Lpmarena.com– Sejumlah sivitas akademika Universitas Proklamasi 45 (UP 45), mengadukan permasalahan tentang buruknya tata kelola kampus kampus tersebut ke Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Rabu(10/3).
Permasalahan ini berawal sejak menyebarnya covid-19 sekitar bulan Maret tahun lalu. Awalnya, UP 45 merasa kelimpungan menghadapi pandemi covid-19. Sehingga, rektor meminta kepada Dewi Handayani Harahap, Wakil Rektor II yang kini sudah diberhentikan, untuk merampingkan struktur kepengurusan di kampus dan memberhentikan sebanyak 25 karyawan.
“Awalnya saya mengikuti kemauan dari beliau (rektor) supaya merampingkan strukur karyawan, juga merampingkan struktur gaji. Namun, setelah tiga bulan berjalan beliau masih meminta perampingan struktur lagi,” jelas Dewi.
Tak ada alasan jelas mengapa perampingan struktur karyawan itu dilakukan. Menurut Dewi, kondisi keuangan kampus pun tidak dalam kondisi krisis.
Dengan diberhentikannya beberapa pegawai universitas, para dosen merasa keberatan karena jumlah tenaga pengajar menjadi terbatas. Salah satunya, Syamsul Maarif, dosen yang dulu juga menjabat sebagai Wakil Rektor I.
“Kami menjadi kebingungan karena harus mengajar di rumah yang waktunya tidak jelas. Belum lagi, ditambah kurangnya dosen pengajar,” keluh Maarif.
Sebelum diberhentikan, Maarif bersama rekannya bermaksud menanyakan tata kelola kampus yang buruk kepada pihak rektor dan yayasan. Salah satunya, soal keuangan kampus. Mereka lantas mengadakan sidang senat universitas, tapi sidang itu ditanggapi rektor dengan surat peringatan (SP).
“Dua puluh lima orang senat tersebut diganjar dengan surat peringatan. Sehingga kami melayangkan mosi tidak percaya kepada rektor. Itulah yang membuat rektor ibaratnya emosi jiwa. Itulah kemudian kami dibalas dengan SP 1 dan 2 sekaligus,” jelas Dewi.
Selanjutnya, pihak kampus meminta sivitas akademika yang mengkritik untuk datang face to face ke yayasan. Mereka diminta meminta maaf dan mundur dari jabatan struktural kampus. Dan apabila tidak menghadiri, maka akan dikeluarkan dari UP 45.
“Di sini lah, ruang-ruang demokrasi yang dimatikan. Di mana saat kita mengkritisi bukannya direspon dengan baik malah diperlakukan seperti itu,” tegas Dewi.
Dua puluh lima senat itu mendapatkan sangsi yang berbeda-beda: ada yang diberhentikan, ada yang dipecat secara tidak hormat, ada yang tidak diperbolehkan mengajar dan sebagainya.
Kini, mereka yang diberhentikan, termasuk Maarif dan Dewi UP 45 ke Kemendikbud melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah DIY. Sebab, menurut mereka, tata kelola perguruan tinggi telah diatur dalam Standar Nasional Perguruan Tinggi.
“Saya berharap negara hadir. Ketika kita sudah sampaikan ke dikti, sampai sekarang belum ada perkembangan. Pihak senat uniersitas terancam dan pelayanan terhadap mahasiswa tidak cukup standar,” papar Idham Ibty, mantan dosen administrasi publik.
Julian, Ketua Advokasi LBH Yogyakarta, menyampaikan bahwa negara harus hadir mengawal isu pendidikan tersebut. Negara juga harus menjamin terselenggaranya pendidikan untuk semua warga negara.
“Prinsipnya, LBH Jogja melihat ada dua persoalan yang kami terima. Bagaimana kita melihat hari ini, dalam penyelenggaraan pendidikan dalam prinsip HAM, bahwa negara harusnya terlibat aktif. Dan menjamin hak atas pendidikan kepada setiap warga negara,” jelas Julian.
Apabila hal ini tidak ditangani oleh negara dengan baik, maka akan berakibat buruk untuk institusi pendidkan keepannya. “Apabila dibiarkan, kami melihat ini akan berakibat buruk di kemudian hari, ketika negara tidak hadir atau membiarkan hal ini, maka akan berakibat buruk ke penyelenggaranan pendidikan di Indonesia,” pungkas Julian.
Reporter Atikah Nurul Ummah | Redaktur Sidra | Fotografer Ach. Nurul Luthfi