Oleh: Atikah Nurul Ummah*
Lpmarena.com-Sore itu, setelah salah naik busway lalu tersesat selama dua jam, saya akhirnya tiba di sebuah rumah berpagar kayu dan beton tinggi di Jakarta Timur. Seekor anjing menggonggong menyambut kedatangan saya dan kawan-kawan. Seorang pemuda di halaman rumah itu mempersilakan kami masuk.
Dari kejauhan, tampak lelaki jangkung mengenakan setelan kemeja lorek biru sedang duduk di kursi kayu. Rambut putihnya menandakan usia yang telah melewati berbagai rupa dan warna-warni kehidupan. Ia sedang diwawancarai seorang wartawan. Tak lama kemudian, lelaki itu mempersilahkan kami untuk duduk.
Namanya Martin Aleida, seorang wartawan cum sastrawan yang pernah mendekam dalam Kamp Konsentrasi Operasi Kalong di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Ia digiring ke kamp karena dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dituduh sebagai dalang pembunuhan para jenderal (G30S).
Matanya berkilat saat menceritakan kejadian lima puluh enam tahun lalu, satu malam yang membawanya menjadi bagian dari ratusan orang terkurung dalam sel-sel: Disiksa dan dibunuh tanpa dasar, tak dapat keadilan. Martin menyaksikan langsung tentara yang menyiksa tahanan politik semena-mena.
“Keadaan saat itu, kacau,” ujarnya.
Tepatnya 21 Oktober 1966, Martin baru pulang kerja membawa gaji pertamanya sebagai kuli. Ia menenteng kresek berisi lima puluh tusuk sate untuk dibagikan kepada teman-temannya. Ia tak menyangka setelah pesta sate berakhir, tentara menyeretnya ke tempat gelap yang penuh penyiksaan di sana-sini.
Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan newnaratif.com, Martin mengenang malam itu, “Pada perjamuan terakhir di Mangga Besar ini, tak ada setetes pun anggur merah dan roti, walau hanya remahnya. Yang ada cuma Putu Oka dan orang-orang yang dia berikan perlindungan serta 50 sate yang tinggal bambu penusuknya.”
Sejak malam itu dan malam-malam berikutnya, Martin seperti hidup dalam mimpi buruk yang entah kapan berakhir. Kekerasan tentara menjadi makanan sehari-hari. Ia melihat kawannya dicambuk dengan ekor ikan pari, hingga kulit dan darah menempel di bajunya. Sebab itu, kebencian Martin terhadap aparat dan negara yang menghakimi sepihak korban G30S kian menggumpal.
Martin bebas setelah delapan bulan. Ia menjadi orang terakhir yang bebas di antara teman-temannya. Sampai di luar sel, ia mendapati dunia yang sepi: Tak tersisa satupun kawannya.
“Saya berjalan menyusuri rel, melewati jalan sepanjang Rumah Sakit Carolus. Saya merasa sangat sedih hari itu. Tidak ada kawan,” kenangnya.
Ia perlahan bangkit sembari menyesap pahitnya hidup. Martin kembali menulis, menjadi wartawan, juga menikah dengan Sri Sulasmi, kekasih yang bertemu dengannya sewaktu mendekam di kamp. Martin dan Sri menikah di Solo.
Ia menulis buku berjudul Romantisme Tahun Kekerasan, berisi memoar tentang perjalanan hidupnya, saat ia menghabiskan hari-hari di kamp serta upayanya bangkit setelah peristiwa itu. Martin juga menyisipkan kehampaan yang ia rasakan setelah keluar dari kamp.
“Berdiri di tepi Jalan Thamrin, saya merasa seperti memasuki sebuah kamp konsentrasi yang lebih besar. Sebuah penjara tak bertepi, di lengkung langit. Karena saya yakin tak seorang kawan pun yang tertinggal di dunia bebas ini. Semua sudah diringkus sampai timpas,” tulisnya.
Petang hampir datang, saya pamit undur diri bersamaan ketika istrinya muncul dari balik pagar. Baju dan tangan Sri penuh tanah liat. Saya baru sadar, barangkali patung-patung di rumah itu dibuat oleh tangan-tangan istrinya. Keduanya melepas kepergian saya dan kawan-kawan penuh kehangatan. Mata keduanya berbinar menampakkan kasih sayang sebagai seorang pasangan yang telah melewati banyak hal dalam hidup. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada kami
“Mampir lagi, ya, kalau ke Ibu Kota.”
*Gadis muda yang mendambakan kasih sayang dalam hidupnya juga untuk semesta. Suka bakso, kadang menulis, sesekali menangis. A luta continua. | Ilustrator Surya Puja