Home MEMOAR Buah Tangan dari Buru: Kisah, Tanya, dan Harap

Buah Tangan dari Buru: Kisah, Tanya, dan Harap

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Aulia Iqlima Viutari*

Vina Panduwinata boleh saja melantunkan lagu September Ceria dengan merdu. Orang-orang juga bebas saja menyanyikanya dengan riang gembira. Di antara bulan lain, September mungkin menyimpan begitu banyak ingatan menyenangkan bagi mereka. Namun, tidak bagi saya. Akhir-akhir ini, di bulan September, saya justru lebih sering memutar ingatan-ingatan lain. Ingatan pilu.

Siapa yang tidak tahu hari peringatan G30S/PKI? Sedari sekolah dasar, bahkan saat lebih muda lagi, kita sudah dicekoki peringatan itu. Upacara pengibaran bendera setengah tiang di pagi hari, menonton film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI di malam hari, lalu mengulasnya di buku tugas sekolah esok harinya. Tak luput, guru mata pelajaran IPS bercerita bagaimana anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) membunuh jendral dan perwira TNI secara keji serta membeberkan rentetan dosa-dosa lainnya.

G30S/PKI kemudian ‘dirayakan’ sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Monumen Pancasila Sakti dibangun lalu menjadi salah satu destinasi wisata ketika saya study tour dulu. Lubang Buaya dan Rumah Penyiksaan menjadi spot paling ramai dikunjungi. Ada juga museum tempat pengunjung dapat menyaksikan diorama yang menggambarkan PKI menyiksa anggota TNI.

Rangkaian kegiatan itu seolah-olah menjadi tradisi yang wajib dilakukan apalagi di bulan september. Hingga saya duduk di bangku sekolah menengah atas, narasi sejarah itu tetap tidak berubah. PKI bersalah.

Peristiwa 30 September 1965 mengundang amarah TNI dan segera mereka menumpas seluruh anggota, kroni, serta siapapun yang ‘berbau’ PKI. Dari beberapa sumber yang saya baca, sekitar 70.000-300.000 orang dibui hingga dibunuh dalam kurun waktu 1965-1966. Pembersihan ini kemudian dicatat sebagai pelanggaran HAM berat 1965 oleh Negara.

Semasa kuliah, terkadang saya mengikuti berbagai macam diskursus tentang kronik sejarah tahun 1965. Berbagai perspektif saya dapatkan di sana. Namun, ketika September tiba, jarang sekali ada diskusi membahas pelanggaran HAM berat 1965 oleh Negara. Mereka hanya membahas yang ada di permukaan, tidak secara mendalam. Lagi-lagi saya merasa stuck dan tidak menemukan apa yang selalu saya pertanyakan: bagaimana cerita-cerita dari sudut pandang ‘mereka’ yang diasingkan?


Rasa penasaran menuntun saya mengarungi lautan luas, hingga akhirnya mengantar saya tiba di Pulau Buru. Bagi saya, salah satu jalan menemukan kebenaran sejarah yang tidak ada dalam teks adalah bertemu langsung dengan saksinya. Dan di Pulau Buru saya bertemu mereka, eks tapol tahun 1965.

Bulan itu September yang kelabu. Kapal Feri berangkat pukul 19.00 WIT dari Pelabuhan Ferry Halong, Sirimau, Ambon. Butuh waktu tempuh sekitar sembilan jam untuk sampai dan sandar di Pelabuhan Namlea, Pulau Buru. Satu jam setelah sandar, saya turun dan melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum menuju Desa Savanajaya.

Jika dibandingkan dengan tahun 1965, tahun di mana para tapol dibuang, waktu perjalanan yang saya tempuh jauh lebih singkat. Harto Wiyono, salah satu eks tapol bertutur, selama tujuh hari tujuh malam ia terombang-ambing di lautan, entah berada di mana, entah akan dibawa ke mana. Kapal Adri XV yang mengantarnya dengan kaos coklat bernomor 2170 melekat di tubuhnya.

Sebelum disulap menjadi lumbung pangan Maluku, 53 tahun yang lalu, Pulau Buru ditumbuhi tanaman liar, lembab, gelap, dan dingin. Jauh di pandangan mata, tidak terlihat rumah untuk ditinggali ataupun gubuk untuk ditiduri. Hanya hutan lebat. Bagaikan gulma, Harto dan 13.000 tapol lainnya menjadi tanaman yang tidak diinginkan. Harus dimusnahkan atau dibuang jauh-jauh. Dan Pulau Buru, menjadi wadah gulma-gulma itu.

Pria kelahiran 1948 yang bersekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM) di Manahan, Solo semula hanya ingin belajar dan mempunyai ruang diskusi. Ia kemudian memilih Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) sebagai tempat belajar. Tidak ada tema diskusi atau pembahasan yang mengancam keamanan negara di sana.

“Daerah saya itu jauh dari Jakarta. Ada isu PKI membunuh jenderal, jenderalnya saja saya enggak tahu siapa, tahu-tahu ditangkap.” ungkap Harto.

Harto mulai masuk bui pada awal tahun 1965. Mula-mula ia dimasukkan ke kamp daerahnya di Karanganyar, Solo selama empat tahun (1965-1970). Setelahnya ia dilempar menuju bui di Nusakambangan selama empat bulan, barulah kemudian dikirim ke Pulau Buru.

Saat pembebasan tiba di tahun 1979, Harto mengaku ditawari untuk kembali ke Pulau Jawa. Namun, ia memilih untuk menetap di Pulau Buru bersama 209 tapol lain di saat ribuan orang memilih untuk hengkang dari pulau pengasingan itu.

Terkadang Harto merasakan kerinduan pada kampung halaman. Namun, sejak menginjakkan kaki di Tempat Pemanfaatan (Tefaat) Pulau Buru, ia sudah tidak tahu di mana keberadaan keluarganya. Yang ia tahu, keluarganya sudah tercerai-berai ditangkap aparat akibat tudingan yang sama, aktif dalam organisasi underbow PKI.

Walau begitu, Harto tidak pernah merasakan kesedihan mendalam karena tidak pernah bertemu keluarganya selama 60 tahun.

“Ingin mencari ketenangan,” tuturnya.


Peristiwa G30S/PKI memang mengguncang seluruh elemen masyarakat. Ditambah narasi Orba yang dominan terkait kekejaman PKI dan simpatisannya yang mempengaruhi persepsi masyarakat. Hingga saat ini, narasi yang terus digaungkan oleh pemerintah tak pernah copot dari memori masyarakat. Yang tersisa kini hanya ketakutan bangkitnya kembali partai komunis itu.

Sudah 57 tahun pelanggaran HAM berat ini terjadi, namun negara tidak kunjung hadir untuk meluruskan sejarah. Tentu ini berkaitan erat dengan munculnya Rezim Orba. pengkambing-hitaman PKI sebagai dalang pembunuhan jenderal dan pelaku kudeta adalah langkah pertama.

Salah satu eks tapol yang pernah saya temui di Jogja bertanya dengan logika anak kecil, “Apakah bisa PKI membunuh jenderal? Kawasan rumah Jenderal pasti dijaga ketat, toh? Tapi kenapa PKI yang disalahkan? Mengapa tanpa basa-basi pimpinan PKI langsung dibunuh dan tidak diadili secara hukum terlebih dulu?”

Permainan logika yang cukup sederhana tapi jika dipikir-pikir lagi, memang masuk akal.

Upaya terakhir yang dilakukan negara adalah melakukan Simposium Nasional 1965 di bulan April 2016. Harapan besar mulai muncul saat dialog terbuka itu diadakan dan keadilan transisi segera diberikan oleh negara.

Sudah enam tahun Simposium itu berlalu. Namun, apa saja tindak lanjut negara setelah Simposium 65 diadakan? Walau telah muncul inisiatif negara untuk meminta maaf dan mencoba untuk mempertemukan penyintas di satu wadah, negara tetap terlihat enggan untuk mengusut tuntas genosida tersebut secara substansial dan menyelesaikannya secara struktural di hadapan pengadilan.

Saya pikir, kita semua perlu mendesak pemerintah untuk melakukan klarifikasi sejarah. Sebab, sejarah Indonesia selalu dibangun dengan monolitik dan mental sejarah Orba masih tetap hidup.

Tidak ada yang berubah: Strukur orba masih dilanggengkan; diskriminasi penyintas dan keturunannya masih ada; upaya rekonsiliasi belum maksimal. Padahal, Orba merupakan orde gagal yang kemudian dijatuhkan lewat reformasi. Apakah reformasi juga bisa dikatakan gagal ketika keadilan untuk penyintas tak kunjung hadir?

Di sisa-sisa usianya, para eks tapol ini berharap dapat menjadi warga negara yang diakui secara penuh dengan pemulihan nama baik tanpa diskriminasi serta mendapat pemulihan fisik maupun mental. Bagi segelintir orang mungkin hal ini sepele, tapi bagi mereka pemulihan ini adalah salah satu cara agar bisa melanjutkan hidup bersama anak cucunya sebagai manusia merdeka.

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga yang mentahbiskan diri sebagai Pembantu Umum LPM Arena | Ilustrator Surya Puja Kelana