Bayangkan apabila bintang terkemuka dalam dunia olahraga menukar seragam mereka dengan seragam militer. Bayangkan jika Wayne Rooney, Gareth Bale, atau Andy Murray secara sukarela mengabdi untuk Inggris Raya dan kemudian ditugaskan ke Afganistan atau Irak. Satu abad yang lalu, bintang-bintang olahraga telah melakukannya. Ribuan bintang olahraga berkumpul dalam satu tim; banyak dari mereka yang tidak mampu kembali dari pembantaian sistematis Perang Dunia I.
Nama-nama seperti Walter Tull, Edgar Mobbs, Tony Wilding, dan Percy Jeeves memang jarang dikenal sekarang, karena mereka menjadi korban dalam Perang Dunia I. Namun, mereka masuk dalam jajaran bintang olahraga di Inggris Raya. Mereka menduduki posisi puncak dalam bidang olahraga mereka; dan mereka juga berkorban besar untuk negaranya di dalam “permainan terbesar dari semua permainan”: perang.
Dari sekitar sembilan juta tentara Imperium Britania yang dimobilisasi selama empat tahun lamanya Perang Dunia I, sekitar seperdelapan gugur atau hilang. Mereka diduga tewas dalam pertempuran. Dua juta lainnya terluka, dan seperlimanya hilang di garis depan.
Tidak ada yang tahu secara pasti berapa jumlah olahragawan yang termasuk dalam daftar korban tak berkesudahan. Banyak pula yang kurang diketahui mengenai peran mereka dalam Perang Dunia I. Jasad-jasad mereka jarang ditemukan, entah hancur dihantam peluru artileri atau terkubur dalam lumpur di medan perang.
Mereka dan ratusan ribu rekan mereka menukar lapangan olahraga mereka di Britania dengan medan yang hancur di Prancis dan Belgia atau pantai berdarah di Gallipoli, Utsmaniyah. Staf Tottenham Hotspur FC berpartisipasi dan bertempur bersama sejak 1915. Sebelas dari mereka tewas. Kita kini lebih kenal Gareth Bale atau Harry Kane. Tapi kesebelasan staf itu abadi dalam buku pegangan The Spurs.
Adapun, klub sepak bola Heart of Midlothian dan Leyton Orient mendaftarkan punggawanya secara massal dalam perang. Masing-masing dari mereka masuk satuan militer 16th Royal Scotts yang dikenal dengan McCrae’s Battalion, dan 17th Middlesex Regiment atau The Footballers’ Battalion.
Newcastle United FC, yang mungkin lebih kita kenal, kehilangan tujuh pemain—jumlah yang sama dengan pemain Hearts yang tewas. Tiga di antaranya adalah Hary Wattie, Duncan Currie, dan Ernie Ellis yang tewas pada 1 Juli 1916, hari pertama Pertempuran Somme.
Dunia Kriket tak kalah berduka. Seperenam dari seluruh pemain kriket yang mengangkat senjata tewas di medan tempur. Setidaknya 34 pemain kelas wahid terbunuh di antara 210 pemain. Nasib pemain rugby lebih heroik (atau malah buruk?). Sembilan puluh persen dari pemain rugby Inggris ikut serta dalam pertempuran.
Banyak juga dari cabang olahraga lainnya, dan tidak hanya yang berasal dari Inggris Raya saja. Tenis juga kehilangan pemain terhebatnya: Tony Wilding, legenda tenis dari Selandia Baru. Sementara itu, pemain hoki es tersohor Amerika Serikat, Hobey Baker pernah berhadapan dengan Manfred von Richtofen sang penerbang ulung (fighter ace) dari AU Jerman. Baker kemudian mengalami kecelakaan ketika kembali ke negaranya setelah perang usai.
Nama-nama itu bukan sekadar daftar korban, dan jumlah olahragawan yang mati bukan sekadar statistik. Pengorbanan mereka di dalam kabut dan penderitaan perang dunia dikisahkan untuk merepresentasikan heroisme dari semua yang mengorbankan nyawanya. Terutama dari para olahragawan yang mendengar “peluit akhir” dalam pembantaian (peluit dalam Perang Dunia I digunakan untuk menandai dimulainya serangan).
Namun, ada kisah lain yang lebih didalami. Kisah bagaimana olahraga, setidaknya di Inggris, digunakan sebagai metafora dalam perang. Baik catatan pers, catatan harian, surat pribadi, maupun dokumen resmi, berulang kali menggunakan metafora olahraga untuk menggambarkan aksi heroik dalam angkatan bersenjata. Dikisahkan juga bagaimana olahraga menjadi yang pertama dan paling vital dalam perekrutan angkatan bersenjata Inggris Raya serta menimbulkan kontroversi mengenai kecemasan yang lebih luas tentang perang.
Sama seperti tidak ada sektor yang luput dari dampak Perang Besar, begitu juga tidak ada olahraga yang luput dari pembantaian yang merenggut banyak nyawa tersebut. Seperti berubahnya situasi perang, mau tak mau peran olahraga di Britania juga berubah. Sejak 4 Agustus 1914, hari di mana Inggris Raya menyatakan perang kepada Jerman, tidak ada lagi yang sama.
Judul For Team and Country | Penulis Tim Tate | Penerbit Metro Publishing | Terbit 2014 | Tebal 192 Halaman | Peresensi Aliefian Damar (magang)