Home MEMOAR Bahagia Menganyam Besek

Bahagia Menganyam Besek

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ach. Nurul Luthfi*

Geografi di Desa Wadas yang berada di perbukitan ditambah musim hujan membuatku mengurungkan niat mandi di pagi hari. Bukan apa-apa, badanku yang tidak berisi memang tidak kebal kedinginan. Kalau pun dipaksa mandi, aku harus menggigil sambil berjemur setelahnya.

Aku cuma cuci muka dan gosok gigi sepanjang hari. Menjelang petang, Bu Ningsih, warga Wadas, menyiapkan makanan untuk aku, dan teman-teman dari Yogya.

Bu Ningsih nampaknya tahu, air Wadas yang dingin tidak bisa dipakai semua orang buat mandi. Apalagi buat orang baru seperti aku.

Dia menawarkan air hangat yang memang khusus dia masak untuk bahan campuran air di kamar mandi. Rumahnya di sebelah rumah penginapanku dan aku mengekor di belakangnya menuju rumahnya.

Ada tumpukan bambu yang dipotong tipis-tipis dan berukuran pendek panjangnya sekitar 50 sentimeter. Di sebelahnya juga terdapat anyaman bambu. Di antara anyaman itu ada yang masih dalam proses pengerjaan, ada pula yang sudah siap jual. Itu menjadi perhatianku saat pertama kali melewati dapur Bu Ningsih.

Namanya besek, kerajinan tangan warga, khususnya Ibu-ibu Wadas untuk menambah penghasilan tambahan selain bercocok tanam di sawah.

Selesai mandi dengan tambahan air hangat, aku menghampiri Bu Ningsih yang sedang menganyam besek. Keliatannya gampang melihatnya menganyam dengan cepat dan tanpa kesulitan. Ternyata tidak.

Sebelum memulai menganyam bambu yang rumit itu, banyak istilah dalam kerajinan besek yang perlu diketahui. Sebut saja, bambu tipis-tipis yang kuceritakan tadi disebut iritan, terbuat dari bambu apus.

Iritan itu lantas dianyam menjadi sebuah kerangka yang disebut wiwitan, kemudian dianyam lagi menjadi alas utuh bernama eblean. Terakhir, alas utuh itu dibuatkan sisi-sisi di kanan dan kirinya lalu dirapikan. Seusai tahap terakhir ini, anyaman tersebut menjadi buconan. Setelah melalui tiga tahap anyam-menganyam tadi barulah kerajinan itu bisa dinamakan besek.

Selain aku harus mengingat istilah itu, ternyata ada rumus-rumus untuk mengayamnya. Tidak segampang yang aku pikirin ketika lihat Bu Ningsih mengayam.

“Ambil satu, tinggal dua, dan ambil dua,” ujar Bu Ningsih saat mengajariku mengayam. Angka-angka yang ia sebutkan adalah petunjuk buatku, agar aku tahu mana bagian yang harus dianyam dan mana yang tidak.

Simbol-simbol rumus itu biasa disebut simbol kembar dan tunggal (melik). Ketika sudah menjadi besek, motif bambunya akan terlihat rapi.

Bu Ningsih mulai membuat besek di Wadas sejak 27 tahun silam. Dia berasal dari Semarang, tapi setelah menikah dengan salah seorang warga di desa itu, dia ikut suaminya menetap di Purworejo.

Dibantu suaminya, dia bisa mengahasilkan sekitar lima pasang besek. Satu bundle yang berisi lima pasang itu biasanya dihargai delapan ribu rupiah dan dijual ke pengepul di desa itu.

Katanya, besek hasil kerajinan tangan desa Wadas disalurkan ke kota-kota sebelah seperti Yogyakarta dan Megelang. Multifungsi memang, bisa untuk wadah bagi penjual burung atau bungkus aneka kue ketika acara selamatan atau pernikahan.

Bu Ningsih menunjukkan lahan dibelakang rumahnya yang dipenuhi bambu apus, petong dan berbagai tanaman lainnya. Bambu dan pohon-pohon itu yang menahan rumahnya untuk tidak longsor karena rumahnya ada di tengah-tengah bukit Wadas.

Dia tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau lahan dibelakang rumahnya itu ditambang untuk diambil batuannya sebagai bahan pembuatan Bendungan Bener. Pastinya, semua pepohonan itu akan dihilangkan.

Tidak hanya sebagai penopang rumahnya agar tidak longsor, tapi bambu itu juga Bu Ningsih dapat membuat besek untuk menghidupi ketiga anaknya. Anak pertamanya sedang menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta, sementara anak kedua sedang mondok di sebuah pesantren di Semarang. Anaknya yang terakhir masih kelas tiga sd.

Profesi utamanya sebagai petani dengan ditopang oleh hasil bikin besek sudah membuatnya bersyukur dan merasa cukup. Sekuat tenaga dan apapun alasannya, dia dan keluarganya menolak penambangan batu andesit di Wadas. Tidak hanya dia yang akan kehilangan tanah dan bahan membuat besek. Di sepanjang jalan Wadas berjejeran iritan bambu yang dijemur untuk dibuat Besek. Katanya, hampir seluruh ibu-ibu di Desa Wadas atau bahkan Kecamatan Bener membuat besek sebagai pemasukan tambahan.

*Suka hal-hal baru apalagi travelling, entah kemana yang penting jalan dan ada temannya. Sekarang sedang bergiat di LPM Arena sebagai pembantu umum.