Home MEMOAR Teror Kekerasan Terhadap Aktivis Mahasiswa di Kampus Putih (akhir 1992) dan Pembredelan Majalah Arena

Teror Kekerasan Terhadap Aktivis Mahasiswa di Kampus Putih (akhir 1992) dan Pembredelan Majalah Arena

by lpm_arena

Oleh A.S. Burhan*

Selama ini belum ada tulisan utuh tentang dua hal ini, teror kekerasan aktivis mahasiswa dan pembredelan majalah Arena. Dalam momen ultah Arena ke 50 kali ini saya mencoba merangkai kembali peristiwa yang sudah 30 tahun lebih jaraknya. Catatan ini didasarkan oleh ingatan saja, saya belum sempat untuk mengkroscek data dan atau ke beberapa teman lainnya. Bagi saya pribadi kisah kenangan ini memang ada sih sedikit kegetiran, walau juga yang kocak lebih banyak. Namun, dari situ justru ada banyak rasa kebersamaan yang luar biasa dalam ber-Arena di era mengeja zaman bergerak

Diujung akhir tahun 1992 teror kekerasan dengan pemukulan pada para aktivis mahasiswa Kampus Putih oleh sekelompok preman mulai terjadi. Walau awalnya disamarkan seperti bermula ada gesekan eksistensial antar pribadi mahasiswa pada saat Ospek, tapi segera teridentifikasi  bahwa hal ini adalah pola kekerasan untuk menjatuhkan mental aktivis mahasiswa oleh suatu ‘operasi pihak keamanan tertentu’ yang tidak smart (halus), alias kentara kasar dan coba-coba. 

Mengapa kami punya kesimpulan seperti itu. Ceritanya bermula dari salah satu aktivis Arena dan KMPD, Gatot Indroyono, yang turun dari bus kota di pintu masuk kampus akan menuju ke kantor Arena, tapi sengaja dihadang sekelompok orang. Dan saat sampai di depan pintu Arena diseret ke depan pintu kantor Kordiska, kemudian dipukuli oleh sebut saja namanya Abduh,  Supri dan beberapa orang yang mengaku anggota geng ternama yang bermarkas di Kauman. 

Setengah jam sebelum kejadian, dimana saya ngepasi juga berada di kantor Arena, salah satu pengeroyok yang bernama Supri itu ternyata sudah kliteran di depan kantor Arena seperti mencari orang. Tetapi saya tidak menyadari  karena saya sedang baca koran. Dan pintu Arena, juga tidak seperti biasanya yang terbuka lebar. Kala itu  hanya terbuka satu sisi bahkan hampir tertutup. 

Ketika Supri slewar-sliwer keluar masuk kantor Arena, baru saya bilangin “Mas kalau mau masuk kesini mbok bilang permisi atau salam kek, ini kantor”, tegur saya. Sekali ini juga saya negur orang terkait dengan ruang tamu kantor Arena.

Mendapat teguran dari saya itu –walau ia sepertinya memperlihatkan raut muka yang tidak suka– ia malah cuma merespon ”Eh, kamu Burhan yang suka di UGM itu ya.” Karena saya gak kenal si Supri itu, juga gak ngeh, dengan apa yang akan terjadi tentu saja saya tidak menjawab balik dan kubiarkan saja ketika ia keluar lagi dari ruang tamu Arena. 

 Saya pun asyik kembali membaca koran, yang kali itu kemudian ada gabung In’amul Mustofa kawan seangkatan saya dan juga yang aktif sejak awal di KMPD masuk ke ruang tamu Arena. Dalam sekian menit obrolan berlangsung, belum lama lah,  kemudian kami berdua mendengar ada ribut-ribut di depan kantor Arena. Dan ketika pintu kubuka, kami mendapati si Supri itu sudah menghadapkan Gatot yang hidungnya berdarah.

Supri berkata “Ini temenmu sudah tak antil gini, ayo kamu mau gimana.” 

Tentu saya kaget, dan spontan saja justru balik menjawab dengan tanya “Lho ini (ada) masalahnya apa?” Tentu ketika tanya itu, gak tau kok saya masih bisa bersikap tenang walau mungkin juga ada rasa khawatir dikit ya karena  ternyata ada  tiga sampai lima  pengeroyok di belakang Supri he he. 

Dalam situasi yang saya rasakan genting itu ternyata belum ada jawaban dari mulut si Supri. (Mungkin ia tak menduga bakal ada tanya-tanya segala. Mungkin ia juga mbatin ‘ki pye tho cah, kok ora ono antilan balasan’ he he). Maka kemudian saya tarik Gatot masuk ke sisi ruang dalam Arena. Pikirku untuk mengatasi pendarahan hidungnya. Sementara Supri mengiringi di belakang saya, tapi kemudian hanya berhenti dan berdiri di lorong pendek antara ruang tamu dan ruang dalam. 

Di ruang dalam kantor Arena saya hanya dapat menemukan kertas, karena itu yang hanya sementara bisa untuk membersihkan dan  menahan darah dari hidung Gatot yang terus menetes. Di situ kemudian saya ingat (juga ada ide dari In’am) kenapa gak saya bawa aja si pesakitan Gatot  ini ke Poliklinik Kampus di Fakultas Adab yang jaraknya tak jauh cuma 50-an meter dari kantor Arena. 

Maka sembari mengajak In’am untuk segera membawa ke poliklinik, kita gaet dan pegang itu tangan Gatot beriringan  keluar dari ruang dalam  kantor Arena. Saat itu tiba-tiba Arifan Syafii, entah dari mana datangnya, masuk ke kantor Arena. Dan tentu ia naturally ketika lihat keadaan kami berucap “Dim, ih ada apa nih… Lho kenapa si kakak Gatot, Dim?” Tanyanya spontan dan  biasa sambil  bertingkah agak gemulai.

 Walau kami sempat berpapasan dengan Arifan tepat di ruang antara, kami tak sempat menjawabnya (gimana mau jawab juga sih Dim, batinku). Cuma tepat di langkah kami keluar pintu Arena, kami sayup sayup mendengar ada yang menjawab tanyanya Arifan itu. Ya suara bogem mentah yang diikuti  blukgh, suara tubuh jatuh tersungkur. “Asem okgh Arifan keno antil juga Dim, batin ku sambil mata ini saling pandang dengan In’am.

Singkat cerita, sampai kami di poliklinik, untung ada petugas jaganya. Gatot langsung ditangani. Saya pun lalu bilang ke In’am “Kamu jaga and urus GT di sini ya Dim sampai rampung”. Terus terang situasi saat itu susah saya mendefinisikan diri saya, tapi saya coba yakin aja  lanjut ngomong ke In’am “Saya tak balik ke Arena lagi apa pun yang terjadi ya terjadilah Dim.”  

Dalam perjalanan balik ke Arena yang dekat itu saya yakin dan mantap saja harus lihat keadaan. Bukan apa-apa, ada muncul selintasan di benak dan  nalarku “Saya gak ada urusan,  kenal juga tidak, apalagi pernah berbuat salah dengan mereka gerombolan itu.” Sambil melangkah jalan, spontan sempat muncul itu insting survive atau apa namanya untuk mempersenjatai diri. Mata ini sekejap mencoba mencari- cari  barang atau alat apa gitu lah. Mungkin nggak ya aku dapat menemukan  sepotong kayu yang ada pakunya atau batu untuk jaga-jaga nantinya. Begitu kata batin campur aduk. 

Namun karena jarak yang pendek Fak. Adab ke Arena, itu batu atau apa belum sempat kutemukan. Ealah di depan dekat gerbang samping pintu bawah tangga masjid si Supri ternyata sudah menghadangku lagi. Dia kembali ternyata cuma mau bicara “Udah ku tunggu ya balesanmu apa, kalau perlu sana bilang sama orang yang sekarang lagi ngumpul di Kaliurang. Sekarang kan lagi ada acara di Kaliurang, bener kan?” lanjutnya, seperti meminta konfirmasi.

 Saya pun diam dan juga agak bingung. Setelah berucap soal pertemuan Kaliurang yang gak jelas itu, ia pun beringsut pergi dengan gerombolannya. Saya tentu malah jadi heran dan gak ngerti maksudnya apa ucapan itu, terutama terkait Kaliurang. 

Belakangan saya (malam harinya) jadi tau. Waktu itu, selama tiga hari memang ada workshop NGO apa gitu (lupa namanya) tentang “gerilya ilmu sosial” yang narsumnya antara lain ada Arif Budiman dll. Di sini saya pun punya catatan pasti untuk si Supri yang kemudian saya dapat info profiling dia sebagai “preman biasa” kok bisa tau itu acara NGO di Kaliurang: dia berarti ada koneksitas atau hubungan dengan intel atau pihak aparat keamanan. Begitu dalam pikiranku menebak-nebak.

Waktu sudah mulai beringsut sore kala itu. Dan jelas ketegangan di kami juga belum sirna, tapi gak tau kok kami kemudian mencoba bisa bersikap cepat dan berbagi tugas. Segera kami menyarankan kepada dua korban pengeroyokan (GT dan Arifan) itu untuk langsung ke UGD Rumah Sakit terdekat. Seraya bilang juga untuk memastikan dapat hasil periksa dan visum et retertum atas luka-lukanya. Dan kemudian dengan memakai sepeda motor In’am, kami pun berboncengan menuju Pos Polisi Polsek Depok yang lokasinya  di depan Hotel Ambarukmo. Melaporkan peristiwa dan kejadian tindakan ‘pidana’  pengeroyokan pemukulan tersebut. 

Ada kejadian di luar kebiasaan saat pemrosesan pelaporan verbal terkait peristiwa  di pos polisi tersebut. Polisi yang bertugas bilang bahwa kertas formnya habis. Maka saya yang berencana siap jadi saksi pelapor, coba usul, “Kalau habis kertas kan bisa saya fotocopy di luar sebentar Pak?!” Petugas polisi itu setuju, dan saya pun keluar mencari warung fotocopy. Nah, agak anehnya ya mungkin disini. Setelah saya balik dengan bawa fotocopy-an kertas form berkas laporan, ternyata In’am sudah diproses verbal jadi saksi pelapor dengan memakai satu sisa lembar form yang ternyata masih ada. 

“Udah sama saja, dan saksi pelapornya cukup satu gak papa”, sergah polisi itu ketika saya bilang kok saya ndak dimasukkan jadi saksi pelapor. Jadilah saksi pelapor dengan hanya sendirian, satu orang. Dan itu berefek nantinya di pengadilan saat mulai di gelar beberapa minggu berikutnya.

Dari pos polisi, kemudian In’am  langsung ngajak untuk temu Brotoseno dan Wani Dharmawan dimana katanya waktu itu dua kawan ini ada koneksi dan cukup dekat dengan GPK atau beberapa penggede Joksin. Jadi oke, kami ndatangi rumah Pakem, tujuannya, selain kabar-kabar tentang kejadian ini, kami maksudkan juga cari info konfirmasi, apa penyerangan Arena dengan pengeroyokan ini bena- benar dari mereka geng tersebut. 

Siang, sehari setelah kejadian situasi cukup mencekam. Banyak beredar isu antara lain misal bahwa  pengeroyok itu sudah punya list  atau sebutlah masih ada banyak aktivis yang akan disasar dst. 

Malam, sehari setelah kejadian, kami dan ada beberapa teman (lupa saya siapa saja) pun  ingin segera ketemuan untuk ngambil sikap atas kejadian teror terhadap mahasiswa di kampus. Nah, tetep senior satu yang namanya Mas Imam Aziz yang terasa begitu responsif dan ngancani, ngusulkan “Oke rapatnya nanti malam di asrama putra IAIN.” 

Pada saat rapat yg saya bisa ingat di situ ada Arfin, Hormuz, Eman Hermawan,  Amir Makruf, Muniryanto, Mas Imam Aziz dan yang lain. Kami dari Arena ada Majidun, Arif Hakim dan yang lain. Ada beberapa catatan dari tukar info dan analisa dari semua peserta rapat. Misal, terkait Abduh ini yang notabene umurnya sudah “kadaluarsa” kok bisa jadi mahasiswa baru. Dan di Ospek tampak petintang-petinting. Beberapa kali juga melakukan sikap intimidatif kepada pengurus senat termasuk pengurus senat perempuan (Arifatul Choiriyah, senat, dan juga Arena dari Sumenep Madura).  Terkait janggalnya dari segi umur dan normatif persyaratan Abduh menjadi mahasiswa baru di fakultas Adab, ada info valid tentang peran fasilitasi dan hubungan kuat dengan pihak rektorat sendiri dalam hal ini Purek II (Abdrhman). 

Maka muncul indikasi kuat, tindakan teror pemukulan oleh  Abduh, Supri dkk bisa jadi bagian dari operasi teror, dan ada hubungannya dengan purek II (Abdrhman); yang sekali lagi jelas oknum Purek II  memang dikenal juga dekat dengan kalangan tentara atau aparat. Karena ia juga sering mengadakan event bersama sebagai pengurus PS Bangau Putih di Yogyakarta.

Saya sendiri kebetulan dapat info dari teman kuliah seangkatan yang satu komplek kost dengan Abduh. Dari temen ini, ia cerita tentang ‘hubungan khusus’ Abduh juga Supri dengan beberapa serse (intel) polisi atau tentara  kaitannya dengan kasus narkoba yang pernah dikenai dua orang tersebut. Sehingga ada indikasi mereka berdua ini bisa jadi memang ‘diperankan atau difungsikan’ sebagai informan sekaligus pion pemukul. Dalam hal ini mungkin juga untuk fungsi pada  ‘penekanan-penekanan’ ke dalam lingkungan  kelompok mahasiswa kritis  yang menjadi motor pergerakan demo-demo di Kampus Putih yang kian marak waktu itu. 

Dari point-point penting rapat di asrama malam itu disepakati, kita tidak akan surut dan ndak boleh kalah dengan permainan teror ini. Karena itu juga perlu cari cara-cara yang taktis strategis untuk melawannya selain jalur hukum yang sudah ditempuh. Saya usul bahwa  besok kita harus  buat aksi demo mimbar bebas untuk membangun opini, mestinya pihak rektorat  harus  ikut bertanggung jawab dan kalau perlu mengecam tindakan teror di lingkungan akademis bukan sebaliknya diam saja. Para peserta rapat yang lainnya sepakat juga untuk diadakan demo karena dengan demo menunjukkan mental kita kuat atas terjadinya teror. 

“Aksi demo adalah perlawanan awal dan tandingan atas teror yang membuat kelam Kampus Putih,” lanjut Muniryanto. Semua juga menganggap penting untuk ‘menaikkan’ kasus dan isu teror ini jadi lebih terbuka  dan dalangnya justru yang jatuh mentalnya. Dan sekali lagi semua sepakat bahwa  besoknya mengadakan aksi mimbar bebas tentang “Kecam Masuknya Teror dan Premanisme di Kampus Putih”. 

Sesuai dengan jam yang sudah kami tentukan, aksi protes atas kekerasan di kampus, yang saya kira pihak rektorat tidak menyangka akan ada aksi ini, dapat berlangsung lancar dan tidak ada gangguan-diserang oleh preman. Dan nampaknya cukup punya efek di internal para pengambil keputusan di tingkat kampus. Dan benar saja, pasca aksi demo mahasiswa tersebut  situasi tampaknya justru makin mencekam. Peredaran isu bahwa serangan beruntun yang lebih besar dari salah satu geng yang selama ini sudah  jadi  momok atau simbol ingatan kekerasan publik di Jogja seolah tinggal menunggu hari dan waktu akan terjadi. 

Beredar isu juga bahwa semua pengurus dan anggota-anggota Senat Mahasiswa dan Arena sudah ditarget. Asrama putra IAIN dan mahasiswa penghuninya juga akan diserang.  Yang lebih mencekam, sempat beredar desas-desus –yang mungkin berasal dari ketegangan kepentingan dalam internal  birokrasi kampus, sebutlah basis identitas terkait ormas besar (Nahdliyin-Muhammadiyah) juga telah menunggu waktu untuk pecah konflik terbuka. Ini bukan mengada-ngada tapi isu ini juga sangat santer. 

Saya ingat, karena waktu itu Mbah Wongso dan teman-temannya Satkoryon Banser Jateng yang rumahnya Muntilan, dan yang biasa diandalkan pada saat ada kegentingan pecah konflik terkait hal semacam ini, sampai ngepam dan menunggui temen-temen baik yang di asrama maupun di kampus hingga seminggunan lebih.

Matahari naik sepenggalah. Cahaya hangatnya dari timur itu mulai membuat sedikit gerah pada mahasiswa yang lalu-lalang masuk atau keluar dari ruang kuliah. Kantor UKM di sekitaran bawah dan depan masjid juga seperti biasanya sudah mulai ditongkrongi pegiatnya. Namun, situasi seolah normal itu tiba-tiba pecah dan ramai saat ada seseorang (diketahui sebagai  Abduh) digiring sekelompok orang. Pelaku premanisme lima hari sebelumnya terhadap para aktivis mahasiswa IAIN itu digelandang  bagai kambing congek dengan hanya  berpakaian kembenan handuk dari arah selatan jalan, sebelah timur lapangan tenis,  sembari diserapahi dan disoraki oleh orang-di pinggir jalan yang melihatnya. Saat dijemput dari kostnya di Sapen ia tampaknya sembunyi atau berpura-pura tengah mandi dan lalu ‘menyerah’ hingga belum sempat berpakaian lengkap. 

Belakangan diketahui (dari sumber Cak Sayuri dan komunitas atas masjid -para suhu penjaga batin Arena), kawanan pemuda dari etnis tertentu (Madura) lah yang ‘mengambil’ si Abduh, dengan alasan karena telah melecehkan seorang perempuan Madura yang juga aktivis senat atau majalah Arena. 

Dalam setiap beberapa langkah menuju pintu timur masuk kampus depan masjid itu, Abduh tak pelak lagi jadi bulan bulanan mendapat bogem mentah dari banyak orang atau aktivis yang selama ini diintimidasi olehnya. Saya menyaksikan layangan bogem itu setidaknya dari tiga atau empat temen; dan kalau gak salah ingat,  temen itu antara lain Khadik dan Nurul Hadi, Thoriq dan siapa lagi lupa. Saat langkah kerumunan dengan-penggelandangan  itu sampai di lapangan depan masjid, deraaan layangan bogem yang ia (Abduh) harus terima (tunai) dari akibat ‘sok jagoan nya ini untungnya kemudian berakhir  dengan ditariknya ia masuk ke kantor Menwa. Dan terselamatkan lah Abduh, karena kemudian ia dibawa ke kantor polisi terdekat oleh beberapa senior pengurus Menwa.

Pasca peristiwa penggelandangan Abduh, situasi kondisi mencekam di kampus tampak berangsur-angsur mulai mereda. Namun hal itu hanya berlangsung beberapa hari saja. Pertama, tanpa diduga ternyata berkas pelaporan pemukulan terhadap Gatot dkk yang dulu diproses Polsek Sleman sudah sampai tahap pada gelar perkara oleh Pengadilan Negeri Sleman. Ini terbukti dengan adanya surat pemanggilan ke kawan In’am sebagai saksi atas perkara tersebut. 

Menghadapi  hal ini terus terang kita waktu itu belum punya persiapan matang, apalagi pernah saya bilang kita gak kuat karena hanya punya saksi pelapor satu orang saja. Dan waktu itu, kiranya kita juga tidak punya jaringan lawyer. Saya tidak ingat benar, bahkan  mungkin semacam LBH –yang di tahun-tahun berikutnya populer untuk penanganan pembelaan kasus hukum macam ini– kayaknya belum juga terbentuk mapan di Yogya.  

Kedua, desas desus masih kuat beredar bahwa akan ada serangan balik tetap muncul, terutama  bahwa Geng Joksin akan ‘nggasruk’ menyasar asrama putra IAIN. Ini dikaitkan karena beberapa pelaku pelayang bogem mentah di momen penggelandangan Abduh banyak tinggal di asrama, sebut saja salah satunya Khadiq. Yang berikutnya tetap masih ada isu santer kelompok preman tetap akan menyasar kantor Arena dan semua pengelolanya dan aktivis-aktivis penggerak demonstrasi. 

Berulangnya  akan ada serangan balik walau masih desas-desus, karena itu apapun harus diantisipasi. Sekedar penguatan mental atau bahkan jadi kebal secara pribadi-pribadi pun mesti dilakukan. Waktu itu saya ingat banyak temen yang pulang kampung atau ke tempat suhu atau padepokan bahkan pesantren tertentu untuk memperkuat kanuragan atau apapun lah istilahnya. 

Khadiq yang tinggal di asrama  yang juga kru Arena seangkatan Gatot sudah balik kampung duluan untuk tujuan ini. Menyusul juga kawan Yunus dan kawan-kawan lainnya, saya lupa siapa saja namanya. Oh ya, pencarian ilmu kekebalan rombongan Yunus dkk ke arah barat (Mlangi) ini disertai juga oleh kawan Arif. Kawan Arif Hakiem, yang waktu itu sudah mulai menjadi pesohor penulis resensi, mendadak menganggap hal itu cukup strategis dan penting. 

Nah, apakah dua rombongan ini dapat bertemu dengan satu suhu dan punya mantra yang sama? Yang jelas Yunus tampaknya  kurang khusyuk saat merapal mantra atau ngontal gotri bersama Arief di padepokan (Bhu Thong Pay?) di tlatah terpencil Mlangi Sleman. Pasalnya, walau sudah lelaku tiga hari, kawan Yunus masih terkapar jatuh kena kepalan tinju anak punk saat menyusuri riuh rendah pesta tahun baru 1993 di Jl.Malioboro.🙃😄 

Dan oh ya, sekira  tiga hari atau seminggu berikutnya—yang hal ini jelas tidak ada hubungannya dengan kekurangan  kekhusukan di Mlati atau bahkan tragedi tahun baru, ada datang kabar Yunus termasuk salah satu dari 21 mahasiswa yang ditangkap dalam aksi berani FAMI gabungan aktivis se-Jawa dengan tajuk “Seret Presiden ke Sidang Istimewa MPR RI” di gedung DPR RI. 

Gatot yang memang bersama Yunus berangkat ke Jakarta dan terlibat juga di aksi tersebut, alhamdulilah selamat dan aman, begitu info kawan Majidun pagi saat bertemu di kantor Arena. “Jimat Gatot ampuh Dim, Itulah yang menyelamatkannya… Dia pasti pake ajian la dan ri” tambahnya dengan tetap berwajah sedih-sedih gimana gitu he he. 

Dengan mulai di sidangnya kasus pengeroyokan (pemukulan) terhadap aktivis di Kampus Putih di PN Sleman pada 27 Desember 1992  sebenarnya merupakan perkembangan kasus yang  bisa menjanjikan bagi kita untuk bisa mendorong adanya hukuman yang setimpal bagi pelakunya, dan terutama juga bisa membuat terang siapa pula mastermind dibalik kasus yang menggemparkan selama hampir sebulan tersebut. 

Namun, nampaknya situasi moment saat akan diberlangsungkannya sidang belum bisa menjadi dukungan total untuk proses tersebut. Hal ini bisa dipahami sebagaimana tergambar pada situasi saat itu, tampaknya kondisi psikologis temen-temen benar-benar tersita. Terutama juga kondisi korban pemukulan yang mengalami trauma berkepanjangan.  

Tepat di sidang perdana kawan In’amul Mustofa sebagai saksi tunggal tetap berusaha menghadiri sidang di PN tersebut dengan gagah berani meski sendirian. Kami pun  dari kampus, yang hanya berdua dengan Muniriyanto dengan ‘selamat’ akhirnya juga sampai ke PN. Bagaimana pun, cerita perjalanan sampai ke PN memang butuh perjuangan mental yang tak mudah

Pasalnya di tengah perjalanan dengan satu sepeda motor butut itu ternyata kami juga masih diiringi rombongan lima motor pihak  kelompok pengeroyok yang sesekali menyertainya dengan ancaman dan serapah verbal. Dan ketika kami tiba di halaman depan pengadilan negeri, terlihat juga sudah ada massa puluhan lebih dari pendukung pengeroyok yang wajahnya tampak sangar. Dan proses sidang ternyata sudah mulai dengan sesi panitera atau hakim yang tengah meminta keterangan In’am. 

Namun, ketika kami berusaha masuk ke ruang sidang, kami tidak diperobolehkan dan diminta menunggu di luar. Tak beberapa lama sesi sidang pun berakhir, tetapi tampaknya tak ada keterangan yang bisa kami dapatkan kapan sidang berikutnya akan diadakan. Kita hanya dikasih info untuk menunggu saja surat panggilan berikutnya. Tentu kami bertiga kemudian segera cabut pulang dari PN menuju kampus. 

Seminggu sampai dua minggu kami menunggu, surat panggilan kedua ke In’am maupun ke pihak korban tak pernah datang. Kasus ini tampaknya dipetieskan dan ada intervensi dari pihak tertentu dan berakhir begitu saja. Hingga setengah bulan dari sidang itu, beberapa orang dari rombongan pengeroyok –yang dituakan kalau gak salah bernama Hidin– bertamu ke kantor Arena. Mereka dengan sopan dan menampakkan penyesalan, memohon ke kami agar kasus ini dapat berhenti (sampai) setelah silturahmi tersebut. 

Sekitar bulan Februari–Maret 1993, teror kekerasan kepada aktivis mahasiswa kembali terjadi. Namun kali ini menimpa  aktivis mahasiswa dari Universitas Janabadra (UJB). Kisahnya, di hampir tengah malam aktivis mahasiswa Heru Nongko yang dikenal sebagai koordinator Ikatan Mahasiswa (IM) UJB tiba-tiba “diambil paksa” dari kost/markas IM di Bumijo oleh beberapa orang dan diangkut ke mobil yang sudah siaga menunggu. Proses pengambilan Heru sangat cepat, senyap dan krn di kontrakan tak banyak orang ia pun tak sempat bisa pamit. Walaupun begitu, saat itu ada temennya yang mengetahui gelagat tidak baik itu. 

Di dalam mobil mata Heru ditutup rapat dengan kain  dan tubuh tangannya juga diikat. Tanpa ada pembicaraan apa apa, mobil  meninggalkan kontrakan IM UJB dan melaju ke arah (Parangtritis?). Heru sudah pasrah nasibnya akan hilang namun ia berusaha berinisiatif membuka suara dan asal ngomong  aja sampai beberapa kali sebagai taktik memancing agar ia tahu akan dibawa kemana “Kalau saya mau dibawa ke kodim, saya siap”, ucapnya beberapa kali. Usaha Heru tampaknya ada pengaruhnya sedikit, karena mobil itu kemudian dirasakan berputar arah. Namun, desir ketakutan dalam darahnya masih terus kuat membuat jantung bergetar dan badan keluar peluh dingin karena ia merasa mobil tidak berhenti tapi terus melaju. Ternyata memang Heru diteror mentalnya dengan mobil itu melaju berputar-putar mengelilingi pinggiran luar kota sampai dini hari. Pas waktu Subuh Heru diturunkan dan dihadapkan pada salah satu bos preman di Jogja (TJ). Apa ini hanya semacam teror atau sebetulnya target penculikan yang berubah operasinya, waktu itu sampai beberapa minggu berikutnya masih misteri. 

Waktu itu teror tampaknya sudah direncanakan meluas sampai kampus-kampus lainnya di Yogyakarta  atau ke tokoh aktivis-aktivis yang lain di luar Kampus Putih. Sempat saya mendengar kawan Afnan Malay pada bulan-bulan itu juga  kecelakan sepeda motor yang lebih sebagai operasi kesengajaan oleh satu genk. Demikian juga rumah kontrakan Thoriq pernah disatroni oleh beberapa orang misterius berambut pirang dan cepak.

 Atas banyak kejadian teror itu beberapa dari kami  kadang hinggap juga rasa khawatir. Namun biasanya kami mencoba meyakinkan diri saja untuk sumeleh dan mencoba sedikit tenang. Dan ada sisi yang kami  coba  melihatnya secara berbeda. Bahwa kekerasan dan teror yang berulang atau dipakai sebagai satu cara rezim, maka  sesungguhnya rezim kha’ kho’ lam mim dan nun itu sesungguhnya sudah menggali makamnya sendiri. Dan setiap jalan kekerasan yang dianggapnya akan memperkuat kuasa tirani nya, itu  sesungguhnya juga permulaan rezim  meminum racun sedikit demi sedikit menjadi  jalan pasti pembusukkan kuasanya. 

Pembredelan Majalah Arena Edisi tahun 1993 

Dengan gerakan mahasiswa yang makin meluas dan terkonsolidasi, isu dan atau wacana kritik terhadap rezim Orba juga makin menguat. Salah satunya adalah terkait isu ekonomi politik rezim Orba. Namun, isu di aspek bisnis ekonomi ini tampaknya juga hanya masih sayup-sayup terdengar.  Dan anehnya, justru sebagian besar elit politik menjilat dan membanggakan bahwa taraf kemajuan politik ekonomi negeri Indonesia sebentar lagi akan menjadi ‘Macan Asia’. 

Selain ilusi Macan Asia, ada juga gembar-gembor terkait suksesnya pembangunan dengan capaian  swasembada beras waktu itu. Walau memang sementara ada jaminan dari kelangkaan beras. Namun, capaian ini juga masih jauh dari jaminan kemakmuran petani secara keseluruhan, apalagi pemerataan ekonomi rakyat. 

Padahal sudah muncul juga kritik bahwa struktur ekonomi negeri ini, waktu itu, sebetulnya akarnya rapuh. Dan kerapuhan sistem ekonomi tersebut akan dengan mudahnya membawa negeri ini jatuh pada krisis jika ada terpaan ekonomi dari luar. Karena bisnis ekonomi yang besar tersebut sesungguhnya didasarkan pada pemberian konsesi dan fasilitasi pada hanya pengusaha  yang dekat penguasa. Bahkan  juga sarat kolusi kronisme dan nepotisme dari Keluarga Cendana sendiri.

Cukup kentara sekali –proses pertautan rente antara penguasa-pengusaha— dengan  ditetapkan kebijakan semisal monopoli cengkeh lewat BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh) pada tahun itu. Ajaibnya, walaupun merupakan lembaga negara, namun ada Tommy Soeharto di sana. Badan ini  dibentuk oleh Presiden Soeharto, dengan Keputusan Presiden Nomor 20 disambung dengan Instruksi Presiden Nomor 1 yang dirilis pada 1992 yang mengantongi berbagai hak istimewa yang sebenarnya lebih memperbesar keuntungan pengusaha yang masuk karena kronisme dan nepotisme.

 Saat itu perlakuan istimewa ekonomi kelas menengah ekonomi yang tidak fair itu mulai dikenal juga  dengan namanya, proses konglomerasi. Dan tragisnya, tampak sudah ada pemusatan kekayaan ekonomi pada segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa. Dimana bisnis-bisnis besar hasil kronisme ini semisal di bisnis pertambangan adalah juga bisnis yang tidak ramah lingkungan.

Strategi ekonomi politik dengan mengandalkan apa yang disebut triclke down effeck adalah tetesan yang belum atau bahkan tak pernah sampai pada pemerataan ekonomi. Jalannya bisnis yang terjadi kemudian adalah  tidak sehat dan menabrak fairness, karena bisnis yang berkembang adalah hasil kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha. Dan keadilan ekonomi masyarakat sebetulnya masih jauh panggang dari api. 

Sekali lagi karena proses-proses bisnis besar ekonomi di banyak bidang yang menyangkut hajat besar kebutuhan rakyat, dicirikan dengan adanya operasi kronisme dan penyelewengan kekuasaan untuk kepentingan ekonomi pengusaha yang dekat penguasa, pun juga keluarga Cendana. 

Arena dibredel jelas karena perspektif kritis ini dan juga menjadi sangat  sensitif ketika disebut pada Laput Majalah Arena Edisi 1993, terkait  tentang pengambilan kepentingan yang besar pada Keluarga Cendana dalam “Bisnis di Kekuasaan”. Walaupun kiranya proses pembuatan laput majalah Arena pada edisi tersebut juga sudah berusaha untuk cover both side

Di edisi ini Arena lewat redakturnya Achadi sudah mencoba mewawancarai secara eksklusif Menteri Ekuin Radius Prawiro yang kebetulan saat itu hadir dalam kegiatan Kopma IAIN Sunan Kalijaga.  Sensitivitas bahwa Soeharto sebagai presiden bapak pembangunan yang nir-kesalahan dari kebijakannya, waktu itu, menjadi tonggak-tonggak utama yang mesti dipegang semua birokrasi di semua lini termasuk birokrasi kampus. 

Karena  itu mudah diduga, majalah Arena edisi 1993 itu kiranya harus dibredel oleh rektornya sendiri. Dan represifitas  lembaga-lembaga untouchable dan kejam semacam Bakorstanas yang seringkali memakai pendekatan keamanan  sebagai bagian dari  ciri rezim Orba dalam menangani kritik atau aspirasi, jelas memiliki peranan besar dan kuat dalam pembredelan Majalah Arena kala itu.

Tahun 1993 seolah musim bredel mulai  tiba. Lebih dari lima  majalah di kampus di wilayah-wilayah lain juga mengalami hal yang sama. Seperti pada majalah ‘vokal’ IKIP PGRI Semarang, ‘sas’ Universitas Jember dan majalah Dialogue  FISIP Unair, Majalah Fokus dan Equilibrium  Fak. Ekonomi Udayana Bali.  Ketika pers mahasiswa dibredel oleh rektornya jaringan persma sudah mulai ada tradisi untuk menyatakan solidaritasnya dengan mengirim statemen atau surat yang isinya statement kecaman protes kepada pihak yang membredel dalam hal ini biasanya surat itu dialamatkan ke pihak rektorat. 

Tentu saja Arena saat dibredel juga mendapat surat tembusan dari berbagai persma di seluruh Indonesia yang cukup bergelombang. Saya kira waktu itu juga bukan saja dari kawan mahasiswa  pegiat pers mahasiswa, tapi juga dari senat mahasiswa yang sudah mulai bangkit tahun-tahun itu.  Kalau dokumen dokumen ini ditemukan mungkin bisa jadi arsip yang menarik. Tapi saya juga gak tau itu dimana arsip dokumen semuanya itu. Selain bentuk surat protes dan dukungan solidaritas saat itu juga banyak teman aktivis gerakan mahasiswa yang langsung datang ke kantor Arena, atau saat momen pada aksi tolak pembredelan. 

Yang jelas memang sebelum ada aksi solidaritas dan tolak pembredelan majalah Arena, beberapa negosiasi kita tempuh dengan pengurus Arena menemui pihak rektorat. Dalam pertemuan itu yang difasilitasi oleh SMI, yang waktu itu ketuanya Ngatawi Sastro. Kami meminta untuk mencabut surat pembredelan itu dan menyarankan agar pihak rektor kalau merasa keberatan dengan isi laporan Arena dipersilahkan untuk mengirim surat pembaca di Arena, dan atau kita berharap mestinya rektorat mempergunakan hak jawab saja yang itu akan kami sediakan dan kami muat di halaman majalah kami di edisi berikutnya. Tapi pertemuan itu  tetap tidak terjadi titik temu selain jalan pembredelan yang tampaknya ada represitas dari pihak lain di luar kampus (Deppen prop DIY dan Bakostranasda).

Jalan buntu itu akhirnya berujung pada aksi besar yang dipelopori pengelola Arena, KMPD pengurus senat institut maupun aktivis organisasi ekstra kampus, dan juga banyak sekali dari komponen mahasiswa yang ada di Kampus Putih. Walau tetap ada  satu tokoh komponen mahasiswa yang tampak memihak rektorat. 

Aksi massa itu sendiri bertajuk “Pembongkaran Represifitas Dalam Kampus: Tolak Pembredelan Majalah Arena” yang dilaksanakan di halaman depan tangga masjid, pada waktu cukup pagi tanggal 2 Juni 1993, bersamaan ada hari  tes ujian semester di banyak semua fakultas yang ada di kampus. Yang menarik dari aksi yang begitu banyak melibatkan komponen dan juga kejadiannya di waktu yang bertepatan dengan tes ujian semester ini tidaklah mengurangi akumulasi dan konsentrasi peserta aksi mahasiswa yang terus bergelombang di tengah orasi para orator yang tampil. 

Kebetulan pada hari aksi, tes ternyata ditunda dan di luar dugaan ternyata menggembirakan banyak mahasiswa itu sendiri sehingga konsentrasi mahasiswa semakin banyak di tengah aksi.  Mungkin awalnya banyak mahasiswa tadinya hanya ingin memastikan hubungan penundaan tes  itu dengan aksi solidaritas Arena itu. Namun sekali lagi aksi solidaritas ini tampak mendapat penerimaan dan dukungan luar biasa besar dan kuat dari mahasiswa Kampus Putih sendiri. Penundaan tes diketahui karena ternyata terkait juga dengan adanya beberapa ruangan yang tidak dapat dipake karna lobang kunci pintu ruangan tidak dapat dibuka karena tersumbat oleh alteco. 

Saya kira dari segi jumlah massa,  aksi solidaritas Arena ini adalah terbesar kedua setelah aksi golput 1992 di Kampus Putih. Dan ini juga jangka aksi terlama karena siangnya ba’da dhuhur aksi terus berlanjut dengan pendudukan ruang rektorat selama lebih dari seminggu. Bahkan kalau gak salah ingat pendudukan itu tepatnya sampai  dua belas hari (2 – 14 Juni 1993). 

Di sini tentu tak bisa dilupakan peran para “talent -improvisation-improvisator”  nya antara lain Eman Hermawan dan Damerin Nasution (keduanya sudah alm). Beberapa mobil di ruang rektorat digembosi dan  beberapa ruangan fakultas sebelumnya juga digemboki dari luar dan lubang kuncinya dikasih lem alteco. Sama sekali tak ada kekerasan dalam aksi besar dan sangat menghebohkan ini. 

Seingat saya kemudian banyak media berani memuat berita tentang aksi heboh ini.  Majalah Tempo  juga membuat liputan khusus tentang aksi solidaritas Arena ini. Dan sudah biasa juga BBC London menyiarkan liputan wawancara langsung dengan tim aksi  via  sambungan telepon yang biasa kita ‘dipinjami’ dari telepon keluarga (alm) Mas Fajrul Falah di Colombo, Sagan, Yogyakarta. Secara umum aksi spontan ini memang berusaha menekan Rektorat yang waktu itu dijabat Dr. Simuh untuk mencabut surat pelarangan itu. 

Situasi aksi solidaritas dan tolak pembredelan ini sangat jadi virallah kalau sekarang istilahnya. Dan tercatat  gelombang dukungan solidaritasnya juga sangat luar biasa. Aksi ini berujung dengan ditangkapnya lebih lima belasan mahasiswa di situ termasuk PU-Pemred dan jajaran pengurus Arena, KMPD, dan tokoh tokoh aktivis organisasi ekstra, serta juga termasuk Ketua Senat Mahasiswa Institute Ngatawi Sastro. Mereka digelandang dan dimasukan truk menuju Polwil Yogyakarta.

Pasca imbas pembredelan Arena 1993 karen memuat kebusukan bisnis kroni dan keluarga Cendana di kekuasaan, pergaulan saya dengan teman-teman sudah mulai berkurang, terutama dalam konteks harapan adanya semacam ‘rekonsiliasi’ dengan prasyarat absennya saya dalam kebijakan redaksional. Namun, majalah Arena dapat terbit dengan sokongan dana dari pihak rektorat. Negosiasi itu agaknya susah mengalami titik temu karena teman-teman Arena tetap bersikukuh dengan prinsip untuk terbit tanpa ‘dipaksa’ untuk menerima campur tangan redaksional oleh pihak rektorat. 

Dalam proses mempertahankan idealisme inilah saya melihat temen-temen pengelola Arena (di bawah pengurus darurat setelah saya), dan juga pengelola (sekoci) baru begitu luar biasa. Tanpa ketergantungan dari pihak rektorat, akhirnya kru Arena dengan sekoci baru itu mampu menerbitkan majalah atau tepatnya newsletter dengan biaya mandiri dan bantingan yang diberi nama Slilit. Pada proses penerbitan newsletter Slilit ini saya mendengar peran kru-kru Arena semuanya dibawah arahan Mukhotib MD memang penuh semangat; dan adalah bagian yang penting atas terbitnya suatu aspirasi di tengah nasib Arena yang dikebiri pendanaannya.

Di era menjelang reformasi dan awal awal setelah reformasi saya tak banyak mendengar kabar temen-temen secara detail karena saya sudah coba ngumbora  pindah ke Jakarta, tepatnya pada awal tahun 1996 .  Saya hanya mendengar- sebagaimana di tempat lain, aktivis Arena juga KMPD tetap bergerilya dalam jurnalisme pergerakan mahasiswa dan  memenuhi tulisan tulisan dlm selebaran demonstrasi sampai puncaknya di aksi reformasi 1998 sejuta massa di alun alun utara Kraton Yogyakarta.

Paska reformasi, dinamika kelembagaan Majalah Arena tampak mulai bergeliat dan kembali eksis. Hal ini bukan saja karena nama besar majalah Arena yang melegenda dengan peran yang dimainkan sebagai kancah pemikiran dan aksi alternatif (sesuai logonya) pada masa sulit di bawah rezim otoritarian.  Namun, tampaknya tempaan di masa masa sulit itu juga melahirkan kru atau pengelolanya menjadi jurnalis muda yang kritis dan memiliki semangat berproses di dunia media yg lebih luas dan genre jurnalisme yang mulai berkembang dengan kemajuan IT seperti internet. 

Dengan kesiapan mental semacam  inilah kru majalah Arena banyak mengisi dan juga berbagi pengalaman dengan sesama majalah mahasiswa maupun pers umum  dalam event-event level nasional. Dalam konteks inilah saya mendengar beberapa crew Arena terpilih mengikuti workshop dan magang di Tempo Interaktif selama tiga bulan di Jakarta. Ini merupakan kegiatan workshop sekaligus magang dengan jangka waktu yang cukup lama dan berkelanjutan.  

Dan mungkin dapat digaris bawahi; bahwa nama besar Arena bukan hanya karena majalahnya selalu mewakili keberanian dan kekritisan pengelolanya yang hidup  pada zamannya. Namun, lembaga yang menerbitkannya  juga menyediakan ruang dan tumbuhnya  komunitas pers mahasiswa, hingga jadi jurnalis cum aktivis mahasiswa. Pada masa kuat-kuatnya regimentasi  orde baru (1987-1997) yang otoritarian, Arena melalui konsolidasi presma dan  liputan dan aksi solidaritasnya atas korban di kasus-kasus konflik dampak pembangunanisme, ikut melahirkan embrio gerakan mahasiswa akhir 80, dan terus berlanjut sampai angkatan 90-an sebagai dapur dan motor dari “tiada hari tanpa aksi di kampus putih” sampai peristiwa  reformasi 1998 . Arena sejak angkatan Mas Imam Aziz memang memilih rute gerakan mahasiswa “perlawanan (anti) orde baru”. 

Generasi baru Arena tidak harus mengambil posisi sama seperti dulu Arena di masa otoritarian. Generasi baru sekarang, ya silahkan kalian pilih jalan sendiri. Saya kira di tengah kemajuan teknologi informasi, utamanya di bidang media menghadapi tantangan yang lumayan berat. Pekerjaan rumah kita masih banyak. Yang penting  bagi aktivis mahasiswa jangan berhenti untuk berpikir dan bergerak. 

Di konteks yang lebih luas sebagai bangsa kita juga kehilangan konsep kemajuan setelah merdeka, yang kemudian sempat bergerak ngotot atas ide dan pikiran sendiri-sendiri dan bahkan sekarang tampaknya malah belum ada konsep yang utuh ke depan; tetapi hal kontestasi ini tidak apa apa. Bagi saya, yang penting mahasiswa sebagai kelas terdidik –tetap jaga  gerak itu dan saling terhubung. Dirgahayu Arena ke 50.

*Pemimpin Umum Majalah Arena (th 1992-1994). Sebelumnya pernah Ka Litbang Arena  dan Redaksi (1988-1991)  Untuk kontak dpt melalui email: a.s.burhan.f@gmail.com  | Foto Dokumentasi Pribadi