Oleh: Astri Novita*
Hari itu langit Jogja tak begitu kelabu. Aku dan seorang kawan berencana pergi ke Wadas. Sepanjang perjalanan, kami mendapati cuaca tak karuan. Sesekali mendung, cerah, lalu kami sempat diguyur gerimis. Begitu pun barangkali suasana hati warga, serta siapapun yang tak ingin ada perampasan tanah dalam bentuk apapun.
Sebab rencananya, hari itu akan diadakan audiensi di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mempertanyakan kejelasan surat pemberitahuan yang bertendensi ancaman konsinyasi kepada warga. Bertepatan dengan itu juga akan dilaksanakan Mujahadahan—kegiatan rutin keagamaan warga.
Kami melewati jalan yang biasa disebut temanku dengan jalan ‘Cikalan’. Jalan itu sempit dan berkelok-kelok. Hatiku ciut melewatinya berboncengan. Meski pada akhirnya temanku memutuskan turun di tengah jalan. Aku pun menyetir dengan begitu pelan dan penuh kehati-hatian, maklum saat itu jalanan setengah basah, takut terpelincir.
Sekitar pukul sebelas siang, kami sampai di tugu perlawanan Wadas, Randu Parang. Terlihat warga sudah berkumpul untuk bersiap-siap melakukan Mujahadah di Balai Rakyat. Sebagian, kulihat warga bersiap-siap naik mobil dan motor untuk menuju ke kantor BPN Purworejo.
Aku pun bergabung dengan warga ke BPN. Kabar sempat simpang siur kala itu. Dalam perjalannya, kami mendapat kabar bahwa audiensi di daerah Lengkong, Purworejo. Namun setelah beberapa menit sampai, kami mendapat info audiensi dilakukan di kantor BPN lama yang berada di Plaosan. Tanpa pikir Panjang rombongan segera bertolak ke sana.
Tepat tengah hari kami sampai, beberapa warga terlihat sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari wartawan. Mereka didampingi kawan-kawan LBH Yogyakarta yang tak berselang lama juga baru sampai. Aku melihat jam pada layar ponsel. Kabarnya audiensi akan dimulai pukul setengah satu.
Kami bersiap menuju ruang audiensi seperempat menit sebelumnya. Di ruangan itu sudah tampak kepala BPN, Kepala Desa Wadas, pegawai Badan Balai Wilayah Sungai (BBWS), aparatur negara dan beberapa wartawan. Aku duduk sembari menanti audiensi dimulai. Tepat pukul 12.25 WIB, audiensi dibuka. Andri Kristanto, selaku ketua BPN Purworejo membuka audiensi dengan sambutan dan mempersilakan warga Wadas menyampaikan keresahannya.
Sudiman, ketua Gempa Dewa merespon dengan melempar dua poin pertanyaan: perihal kejelasan surat pemberitahuan konsinyasi dan kredibilitas data lahan tersisa. “Kami ingin tahu berita yang sebenarnya terkait lahan, kenapa di pemberitaan dikabarkan sisa 8 bidang padahal faktanya masih 100 bidah lebih, itu meresahkan warga,” tegas Sudiman.
Andri langsung menanggapi pertanyaan Sudiman terkait ketidaksinkronan data tersebut. Ia berdalih pengukuran dilakukan sewaktu penetapan lokasi (penlok) belum terukur. Dari 8 bidang akan berubah sesuai kondisi lapangan, begitu katanya. Selain itu, Hery Prasetyo dari pihak BBWS juga mengatakan bahwa data sisa lahan sejumlah 8 bidang yang tersebar di media pemberitaan belum final. Ia mengaku tidak menggunakan data bidang pada pengukuran lahan melainkan data luasan.
Intinya, terjadi kesepakatan dari BPN dan BBWS untuk melakukan konfirmasi ulang sebagai pertanggungjawaban pada publik atas kabar lahan yang belum dibebaskan.
Sementara itu, Dhanil dari LBH Yogyakarta, sekaligus kuasa hukum warga Wadas memperjelas maksud utama dari audiensi perihal surat pemberitauan konsinyasi. Dhanil menyanyangkan dikeluarkannya surat pemberitahuan tersebut di tengah kondisi Wadas yang belum stabil. Artinya, masih banyak persoalan yang dihadapi warga Wadas: penetapan batas aman, peta lokasi tambang yang berubah, juga izin pertambangan yang tidak ada. Sementara, BPN malah mengeluarkan surat permohonan yang bertendensi ancaman konsinyasi bagi warga.
Dhanil mencoba mengajak para pejabat untuk mendiskusikan hal ini bersama-sama dengan warga.
Lalu, Marsono, dari BPN merespon Dhanil dengan mengatakan bahwa konsinyasi adalah bagian dari prosedur. Begitupun aku mengamati penjelasan Marsono yang begitu prosedural. Semuanya nampak normatif. Ia menjelaskan proses pengukuran, hitung tanam tumbuh, pengolahan data hingga tahap pembayaran yang seolah membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sehingga dari penjelasannya ini seolah mempersuasi warga untuk memaklumi penerbitan surat permohonan konsinyasi dari BPN untuk mengejar tenggat pekerjaan mereka. Dalam pikiran mereka, proyek mesti berjalan. Tak ada peduli bagaimanapun kondisi warga.
“Pada 6 Juni 2023 besok penlok kami sudah selesai. Jadi kita punya waktu dua bulanan ini mepet sekali dan kewenangan kami dibatasi dengan panlok,” katanya.
Pernyataan itu didukung dengan rekan kerjanya, Tukiran, yang juga dari BPN. Ia memperkuat alas an kawannya bahwa dalam rangka inventarisasi dan identifikasi memerlukan data. Jika hal tersebut tidak dilakukan warga, maka hasil inventarisasi dan identifikasi tersebut tidak diakui, sebab masa Panitia Pengadaan Tanah (P2T) telah berakhir.
Dhanil menolak jawaban yang disampaikan keduanya, menurutnya hal tersebut tidak substantif karena hanya berbicara prosedural jual beli tanah. Padahal yang sedang didiskusikan pada audiensi ini adalah persoalan warga Wadas yang belum usai, tapi dilayangkan pemberitahuan konsinyasi. Ia mengajak untuk fokus mendiskusikan aspek kemanusiaan di atas prosedural. Menurutnya hanya omong kosong jika bicara keberadaan bendungan untuk kemaslahatan banyak orang, tapi di satu sisi kemaslahatan warga Wadas sendiri tak ada yang menjamin.
Selama ini logikanya terbalik. Pengukuran dilakukan terlebih dahulu, menyusul musyawarah terkait konsinyasi. Idealnya dilakukan musyawarah dengan warga untuk menemukan titik kesepakatan kemudian urusan pengukuran itu berdasar pada hasil akhir musyawarah.
Setelah penekanan statement tersebut, kulihat raut muka pejabat itu pun berubah. Sejurus kemudian Andri Kristanto menyanggupi tawaran untuk ditiadakannya konsinyasi pada tanggal 24 Maret 2024. Pihak BPN dan BBWS bersepakat akan melakukan diskusi terlebih dahulu sebelum memutuskan konsinyasi. Andri pun menyatakan akan bertanggung jawab menyampaikan pernyataan ulang terkait konfirmasi jumlah luasan tanah yang belum dibebaskan di Wadas. Katanya, “Setelah ini kita akan berembuk dulu. Kalau surat kan gak bisa ditarik lagi. Apapun hasil keputusannya nanti kita beritahukan ke warga atau ke Kades.”
Sejam audiensi, akhirnya terdapat dua poin kesepakatan: pertama adanya kekeliruan soal data tentang tanah yang belum dibebaskan. Kedua, komitmen tidak ada konsinyasi dan lebih mengedepankan musyawarah dan dialog bersama warga.
Audiensipun berakhir hampir pukul dua siang. Aku bersama beberapa warga bergegas pulang ke Wadas. Kusaksikan semburat sumringah dari raut muka mereka. Setidaknya, hasil audiesi hari itu, menjawab sedikit kegelisahan warga terkait konsinyasi. Bagaimana tidak, kabar konsinyasi ini dilayangkan tiba-tiba yang sekonyong-konyong mengancam warga.
Telah banyak macam intimidasi yang diterima warga Wadas. Tak hanya Kekerasan, surat ini jadi salah satu bentuk intimidasi di pikiran warga Wadas yang tengah berjuang menolak pertambangan. Mereka khawatir jika memang benar terjadi konisnyasi, maka hak milih tanah mereka berubah menjadi hak milih pemerintah. Artinya, ketakutan terbesar warga soal pertambangan pun kian mencekam.
Rencana tambang yang ditolak sedari awal oleh mereka seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Idealnya, kebijakan apapun itu berdasar dari aspirasi masyarakat. Sudah bertahun-tahun warga Wadas melakukan upaya penolakan tambang dan meminta pemerintah untuk mencabut Izin Penetapan Lahan (IPL) dan hingga kini tak pernah sekalipun ditanggapi serius.
Hari ini, dengan beredarnya intimidasi konsinyasi kepada warga semakin mengukuhkan keyakinanku bahwa pemerintah tidak pernah berpihak pada suara rakyatnya. Mekanisme konsinyasi yang sengaja diedarkan di warga, kupahami untuk memengaruhi pikiran mereka, menggoyahkan keteguhan hati menolak segalam bentuk perampasan tanah. Kabar itu seperti sengaja ditujukan untuk manakut-nakuti warga agar menyerahkan tanahnya dan menyegerakan praktik pertambangan yang mengancam ruang hidup warga Wadas.
Audiensi ini hanya satu dari sekian upaya yang telah dilakukan warga untuk mempertahankan tanah mereka. Setidaknya melalui hasil audiensi, masih ada pengharapan dan nafas yang lebih panjang lagi demi perjuangan. Ini salah satu momen penting bagi mereka.
Sesampainya di Wadas, aku berbincang dengan Talabudin, salah satu anggota Gempa Dewa yang juga ikut proses audiensi. Ia banyak terlibat dalam berbagai upaya perjuangan warga Wadas. Beberapa kali mukanya tidak asing di pertemuan-pertemuan yang membahas Wadas. Di akhir perbincangan, dengan suara penuh keyakinan, ia mengungkapkan harapannya agar jangan sampai terjadi konsinyasi. Talabudin, begitupun warga lainnya, sama sekali tidak menginginkan konsinyasi.
Saat ini mereka tetap memupuk semangat di tengah kemelut rencana pertambangan yang makin gencar digalakkan pemerintah. Aku yang menyaksikan beberapa perjuangan warga, mulai jalur hukum, Mujahadah hingga membuat serangkaian aksi untuk menyuarakan penolakan tambang—turut mengamini harapan-harapan baik itu. Harapan yang tidak lain dan tidak bukan ditujukan untuk alam Wadas agar tetap lestari. Walau, tentu saja ada beragam bujuk rayu pada warga, aku berharap tanah itu tak dikeruk.
*Penulis adalah staf di Solidaritas Perempuan Kinasih, aktif wira-wiri Jogja-Wadas, kadang tanpa sunscreen. | Ilustrator M Dzaky Samsul Anwar