Lpmarena.com– Perguruan tinggi kerap dijadikan alat menggapai ambisi yang menguntungkan pihak tertentu. Menurut Agung Wardana, ini menjadikan gerak mahasiswa di Indonesia untuk berkembang terbatas. Staf pengajar Fakultas Hukum UGM itu menyampaikannya dalam diskusi daring bertajuk Manufakturisasi Kurikulum dan Depolitisasi Mahasiswa, Selasa (02/03).
Neoliberalisasi pendidikan tersebut merupakan masalah kompleks yang dijadikan batu loncatan untuk kepentingan mengeruk laba. Ilmu pengetahuan dan bukti kelulusan, menurut Agung, kini hanyalah obral semata. sivitas akademika kampus juga cenderung tak acuh pada kepentingan luar yang tak menguntungkan, semisal peran dosen yang tak memberi dukungan pada sikap kritis mahasiswa.
Aturan kampus membatasi dan memonopoli mahasiswanya, hingga terkekang dan sulit untuk berkembang. Seperti yang pernah dimuat dalam Majalah Tempo, penyebab turunnya gerakan mahasiswa di Indonesia meliputi pendidikan ideologi yang minim, pengalaman yang kurang dan represi aparat serta pihak kampus. Contoh nyata gerakan ini adalah unjuk rasa menuntut RUU PKS pada 2019 silam.
Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Institute, mengatakan suasana belajar telah digantikan suasana politik oleh oknum perguruan tinggi. Hal ini terbukti dari lebih banyaknya seremonial kampus daripada pengedukasian intelektual.
Lebih lanjut, kurikulum yang berorientasi pendidikan juga telah hilang, bukan lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan menjadi ruang bisnis untuk kaum kapitalis. Belum lagi timbulnya stigma di masyarakat akibat dekontruksi kasta dalam perguruan tinggi. Masyarakat memandang fakultas atau jurusan tertentu jauh lebih prestise dari yang lain.
Selaras dengan hal itu, Agung menyampaikan, “Setiap individu adalah kompetitor, sehingga menghalalkan segala cara untuk menang terhadap suatu hal.”
Menurut Eko, mahasiswa pun mempunyai tugas penting dalam menyatukan heroisme dan idealisme. Keduanya kerap menjadi bumerang dan menyebabkan penurunan kualitas dari mahasiswa saat ini.
Karenanya, intimidasi terhadap idealisme dan keterbatasan ruang berpikir menjadi permasalahannya karena sebuah tekanan tertentu. Kebebasan berpendapat telah dimonopoli sedemikian rupa oleh hubungan dengan pihak tertentu.
Lebih lanjut, Eko berpendapat mahasiswa yang tergabung dalam organisasi ekstra pun sebagian besar merupakan underbow para elitis, baik secara terstruktur maupun ideologis. Hal demikian memicu penciptaan kampus sebagai lingkungan birokrasi bukannya sebagai lingkungan akademis yang berdialektis dan membangun wacana kritis. “Tujuh puluh persen politisi berasal dari aktivis organisasi tertentu,” kata Eko memaparkan survei oleh Social Movement Institute.
“Intervensi akidah berpolitik terus menerus menjadi momok bagi mahasiswa di tengah tekanan yang bertubi-tubi, baik dari internal maupun eksternal kampus,” pungkas Eko.
Reporter Azzam (magang) | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Sumber Gambar Republika