pada semua penghuni Ampera belum pernah saya dapatkan ‘pembelajaran’ atau obrolan ringan tentang bunga, dahaga cinta, kisah asmara, dan apresiasinya pada agen keindahan Tuhan (perempuan) he he. Mereka serius kabeh. Sempat sih sama kawan Arif, ada episode obrolan intens tentang cinta tiap malam saat makan di lesehan murah pinggiran jalan utara kampus. Tetapi itu pun teori cinta yang diambil dari buku Erich Fromch To Have and To Be atau buku lainnya The Living the Art of Love yang hanya berbuih-buih kita obrolkan sampai sepertiga malam tanpa praktek. Mungkin kami-kami sudah puas dengan semacam cinta yang platonis. Jadi belum nyata, dan mungkin benar kata orang bijak bahwa memang selalu ada jarak antara buku dan laku cinta itu sendiri. So, untuk generasi Arena berikutnya seperti Abrori, Ida dan Ninied dll, maaf saja ya kami kami ini memang tidak punya portofolio untuk bisa menemani kegelisahan kalian atas hal yang satu itu, ce’ie ye.
Di wisma Ampera atau bahkan di kantor Arena, ada selingan diskusi yang nyrempet-nyremptet ‘tema asyik’ itu ya hanya ketika kawan Majidun datang gabung. Untuk soal tema bunga dan cinta, santri senior Ponpes Krapyak ini memang kampiunnya. “Bung mana nih puisi cintamu,” tanya kami. Maka ia akan menjawab: “Piye tho, wa aku ini puisi itu sendiri je, aku lah laut, akulah samudera, akulah matahari,” kilahnya sembari memagut rambut janggutnya dengan dua keping mata uang logam recehan.
Atau, kami, untuk memecahkan kebosanan di kala suntuk, kadang juga cukup dengan melihat tingkah si Joko. Kawan yang nama lengkapnya Joko Suyatno ini sedemikian tertibnya memakai helm di kepalanya sejak dalam kamar di wisma Ampera, kalau mo pergi keluar. Ya lucu saja dan mungkin kontras juga. Kan hasil bacaan kita atas buku novel Pram, kita mestinya memang “harus jujur sejak dalam pikiran.” Tapi di Joko jadi beda penerapannya. Padahal saat itu kita lagi santer-santernya menentang dan menolak RUU Lalu Lintas yang segera akan ditetapkan DPR RI jadi Undang-Undang, termasuk ya kewajiban pake helm tersebut. Joko oh Joko, ning endi arek siji iki saiki? Moga kabar baik senantiasa untuk dirimu. Saat ada kegiatan diskusi yang kita adakan di wisma Ampera pesertanya selalu membeludak. Yang datang dan terlibat bukan saja crew arena, namun juga dari aktivis mahasiswa semua fakultas yag ada di IAIN, temen pengurus organisasi mahasiswa intra maupun temen-temen berlatar belakang organisasi ekstra. Mungkin tempat wisma yang deket dari kampus, juga tempatnya rindang karena banyak pohon, membuat tempat ini enak untuk ngumpul-ngumpul apa saja. Di Wisma Ampera inilah lahir Keluarga Mahasiwa Pecinta Demokrasi (KMPD). Sependek ingatanku, pencetusan KMPD pada moment aksi mimbar bebas peringatan Duham 10 Desember 1990. Yang buat desain stempel KMPD kalau gak salah ingat adalah kawan Amin Mustafik dan konsep ide burung merpati terbang adalah dari Arief Hakim dan In’amul Mustofa. Pesen membuat stempelnya sendiri di sekitaran batas kota, yang jalan ke utara ke perumahan Kolombo Demangan.

Arena lewat kelompok Kajian Ampera kiranya menjadi embrio pengorganisasian basis mahasiswa di kampus putih dan menjadi tempat persemaian gerakan mahasiswa. Arena menjadi salah satu bagian bahkan dengan dukungan yang konkrit menjadi pendesak utama realisasi pilihan aksi turun jalan dari orientasi pilihan gerakan mahasiswa saat itu. Bagaimana enggak konkrit, sejak saat itu, setiap ada acara mimbar bebas di halaman tangga masjid (tangga demokrasi), logistik demo protes yang berupa puluhan kertas manila, kertas dan spidolnya dikeluarkan gratis atas disposisi para PU Arena. Ya tinggal ngambil di gudang tata usaha kampus yang letaknya di bawah tangga itu. Keknya hal itu mulai PU Arena di jabat Mas Amir hingga pas jaman saya, he he
Saya masih ingat, kalau boleh dipilah atas dasar fakultas, ada nama-mana dari beberapa mahasiswa yang bisa dibilang sejak awal KMPD berdiri cukup aktif, namun mereka bukan anggota atau crew Arena. Dari sayap fakultas Tarbiyah berurutan dari awal adalah Amir Makruf (dia seangkatan dengan Mas Amirudin), Mbak Uswatun Hasanah, Amin Mustafik (angkatan saya, dialah jagonya pembuat grafis spanduk dan poster menjadi nge-art), Muniryanto dan Syamsul Maarif dan Mbah Pur (geng santri mahasiswa krapyak yang diseniori kawan Majidun), dll. Fak. Syariah, Dakwah dan Ushuludin tidak terlalu banyak dan nama-namanya saya lupa, selain In’amul Mustofa, Arifan dan Adok Hermawan. Kemudian dari fakultas Adab, nah ini saya kira yang paling banyak, ada nama Asroru Maula (Achong), Ridwan, Zainal Arifin Thoha, Iyank (alm) dan Yunus, dll. Ada nama nama lain saya lupa tepatnya fakutasnya apa dan mungkin juga berasal dari temen HMI Marakom atau bahkan dari IMM, seperti Iskhak, Budi dan Halim
Tamu yang sering hadir dan nongkrong (mungkin juga karena secara jarak kostnya deket) antara lain mas Taufan Hidayat. Sesekali Mas Cholidy Ibrar Intelektual dan mantan ketua cabang PMII. Dari luar kampus yang paling sering adalah Sugeng Bahagyo. Temen satu presedium di FKMY dan mahasiswa Fak. Filsafat UGM ini biasanya sampai geser ke kamar kalau diskusi intens dengan kawan Arif Hakim. Tapi yang menarik dari kawan Sugeng, ia biasanya ketika ke Wisma Ampera sambil bawa beberapa buku-buku bawah tanah yang beberapa sudah bentuk-bentuk copy-an seperti novel tetralogi Pramudya Ananta Toer, sehingga kita bisa baca buku yang terlarang itu. Pernah juga kita kedatangan study tour temen-temen senat dan persma Untag Jakarta yang dikordinasi kawan Bob Randilawe, selain kita terima di kantor Arena, lanjutanya ya kita terima juga di wisma Ampera-KMPD.
Konsolidasi GM di Kota Yogyakarta dan Aksi Solidaritas 3B
Pada waktu itu dinamika organ gerakan mahasiswa tingkat kota sudah terbentuk dengan nama Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). Forum gerakan mahasiswa tingkat Yogyakarta ini dicetuskan pada saat momen aksi tolak NKK-BKK yang merupakan respon mahasiwa Yogyakarta ketika kunjungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan di ISI Yogyakarta pada awal tahun 1988. Di awal, organ ini sifatnya agak cair namun mendapat tempat dari peserta forumnya yang merupakan wakil atau presedium dari kampus yang ada di Yogyakarta, seperti ISI, IAIN, UGM, Univ Muhamdiyah, UII dan Universitas Janabadra. Belakangan gabung juga UKDW dan UNCOK. Pendiri atau penggagas FKMY banyak aktivisnya juga sebagian besar dari “jejaring pertemuan” aktivis pers mahasiswa. Secara nasional FKMY dinilai banyak aktvis atau tokoh oposisi sebagai organ kota yang solid dan menginspirasi pembentukan forum komunikasi mahasiswa di kota lain, seperti FKMS Semarang, dan FKMM Malang.
Memasuki bulan Mei 1989, penyatuan organ gerakan mahasiswa tingkat Yogyakarta semakin terkonsolidasi. Hal ini ditandai dengan aksi besar Anti Kekerasan di lapangan Boulevard UGM. Aksi mimbar bebas yang mengambil momentum Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei ini diikuti tokoh-tokoh mahasiswa dari hampir spektrum atau komponen dari banyak kampus di Yogyakarta. Saya masih ingat rapat-rapat persiapan aksi ini diadakan di Wisma Celebes Pogung. Saat aksi ni berlangsung hadir juga antara lain Anharuddin, Budiawan dan Rizal Malarangeng yang sebelum itu mereka tampak mengambil jarak dengan pola aksi massa mahasiswa turun jalan.
Aksi mimbar bebas ini dipicu adanya keperihatinan atas terjadinya kekerasan di kasus Kedungombo, Kacapiring, Way Jepara Lampung, Nipah, dst. Hadir juga di aksi yang rahat ini seperti Nirwan Arsasuka (Teknik Kimia) Dadang Yuliantoro MIPA dan aktivis dari Fakulas Filsafat UGM seperti Web Warouw, Untoro Hariadi, Jhon Tobing, Sugeng Bahagyo dan temen-temen perempuan yang tergabung dalam Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FDPY0). Juga datang aktivis mahasiswa seperti Heru Nongko, Heru Telo, dkk dari UJB dan Aam Sapulete, dkk dari UMY Yogyakarta. Tentu terlihat juga banyak aktivis persma, baik dari Arena, angkatannya Mas Suaedy, angkatan Mas Amirudin, Mas Nung dst. Dan dari Balairung seperti tokoh legenda Muh Thoriq dan Afnan Malay pencetus Sumpah Mahasiwa, serta dari Majalah Himmah UII, seperti Yamin, Atha Mahmud, Hendra, juga kawan-kawan dari ISI dan universitas lainnya yang ada di Yogyakarta.
Kemudian setelah itu sekitar awal bulan September 1989 terjadi gelombang aksi solidaritas atas matinya kebebasan berkepresi. Waktu itu disingkat sebagai aksi solidaritas terhadap pengadilan 3B, yakni Bonar Tigor Naispospos, Bambang Istri Nugroho dan Bambang Subono. Ini adalah gerakan mahasiswa menentang terhadap rejim Orba yang sejatinya takut pada orang membaca buku. Ya, 3B ini ditangkap dan diadili dengan tuduhan melakukan aktivitas subversif menyelenggarakan diskusi-diskusi marxisme-leninisme dan mengedarkan (memperjualbelikan) novel Pramoedya Ananta Toer yang saat itu adalah bahan bacaan terlarang bagi Orde Baru. Mereka bertiga adalah anggota Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta (KSSPY) yang sebetulnya hanya sering mengadakan diskusi di kampus di Yogakarta tentang banyak tema termasuk sastra seperti buku Pram tersebut. KSSPY ini didirikan oleh Isti sejak tahun 1985. Penangkapan tersebut bermula ketika Bono menjual buku Rumah Kaca dan Gadis Pantai karya Pram pada pertunjukan Teater Alam di Sport Hall Kridosono, 9 Juni 1988.
Saat sidang sidang kasus 3B ini mulai digelar, gerakan mahasiswa tingkat Yogyakarta tentu saja melakukan solidaritas total. Selain karena kasus 3B ini mencerminkan penindasan hak dasar atas informasi dan pengetahuan dari membaca, kasus ini oleh temen-temen juga benar-benar dijadikan momentum konsolidasi jaringan gerakan mahasiswa terutama aktivis pers mahasiswa se-jawa. Maka yang hadir di sidang pengadilan itu ada mahasiswa dari Jakarta (UNAS) dari Malang (Unibraw), Unair Surabaya, UNS dan UKSW dan lain sebagainya. Tentu juga dari persma yang di Yogyakarta. Persma Arena pun, banyak pengelolanya bisa dipastikan kehadirannya dalam sidang-sidang tersebut. Pemimpin Umum Mas Suedy sampai menugaskan Mbak Erlina Farida, waktu itu, khusus untuk meliput dan mendokumentasikan aksi aksi dan sidang terkait kasus ini. Saya ingat pada sidang perdana pembacaan penuntutan dilakukan aksi long march dari Kampus Putih ke Pengadilan Tinggi Negeri di Jalan Kapas deket kampus UAD. Ini terbilang aksi turun jalan pertama kali yang coba dilakukan komponen gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Saya dan Ngatawi Sastro kebetulan ditunjuk menjadi korlap aksi long march ini. Agak ngeri-ngeri sedap juga aksi turun jalan menerobos tabu ini. Mengingat ada isu santer bahwa aksi ini sudah ditunggangi atau minimal ‘dianggap’ bagian mahasiswa kiri dari anak-anak PKI simpatisan untuk para terdakwa subversif karena penyebar buku Pramoedya Ananta Tour yang kiri (Lekra). Selain itu aksi ini juga adalah awal untuk tidak mengindahkan peraturan pihak rektoriat maupun aparat keamanan, yang waktu itu, masih melarang aksi mahasiswa ke luar dari lingkungan kampus. Rutenya adalah dari kampus IAIN, Jl. Laksda Adi Sucipto (jln solo) ke barat sampai perempatan sebelum RS Bethesda, belok ke kiri lewat jalan layang baru Lempuyangan dan nanti via sebelah barat GOR Mandala Krida, terus masuk ke jalan Kapas.

Untuk pengamanan internal dari aksi ini, maka kami sejak mula memastikan pemakaian penanda pita dan tali rafia peserta aksi di sepanjang jalan. Di barisan depan , saya masih ingat peserta aksi long march ini antara lain sahabat main seperti Nurrohman, Anwan Santosa, Khamdani, Baidhowi Fauzan, dll. Dan puji Tuhan, aksi long march ini terlaksana aman dan lancar jaya sampai di lokasi sidang Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta. Di hari-hari berikutnya, paska aksi long march, tetap saja banyak mahasiswa termasuk dari luar kota Yogyakarta, yang hadir bersolidaritas mengikuti sidang 3B terutama pada saat sidang lanjutan eksepsi dan seterusnya.
Juga kemudian pada hari sidang pembacaan amar putusan hukuman atas kasus ini dan lanjut pada sidang vonis, yang seingatku, berlangsung pas tanggal 8 Sepetember 1989. Sidang hari itu seperti biasa berjalan cukup lama dan bertele-tele. Padahal hari itu bertepatan dengan hari Jumat. Karena itu, kita spontan menginisiasi segera mengadakan jamaah sholat Jumat di tempat (halaman PN). Dengan khatib dan imam juga spontanitas saja. Kiranya langkah ini adalah improvisasi lapangan yang cukup cerdik, karena pihak pengamanan pengadilan sudah tak mungkin melarang sholat jamaah Jumat dadakan tersebut. Bahkan sebagian panitra dan banyak pengunjung pengadilan malah gabung pada sholat ‘Jumatan’ tersebut.
Yang menjadi khatib adalah Abdul Halim, aktivis mahasiswa dari KMPD-IAIN. Dalam khutbahnya yang dadakan, khotib—yang tampaknya juga merespons situasi di halaman PN dengan masih banyak intel yang sliweran, sempat juga membuat sedikit ‘jokes’ spontan sekedar peringatan: “Hai para intel, inteli dirimu sendiri sebelum kau meng-inteli orang lain.” Kemudian sebagaimana biasanya khutbah, ia mengingatkan untuk meningkatkan taqwa, dst. Khotib pun juga sempat mengungkap tentang pentingnya keadilan dalam hukum Islam. Tentu ini membuat jamaah terkesan, apalagi khotib dadakan ini memang polos pembawaannya, namun cukup berani dengan ceplas-ceplosnya.
Pembacaan putusan vonis itu akhirnya usai kira-kira hingga jam pukul 15.15 WIB,. Mereka bertiga Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho dan Bonar Tigor dikenai vonis hukuman masing-masing tujuh, delapan, dan delapan setengah tahun. Jaksa mendakwa mereka menggunakan KSSPY untuk merongrong ideologi Pancasila dengan diskusi-diskusi yang dilakukan secara teratur sejak tahun 1985-1988. Yang dipakai adalah pasal karet dari UU Anti-Subversi (UU No. 11/PNS/1963) produk belanda. Vonis ini jelas dianggap terlalu berat dan karenanya gabungan mahasiswa dari berbagai kota di Jawa itu spontan protes dan berencana melakukan longmarch dari Pengadilan di Jalan Kapas menuju DPRD Yogya di kawasan Malioboro.
Peristiwa ‘Jogja Berdarah’
Konvoi barisan yang hampir berjumlah 150an mahasiswa itu tampak jalan meninggalkan gedung PN. Dan ketika konvoi itu baru 200 meter melewati Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara, tepatnya di pertigaan Kali Mambu, depan Sekolah Pertanian & Perkebunan Menengah Atas (SPBMA) itu, ternyata sudah dihadang aparat gabungan dari Brimob dan Yonif setempat (Pamungkas?). Saya masih ingat korlap Yuli Nugroho, aktivis mahasiswa UII itu, memberi aba-aba untuk jongkok duduk dan merapatkan barisan. Namun tak berselang lama—tanpa ada misal proses bicara dengan korlapnya diminta untuk bubarkan atau apa—yang terjadi kemudian adalah pembubaran paksa barisan dengan cara ‘penekanan’ yang sangat keras oleh aparat.
Secara kasar dan tiba-tiba kemudian mahasiswa di tiga larik barisan terdepan dirangsek, ditarik tangan atau kepalanya, pake poporan senjata, dan diganjul (tendang) dengan sepatu lars. Gabungan tentara—yang memakai segala cara kasar itu—sekali menarik paksa satu mahasiswa dari barisannya, kok cukup alot—karena mahasiswa bertahan dengan bergandengan tangan erat sambil duduk, maka poporan, gajulan berulang kali dikenai lagi lebih keras kepada mahasiswa. Tentu tindakan brutal ini mulai membuat mahasiswa tumbang satu persatu. Hal ini terjadi mulai dengan apa yang dialami korlap dan Web Warouw yang waktu itu berada di satu larik barisan terdepan. Saya dan banyak temen yang berada di lima larik barisan ke belakang, kiranya juga menyaksikan, waktu itu, walau sudah ada darah menetes dari wajah Weby, tentara-tentara itu seperti kesetanan, masih untuk kesekian kalinya memukul menendangnya, bukan saja Weby tapi lalu semua mahasiswa yang di situ, dan untuk kemudian menyeret dan melemparkannya ke truk.
Cara brutal ini juga dilakukan pada mahasiswi seperti Yeni Rosa Dammayanti dari UNAS Jakarta, dan Uswatun Hasanah dari IAIN Suka Jogja, lalu Ana dari Unibraw Malang yang sempat bajunya robek akibat kena sabetan bayonet, dan ada bnyak lagi perempuan diseret paksa dan diglandang yang saya tidak mengenal namanya satu persatu. Biadabnya, sambil menarik paksa dan atau ada yang dengan menjambak rambut para mahasiswi tersebut, terdengar umpatan dari para serdadu ini seperti kata kata, “Udah, kamu gak usah macem macem, hayo kamu ‘kan gerwani, alah yang ini lonte saja kok sok pake jilbab,” dst, dst.
Oh, ya, cara menarik paksa satu persatu mahasiswa dalam barisan dengan brutal tersebut—seingatku—memang mulai dilakukan dari barisan depan tapi kemudian dalam hitungan per menit juga serentak merembet ke belakang, ke temen-temen mahasiswa di semua larik barisan. Dari depan sampai belakang. Nah saat situasi sudah mulai digaruki semua, pengambilan paksa mahasiswa itu juga dibarengi oleh tunjukkan suara-suara para intel yang tampaknya sudah punya data ‘kasar.’ Seingatku, ada suara dari para intel itu seperti: “Itu yang baju kotak-kotak! Itu yang pake kaca mata!”, “Itu yang gondrong, ambil!.” Saya sendiri dalam situasi diri campur aduk, antara geram, takut, pasrah, dan atau tidak ngerti harus berbuat apa, tiba tiba ada suara yang nunjuk “Itu yang pake topi putih;” seketika poporan bedil mampir di antara telinga-pelipis dan pipi kanan, “dugh!” Terasa peng dan pyur-pyur, lalu ada sesuatu yang tiba-tiba nyengkram pada leher kepala belakang, dan tangan, menarik, menyeret dan melemparkan tubuh ini ke truk.
Sementara itu dalam keadaan barisan yang kocar-kacir, serta posisi yang sama sekali tidak seimbang, temen-teman yang sempat bisa menyelamatkan diri juga tak kalah memprihatinkan saat dikejar-kejar, untuk juga ditangkap. Dan belakangan saya tahu, bahwa tindakan penyelamatan diri dari temen-temen sungguh mencekam. Dan dari semua cerita yang kuketahui kemudian, pengejaran oleh tentara dan brimob (juga intel) kepada mahasiswa, lebihlah kasar dari pengejaran kepada pejahat atau maling. Hampir itu semua dialami peserta aksi solidaritas 3B baik dari luar kota maupun dari komponen mahasiswa yang ada di Yogykarta, termasuk—sependek ingatanku—temen dari Arena yang berangkat bersama-sama dan terlibat dalam aksi solidaritas 3B, yakni seperti Hairussalim, Miftahudin dan lainnya.
Jarak antara truk dan barisan mahasiswa yang diporak-porandakan itu tidaklah lebih dari tujuh langkah. Karena itu dapat dipastikan pembubaran paksa barisan mahasiswa—untuk ditangkap semuanya—dengan cara brutal itu, belakangan kami tahu, memang sudah dipersiapkan oleh gabungan aparat keamanan tersebut. Saat sudah dalam truk yang untel-untelan, saya ndak sempat menghitung jumlahnya. Hampir semua mahasiswa yang diangkut, tidak ada yang saling komunikasi. Pikirannya terbang sendiri-sendiri sembari merasakan sakit akibat tonjokan, poporan dan seterusnya.
Di dalam truk keadaannya cukup gelap karena ditutupi pasukan berjejer baik di depan maupun belakang. Saya tidak tahu, mungkinkah itu protap dalam perang jika membawa musuh dalam truk. Yang jelas mahasisiwa di dalam truk yang melaju itu keadaannya tidak bisa melihat keluar. Suasana begitu mencekam dan kami hanya bisa pasrah. Jadi memang tiada celah atau ada pendangan keluar untuk mengenali arah kemana truk melaju. Hingga truk itu tiba-tiba berhenti dan kita semua dihardik untuk agar semuanya turun dari truk. Lalu dibariskan satu lajur sambil didorong untuk jalan menuju suatu aula kecil, yang untuk masuk ke ruang itu dengan menaiki anak tangga pendek. Seingatku dalam lajur itu saya berada tepat di belakang Weby. Dan ketika kami mulai menaiki tangga saya mendengar kawan web ini bersenandung lirih menyanyikan lagu padamu negeri. Tapi tiba-tiba tentara yg berderet disamping tangga itu menambah poporan ke tubuh Web Worrouw untuk kesekian kali dugh-dugh sambil ngumpat-ngumpat, “Apa kamu nyanyi segala.”
Ruang aula kecil itu tampak kusam—seperti tak pernah dipakai—dengan meja kursi kayu berjejer. Di situ kami pun diminta duduk diam, menunggu, dan menunggu. Yang pasti adalah ketidakpastian. Cukup lama kami dengan sisa luka popor, gajulan sepatu lars yang masih terasa sakitnya, berada di ruangan tersebut—yang belakangan kita tahu ruangan itu adalah di Korem Pamungkas Ngupasan. Kala menunggu tersebut, sempat ada kejadian berikutnya yang ini menimpa Nirwan Arsasuka (alm).
Saat itu Nirwan memang duduk bersebelahan dengan Web Worrouw. Sementara kondisi wajah Web sudah biru lebam dengan darah mengental sampai ke separuh badannya. Nah melihat kondisi Web sedemikian parah, si Nirwan ini mencoba berinisiaitif akan membersihkannya dengan meminta ditunjukkan di mana letak kotak P3K, kalau ada kain kassa atau kapas. Ia pun bertanya kepada salah satu tentara yang duduk di depan. Tapi tampaknya tentara itu tidak suka ada inisiatif dan tanya-tanya tersebut. Karena itu ia dengan dingin hanya menjawab itu ada air, sambil menunjuk wc di pojok ruangan, tak jauh dari deretan meja kursi yang kita duduki. Nirwan pun mengambil itu air dengan gayung yang ada di dlm WC tersebut, tetapi ia kelihatannya agak dongkol dengan respon tentara itu. Lalu spontan saja ia bersuara keras: “Ini bukan minyak babi tho pak,” sontak saja serdadu itu mendekati Nirwan dan menempelengnya. Kelihatan ekspresi tentara itu emosi dan marah, terus ngumpat ngancam macam, dst. Si Web yang melihat Nirwan tak bergeming, segera menarik Nirwan untuk duduk di sisinya . Adapun temen-temen semua yang di ruangan itu tentu hanya bisa diam dan kembali lemes dedes, tak bisa berbuat apa apa.
Dengan tanpa pemberitahuan apa-apa, kami pun kemudian digiring kembali menuju truk yang sama sebelumnya dipakai. Tetap saja, kita tidak juga tahu mau dibawa ke mana. Perjalanan di truk yang kedua kalinya ini ada sedikit celah untuk melihat keluar. Saat itu kami dilewatkan sawah sawah dan kebon tebu; kami pun mencoba nebak-nebak ke mana arah truk melaju. Sempat ada yang merasa miris, ingat kisah korban 65 yg dibantai di tengah sawah. Tetapi beruntung bayangan itu tidak terjadi. Sampai kemudian ternyata kami tahu truk ini masuk halaman Polres Bantul.
Di Kantor Polres ini kami semua diintograsi semalaman. Dan belakangan kami jadi tahu bahwa mahasiswa yang ditangkap dimasukan ke truk, ternya ada dua truk (atau lebih?) yang sudah dipersiapkan aparat tentara. Mereka membawa pesakitan mahasiswa itu sama-sama ke Korem Pamungkas di Ngupasan. Namun kedua kelompok mahasiswa ini tidak dikumpulkan di satu ruangan. Mungkin ruangan yang berbeda. Kemudian setelah dari korem, mereka tetap dibawa dalam dua truk yang sama. Satu menuju Polres Sleman, satunya lagi ke Polres Bantul. Saya sendiri, dan Mbak Uswatun Hasanah, Heru Telo dan lainnya masuk rombongan mahasiswa yang dibawa ke Polres Bantul. Hampir tengah malam, kawan-kawan yang ditangkapi di Kusumanegara dilepaskan. Akibat pembubaran paksa yang brutal, ada tiga mahasiswa yang luka parah yakni Web Warouw, Hendra Budiman dan Juli Eko Nugroho. Mereka bertiga ini kemudian dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih.
Cerita mencekam atau getir pilu dan juga membuat geleng-geleng kepala setelah kita selamat dari brutalitas dan penangkapan itu, kemudian banyak beredar setelah berjarak bertahun-tahun dari kejadian yang kami alami. Ini cerita Eri Sutrisno (alm) mahasiswa dari UKSW Salatiga. Saat barisan kocar-kacir. Ada yg bertahan dan kena popor, ada yg masuk got, ada yg lari tunggang langgang. “Saya termasuk yg mencoba lari”, begitu kisah Eri. Beberapa meter dari lokasi, ada tukang cukur. Yang baiknya seolah ngerti nasib Eri, kemudian meminta Eri untuk duduk di kursi cukur, lengkap dengan dikasih kain penutup baju. Tapi sial, pita identitas di lengan Eri belum sempat dilepas. Maka ditariklah Eri oleh aparat itu dan digelandang untuk di lempar ke truk yg sdh berisi temen temen yang lain.
Lain lagi misal dengan yang dialami Untoro Hariadi, aktivis dari Jurusan Filsafat UGM dan beberapa kawan lainnya. Ia memang sempat kena injakan sepatu lars tentara, namun lalu berhasil lolos dan lari ke selokan Kusumanegara bersama Heri Prihantono. Terus lari menyusuri selokan Kusumanegara ke arah Umbul Harjo lewat Kali Mambu. Sekawanan mahasiswa yang bersama Untoro ini jumlahnya ada mungkin sebelasan, dan kami dikejar terus. Nah sampai Tungkak (arah selatan tkp), Untoro dan kawan-kawannya tetap dikejar terus, karenanya mereka juga terus berlari. “Sempat juga kami masuk kuburan namun kami masih terus dikejar,” sambung Untoro. Sesampai di Tungkak, Untoro memutuskan 3 orang ke Surabaya, 9 orang (termasuk Untoro) ke Jakarta naik bus tanpa uang sepeser pun. Sampai di Purwokerto, Untoro dan kawan-kawannya mencoba ganti naik Kereta Api Gaya Baru Malam. Sampai lah kemudian mereka di ibukota Jakarta. “Rasanya sampai stres kami dikejar kejar terus seperti penjahat,” ucap Untoro menutup kisahnya.
Seingatku ada lebih 39 aktivis yg ditangkap pada aksi solidaritas 3B ini. Dan dari peristiwa brutal ini lalu dibuat kronologinya oleh kawan M. Thoriq dengan sebutan ‘Peristiwa Jogja Berdarah’, tapi juga sering disebut oleh banyak teman sebagai Peristiwa Kusumanegara Berdarah. Yang terakhir Ini mungkin nyangkol di ingatan, karena kejadiannya di seputaran jalan kusumanegara dan deket dengan TMP Kusumanegara.
Tetap Bangkit Walau Distigmatisasi Kiri-Komunis
Penanganan terhadap protes yang brutal pada aksi 3B di masa kuatnya rezim orba yang tiranis melalui aparatus yang sangat militeristik dimungkinkan karena ruang ruang demokratisasi selama ini memang dipinggirkan oleh rezim autoritarian-tiranis itu sendiri. Tentu hal ini mestinya memberi pelajaran untuk dimasa yang akan datang kapan pun bahwa keterlibatan militer di ruang politik mesti dibatasi. Tugas militer harus ditempatkan sebagai alat pertahanan, bukan sebagai alat penggada dan atau pemukul bagi matinya hak dan kebebasan sipil yang diakui oleh Undang-Undang Dasar dan Pancasila. Dinamika Gerakan Mahasiswa saat itu saya kira ingin menegaskan bahwa dalam sebuah negara demokratis ekspresi pemikiran tidak bisa dipidana sepanjang tidak menganjurkan kekerasan. Termasuk pemikiran yang dituangkan dalam sebuah buku. Sudah menjadi kesadaran kami bahwa mestinya seseorang tidak bisa dihukum atas apa yang dipikirkannya. Prinsip ini kiranya sangat penting. Seingatku setelah seminggu dari peristiwa Jogja Berdarah, keluar tulisan Arif Budiman di surat kabar Kompas dengan judul “Kapan Pemerintah Berhenti Memusuhi Pemuda Kita” sebagai peringatan kepada rezim tiranis. Atas pemuatan tulisan ini, konon Koran Kompas sempat dimarahi dan diancam bredel oleh Bakostranas.
Solidaritas dan aspirasi terkait hak informasi (membaca buku) dan juga penyelesain perbedaan atas tafsir pembangunan mestinya diselesaikan dengan dengan kepala dingin dan daulat hukum; bukan kekerasan oleh para penyandang senjata. Di mana gaji tentara dan juga senjatanya dari uang rakyat. Bukan sebaliknya, malah dianggap seperti munculnya pemberontakan. Mahasiswa akan menyampaikan aspirasi mengapa harus dihajar sebegitu kerasnya?
Semingu paska-Jogja berdarah, kita lakukan aksi di bunderan UGM. Aksi ini kita namai aksi bisu dengan Jhon Tobing sebagai korlapnya. Terus terang ini adalah aksi berani (nekat), tapi juga aksi yang terasa begitu mendalam. Dan kalau diingat sekarang jadi lucu unik. Dengan pake iket kain hitam di kepala, dan menutup mulut dengan sapu tangan, sebagai tanda kedukaan atas kekerasan yang terjadi, aksi ini berangkat dari titik mula di perempatan Mirota menuju Bunderan UGM. Dalam aksi tanpa bersuara ini tak ada orasi hanya jalan, diam juga tanpa megaphone. Sampai di bunderan melakukan hening cipta dan kemudian mendirikan kemah duka matinya akal sehat sampai hingga tiga hari tiga malam.
Saat itu paska-peristiwa Jogja Berdarah kiranya tidak membuat mahasiswa kritis untuk surut. Mereka tetap kembali melakukan perlawanan untuk terciptanya sistem yang lebih demokratis. Dan memang dari sikap dan peran yang dimainkan gerakan mahasiswa Yogyakarta justru mendapat resonansi dalam bentuk perlawanan di berbagai daerah. Dari peristiwa itu akhirnya memberikan inspirasi keyakinan, bahwa gerakan mahasiswa dan pemuda masih ada dan tidak berakhir padam. Mahasiswa dan pemuda, saat itu, tetap menceburkan diri ke wilayah konflik untuk pembelaan rakyat di banyak tempat
Dari rangkaian aksi yang berlangsung sepanjang hampr dua tahun itu, terlihat dinamika hubungan antara berbagai kelompok atau kantong-kantong pergerakan mahasiswa. Dan jaringan aktivis persma telah menunjukan hubungan dan kerjasamanya sampai tingkat antarkota. Dan aksi-aksi solidaritas 3B tampaknya juga dijadikan momentum konsolidasi persma untuk memperluas dari jaringan yang sudah ada. Dan yang dapat digarisbawahi bahwa berbeda dengan aktivis mahasiswa sebelumnya, katakanlah untuk Generasi 1974 dan Generasi 1978, yang berbasis organisasi formal di kampus, seperti Dewan Mahasiswa. Generasi 1980-an aktivis mahasiswanya adalah berbasis komunitas, yang hubungannya dengan kelembagaan formal mahasiswa di kampus sangatlah samar atau belum terbentuk. Hal penting lain yang perlu dicatat, mereka gerakan mahasiswa ini terjun langsung di daerah atau kasus yang mungkin sifatnya lokal tetapi memiliki resonansi nasional. Dari segi di lapangan generasi akhir 1980-an tidak pernah memakai jaket almamater atau atribut lainnya dalam setiap aksinya, cukup memakai baju sehari-hari atau kaos yang bersahaja. Tidak seperti generasi sebelumnya, bahkan generasi sesudahnya sekalipun. Peristiwa Yogya Berdarah boleh disebut sebagai klimaks aksi generasi 1980-an, karena tak lama setelah aksi itu, telah masuk dasawarsa 1990-an, artinya generasi baru (Generasi 1990-an) akan lahir.
Sementara itu di kampus putih sudah menjadi resiko kalau kemudian Arena selalu diawasi dan bahkan mengalami tuduhan dan stigma macam-macam. Yang paling sering adalah tuduhan mahasisiwa pembuat onar dan gerombolan mahasiswa yang sudah terpengaruh kelompok kiri. Saya jadi ingat, salah satu ciri khas rezim orde baru itu diperankan menteri atau kepala bidang keamanan dan sosial politik, Kasospol ini suka sekali menebar ancaman terhadap keutuhan negara bangsa dengan menyebut kelompok yang disebut ekstrim kanan dan ektrim kiri. Menariknya ketakutan berlebihan itu mesti diresonansi oleh Kasospol tingkat Provinsi dengan membuat acara yang namannya pembinaan, terutama dengan kalangan ormas. Nah kita, Arena pun karenanya sering mendapat kabar tuduhan-tuduhan itu dari sumber yang sering dikumpulkan atau dikasih pembinaan itu.
Tentu tuduhan itu sama sekali tidak mendasar dan temen-temen juga tiada perlu merespons balik. Beberapa temen minimal seperti saya justru jadi lecutan untuk mengerti apa itu istilah konsep kiri dan kanan itu sebenaranya. Dan juga bagaimana menempatkan kelompok-kelompok itu kalau bener ada di kita dulu diawal-awal pergerakan menuju kemeredekaan itu secara proposional dalam perjalanan historisnya. Dan bagaimana juga konsep atau istilah kiri tidak membuat kita alergi dan mudah tersulut untuk ikut menstigmatisasi dan mengecam terhadap bebagai hal yang terkait kiri atau kanan. Kita pun secara insisatif sendiri-sendiri mencoba serius bergerilya ilmu untuk mengetahui apa sebenarnya istilah atau konsep kiri tersebut—yang ternyata tak jauh dari “yang di sisi rakyat,” begitulah temen temen secara gampangan mempersepsikannya. Pilihan pemihakan terhadap yang lemah, yang cerita pertama kali istilah itu muncul mengacu pada bagian dari sejarah Revolusi Perancis. Ada tuan tanah, saudagar dan penguasa fasis yang di sebelah kanan waktu sidang, dan yang di kiri adalah untuk rakyat kebanyakan, bagian pilihan yang melawan pihak-pihak anti-Revolusi Perancis dan Rezim Feodal Fasis waktu itu.
Sebenaranya memasuki tahun 90-an sampai di tahun awal 1992 situasi dan cerita perkembangan Arena dan KMPD sedang gencar dan instens-intensnya antara kajian, refleksi dan demontrasi. Dan seperti disebut di atas, memang di bulan Mei tahun 1990lah juga ‘organ’ bernama KMPD itu lahir. Yang kemudian sepanjang tahun berikutnya, kegiatan-kegaiatannya juga cukup banyak. Kegiatan diskusi misalnya—yang saya ingat—temanya cukup variatif dari banyak melibatkan narasumber yang sudah dikenal integritas dan kekritisannya. Untuk yang narasumber ini KMPD sering menghadirkan nama-mana waktu itu seperti Romo Mangun Wijaya, Riyadi Gunawan, Aris Arif Mundayat dan juga cerdik pandai nan berani dari kalangan sendiri untuk menjadi kawan diskusi.
Namun disamping KMPD, kisah dinamika kepengurusan Arena sendiri juga menjadi bagian penting bagi kami, utamanya untuk majalah Arena agar tetap dapat rutin terbit sebagai tugas pokok kami. Masa ini adalah peralihan kepengurusan dari Mas Suaedy ke Mas Amirudin, kalau gak salah ingat. Di tahun 1991 ada edisi apa saya lupa tapi yang jelas Arena hadir mengunjung sekali atau dua edisi saya tepatnya lupa. Kalau masa Mas Amir saya cukup ingat, di bawah biduk cinta eh maksudnya kapal layar kepemimpinannya, Arena dapat hadir ke pembacanya, sampai dua atau malah tiga edisi. Dan ada edisi paling buntut di bawah PU Arena Mas Amirudin yang ada sempat—kalau istilah sekarang—virallah. Dalam edisi yang viral itu, lapsusnya adalah “Mempertanyakan Epistimoligi Keilmuan Fakultas Dakwah.” Akibat laporan khusus ini, para aktivis senat mahasiswa Fak. Dakwah IAIN Suka kemudian ‘mendemo’ Arena, tapi kemudian ada berakhir titik temulah dengan cantik. Dari sini , saya ingin bilang Arena juga membawa habitus yang asyik karena juga memberi pengelolanya olah ruang pemikiran-pemikiran dasar (filosofi) yang mendasari sampai muncul lapsus seperti itu.
Kalau bagi saya sendiri, masa Pak Amirudin jadi PU Arena ini—yang saya ingat—adalah restu dia dengan dana walau mepet untuk kami—waktu itu bersama dengan Kang Sholihin—melakukan investigative reporting ke Kepulauan Karimanjawa, jarak 80 km dari Kabupaten Jepara, terkait kepulauan ini akan dijadikan proyek wisata Taman Laut Nasional (TLN). Mencapainya hanya bisa dengan kapal (ada berangkat dua kali dalam seminggu) yang tak seberapa besar, dan yang rawan tenggelam jika ngepasi musim pasang laut dan ombak besar. Seingatku setelah nyong nganggo mabuk nobarang di tengah lautan, kapal tiba di pulau utama Karimunjawa, terus menuju Desa Kemudjan. Pulau Kemudjan adalah pulau yang agak besar kedua di kepulauan Karimunjawa yang akan dijadikan tapak TLN, dan juga di mana rumah kontak kami berada.
Nah, cerita perjuangannya di mulai di sini. Kami memerlukan waktu setengah hari lebih, dan harus berjalan kaki menempuh puluhan kilometer sampai di Desa Kemudjan. Karena memang dari pulau Karimunjawa tidak ada penyewaan kendaraan motor atau ojek. Tengah malam di rumah seorang guru SD Kamudjan, yang masih saudara jauh Kang Sholihin, kami disuguhi makan malam dengan nasi hangat dan lauk yang hanya ikan digoreng dari tangkapan ikan malam itu juga. Wouuw… ya Allah nikmatnya itu ikan. Di situ lah kami mengerti betul kalau kita tak boleh main main dengan ayat “Nikmat mana lagi yang akan engkau dustakan hai manusia”. Dan ikan yang baru saja diambil dari laut dan mati sekali, dan matinya barusan lagi, memang luar biasa. Itulah kenangan yang sedikit mengharu-biru. Tapi ada juga cerita melegakan dan ikut senangnya, kerena beberapa tahun kemudian, mungkin sekira 1996 atau awal 1997, kontak dan liputan khusus Arena tentang “TLN dan nasib penduduk kepulauan Karimunjawa” paling tidak jadi ‘pembuka’ informasi penting dan jalan ‘advokasi’ yang dilakukan temen-temen aktivis, seperti Eko Matahari, Eri Sutrino Terry dan Hoggie yang melakukan pengorganisasian rakyat di kepulauan yang indah tersebut. Mereka ini lewat Yayasan Geni UKSW dapat memastikan adanya ‘ganti untung’ untuk jalan dan lahan rakyat (warga) kepuauan itu—yang tak pernah dibayangkan akan diperolehnya, ketika proyek Taman Laut Nasional tersebut direalisasikan.
Aksi Goput Pemilu 1992
Pada akhir bulan Mei 1992, gerakan mahasiswa dari banyak elemen kampus di Jogjakarta mulai banyak melakukan diskusi kecil tentang pemilu dan isu-isu demokratisasi dan penegakan HAM. Catatan dari diskusi dan kajian intens mencatat bahwa dalam setengah dekade sampai menjelang pemilu 1992 rezim Orba tidak tanggung-tanggung, bukan saja banyak melakukan penggiringan bahkan intimidasi kepada banyak komponen di masyarakat untuk pemenangan salah satu peserta pemilu yakni Golkar, namun lebih dari itu rezim Orba dengan kebijakan pembangunanisme telah banyak melanggar HAM dan merugikan rakyat, mulai dari perampasan lahan rakyat dalam konflik tanah di mana rezim lebih mementingan kelompok investor, pun demikian di konflik perburuhan serta lingkungan.
Dan aktivis gerakan mahasiswa juga melihat rencana pelaksanaan pemilu 1992 sudah kehilangan legitimasinya. Karena rezim Orba jelas adalah bagian dari problem itu sendiri dengan kebijakan pembangunanisme yang merugikan rakyat dan melanggar HAM. Bahkan di awal-awal tahun 1992 mulai tampak kebijakan politik-ekonomi yang melahirkan monopoli dan konglemarisasi yang hanya memberi keuntungan segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa, dan juga bisnis keluarga presiden sendiri. Ketiadaan pada terwujudnya demokratisasi politik dan ekonomi adalah isu dan tuntutan yang lebih penting dan pokok ketimbang penyelenggaraan sandiwara pemilu 1992. Maka konteks gerakan golput adalah bentuk protes dan perlawanan yang semestinya dilakukan bukan hanya oleh kalangan terpelajar seperti mahasiswa dan dosen, tetapi juga orang-orang miskin kota dan desa yang merasa dirugikan atas proyek-proyek pembangunan selama rezim Orde Baru berkuasa.
Dan karena itu di kampus putih kemudian digelar aksi Golput yang dikoordinasi oleh KMPD-IAIN. Aksi ini diberlangsungkan seharian penuh, dari pagi hingga salat Jumat dan setelahnya. Mengambil tempat di halaman masjid IAIN-Suka, aksi mimbar bebas ini dimulai dengan orasi, baca puisi dan mengarak keranda hitam yang bertuliskan ‘Matinya Demokrasi’. Sependek ingatanku, massa aksi mahasiswa ‘Happening Art Golput’ ini cukup besar. Dan yang menarik, selain ada berbagai poster, spanduk sebagaimana biasa ada sebagai perangkat aksi protes, pada aksi golput saat itu juga penuh dengan perangkat simbolik-alegoris seperti manekin dari perupa ISI, bendera dan kain putih panjang yang disiapkan untuk pengikut aksi yang hadir dari mana pun menuliskan coretan di kain putih tersebut. Hal ini dimungkinkan karena keterlibatan temen-temen aktivis ISI juga dari IM-UJB, UMY dan UNCOK yang sejak awal memang terlibat dalam penyiapan aksi, dan mereka tergabung juga dalam organ kota Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY).
Setelah prosesi mengarak keranda, manekin dan bendera putih, massa aksi yang di halaman masjid berencana akan keluar turun ke jalan namun ternyata di pintu masuk depan kantor Menwa, puluhan pasukan Pakhsas AU sudah membarikade jalan dengan sangat rapat. Sempat terjadi ketegangan dan dorong-mendorong cukup lama antara massa aksi dengan aparat tersebut, namun tidak terjadi gesekan fisik. Belakangan saya tahu—kebetulan waktu itu saya jadi korlap aksi golput tersebut—saat itu ternyata hampir semua celah masuk ke kampus IAIN sudah dibarikade dan ditutup rapat. Kiranya kalau dua kompenen massa aksi ini dapat gabung dan turun jalan, waktu itu, kota Yogya akan berubah menjadi lautan warna putih. Aksi alegoris Goplut berakhir dengan tanpa bentrok menjelang beberapa menit saat salat Jumat dimulai.
Paska-salat Jumat, karena pengamanan sudah sedikit kendor, arak-arakan kecil gabungan massa aksi golput sempat menghiasi jalan di pusat jalan-jalan besar kota Yogyakarta. Inilah kemudian aksi golput yang awalnya diadakan di Lampus Putih, namun juga berkembang jadi barisan konvoi kecil-kecil yang menyemut dan mempersuasi masyarakat untuk menjadi golput (golongan putih) disebut sebagai ‘Peristiwa (Golput) Yogyakarta 1992’.
Di Kota Jogja memang waktu itu kebetulan ada pengetatan kampanye yang mungkin saja membuat kecewa konstituan partai. Jadi mungkin massa rakyat kota, awalnya ada kaitan kekecewan terkait pengetatan itu ketika menghadiri aksi golput di kampus IAIN Su-Ka. Namun asumsi ini tampaknya terasa mengada-ada, karena kajian mendalam atas diturunkanya semua atribut-atribut gambar dan bendera partai baik itu PDIP dan PPP oleh warga kota menunjukkan tiadanya hal kuat atas keterhubunganya dengan kekecewaan itu, misal ini dihibungkan tiadanya elit lokal partai memberi perintah. Dan ketika terjadi ‘pertautan’ dengan aksi mahsiswa menjadi berkembang lebih artikulatif sebagai kritik dan ‘penolakan’ kepada rezim yang menginginkan sandiwara pemilu berlangsung. Bahkan pada konvoi anak muda di situ menunjukkan luapan jantung hati (dan akal sehat) dari massa rakyat yang merasa tidak cocok bilamana unsur-unsur demokrasi sejati ternyata mangkir (absence) dari kehidupan dan sosio-budaya mereka. Di sini juga ada yang merumuskanya sebagai: Siasat Politik Massa Rakyat Kota.
Dapat dikatakan bahwa kelembagaan perwakilan, dana dan senjata saja, adalah rapuh dan tidak cukup untuk meng-kuasa-i kehidupan sosio-budaya massa rakyat kota Jogja. Karena, dalam saat dan tempat yang tepat, pihak rakyat (demos) akan mudah menjadi “anarkis” dengan aneka siasat kebudayaan politis bilamana dasar dan hak kekuasaan (kratos) mereka terus-menerus dibungkam atau dimandulkan, ungkap Budi Susanto. Peristiwa Yogya 1992 bukan saja identitas bagi mereka yang tidak puas atas keadaan karena demokrasi diinjak-injak oleh Golkar dan rezim Orba tiranis yang berkuasa kala itu, namun aksi golput ini sebagai gerakan protes politik karena terdapat kesenjangan tujuan dan realitas Pemilu dengan jauhnya cita republik dengan demokrasi pancasila yang sejati, begitu kata Romo Mangun dalam kolom yang ditulis Tempo beberapa hari setelah peristiwa itu di Majalah Tempo
Akhiran
Dalam pandangan saya sendiri, saya melihat aksi allegoris golput dan Peristiwa Yogyakarta 1992 adalah suatu siasat massa rakyat kota yang geniun. Dan mestinya rezim tidak perlu gelagepan dan harus membaca dan segera berubah, dengan tanda peringatan dari rakyatnya yang sudah jengah dengan penerapan demokrasi yang makin jauh dari daulat rakyat. Bukan sebaliknya adigung-adiguna dengan aspirasi dan kritik yang datang dari bawah. Apalagi kemudian melakukan tindakan semena-mena sebagaimana seminggu sebelumnya (awal Mei 1992), ketika beberapa mahasiswa di halaman fakultas Sastra Undip Semarang harus dikejar-kejar dan ditangkapi karena melakukan aksi teaterikal golput. Mereka yang ditangkap polisi adalah dua aktivis mahasiswa Lukas Luwarso dari Fak. Sastra Undip dan Poltak Ike Wibowo dari Fak. Hukum Unisula Semarang.
Sependek ingatan saya beberapa hari menjelang sidang penuntutan kasus ‘terdakwa’ golput Lukas-Poltak Semarang sekitar bulan September 1992, kami diajak rombongan Ketua-Ketua Senat Mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta yakni Ngatawi Sastro IAIN, Anis R. Baswedan UGM, Rico ISI Yogyakarta dan dari UJB, UII, UMY—yang maaf sudah saya lupa nama siapa saja ketua Senat Mahasiswanya. Inisiatif menjenguk dua mahasiswa tahanan politik ini tampaknya spontan saja ingin memberi dukungan moral serta sebagai wujud solidaritas dari apa yang menimpa kawan Lukas dan Poltak. Dari Jogja kita ke Semarang dengan menyewa atau naik bus bumel. Saya lupa persisnya. Nah ada sedikit cerita bagaimana para tokoh pimpinan mahasiswa ini ternyata memiliki cara thas-thes dan trengginas yang itu semua menunjukkan kadar keberanian dan kapasitasnya yang berbeda dengan mahasiswa biasa lainnya.
Ceritanya saat bus melaju ke semarang, sampai di Ungaran, tiba- tiba Anis berinisiatif untuk berhenti dan mengajak semua rombongan mendatangi langsung Makodam tanpa prosedur formal seperti surat atau minimal mengkontak tlp/fax dulu. Ya, kala itu bener-bener spontanitas saja. Semuanya para ketua senat itu setuju, dan mantap turun bus, beriringan jalan menuju pintu masuk di mana ada tentara penjaganya. “Kami dari para senat perguruan tinggi Yogya berharap bisa menghadap Bapak Kodam Diponegoro sekarang, ya Pak Petugas,” begitu Anis langsung menerangkan dengan lugas. Nah cara yang meyakinkan ini ternyata berhasil, tak ada tanya balik atau apa, Petugas lalu langsung mengiringi sebentar dan menunjukkan tangga untuk menuju ruangan Pangdam.
Singkat cerita kita hanya bisa ketemu sebentar Kepala Staff Logistik Kodam atau apa saya lupa. Dan kami pamit karena Pangdam tidak di tempat untuk meneruskan perjalanan ke Semarang. Ya begitu aja kita pun langsung turun keluar dari Makodam. Terus terang, pada awalnya saya sempat agak ragu alias keder juga, bukan soal apa-apa tapi ini insting aja—saya satu-satunya diantara rombongan yang hanya pakai sandal jepit, dan juga berkaos tshirt tanpa kerah di antara temen-temen, ya memang si tidak semua berjaket, tapi yang gak berjaket almameter minimal pake kemeja pendek. Tiba di semarang kita janjian untuk ketemu langsung di Mapolwil/Mapoltabes Semarang di mana Lukas dan Poltak dipenjara. Karena saya dan Ngatawi Satro—sebelunya dia sudah ngasih tahu ke kami, ada Mayjend siapa gitu saya lupa namanya, orang dari Pati yang harus kami temui ini terkait ada surat untuknya dari Gus Dur yang kira-kira intinya bagaimana agar dua terdakawa mahasiswa itu bisa dibebaskan atau minimal dengan vonis yang ringan.
Dari cerita di atas, apakah karakter minimal dua kawan saya kelak terlihat juga di masa depannya? Pokoke dua duane kawan apik dan syiip pokoke dim! Dari cerita ini saya ingin membagi aja juga mumpung ingat, bahwa Gus Dur Allahu Yarham, memang setelah jadi ketua PBNU pada Muktamar NU di Krapyak Jogja nyambung dengan banyak senior dan temen-temen aktivis IAIN Suka, salah satunya diawali dengan memberi info tentang list aktivis mahasiswa yang sudah masuk di Bakostranas, lalu diintensifkan hubungannya yang saling timbal balik dan mendalam dengan kawan Ngatawi Satro, kita jadi tahu bagaimana ia juga sejak awal punya komitmen dan pembelaan nyata pada mahasiswa pro demokrasi dan jejaring masyarakat sipil. Saat itu tahun 1992, jauh sebelum reformasi. Saya kira perjalanan sepanjang setengah dekade dari 1988 hingga akhir 1992 yang terasa deras dan penuh resiko tersebut, Arena dan anak kandungnya KMPD bukan saja menjadi salah satu komponen pendesak utama realisasi pilihan aksi turun jalan, namun ia juga menjadi salah satu tempat persemaian ide dan gerak aktivitas Gerakan Mahasiswa di Indonesia. Boleh dibilang juga angkatan kami, baik Arena dan KMPD, adalah bergerak dan memikirkan gerakan. Dan pilihan sikap dan pemihakan kepada rakyat yang tidak berdaya dan dilemahkan—di rezim otoritarian—dan mudah melumat yang bersuara lain—waktu itu—tetaplah sangat berharga dan dapat menjadi bahan refleksi bagi perjalanan Arena saat ini dan ke depannya. Dirgahayu Arena ke 50!
*Pemimpin Umum Majalah Arena (1992-1994). Sebelumnya pernah Ka Litbang Arena dan Redaksi (1988-1991) Untuk kontak dapat melalui email: a.s.burhan.f@gmail.com | Foto Dokumentasi Pribadi