Lpmarena.com– Di mana posisi kebudayaan dan tradisi Indonesia di era mutakhir? Ke arah mana ia bergerak? Dari mana ia berasal? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kiranya ingin dijawab dalam diskusi Membaca Suluk Kebudayaan Indonesia di Sarang Building, Sabtu (27/3) yang diselenggarakan oleh Buku Langgar.
Irfan Afifi membuka diskusi dengan pemaparan kondisi tradisi dan kebudayaan Indonesia yang nahas. Ia menganggap tradisi dan kebudayaan Indonesia sebagai salah satu manuskrip yang bisa menjelaskan identitas diri bangsa. Namun, tradisi dan kebudayaan itu telah dikonstruksi oleh kolonialisme Barat.
Meski praktek penjajahan telah usai, efek dari kolonialisme itu masih terasa hingga kini. Tak hanya meminggirkan secara ekonomi-politik, kolonialisme ini mengungkung kesadaran masyarakat. Hasilnya, masyarakat dan bangsa Indonesia kehilangan identitas diri.
Senada dengan penjelasan Irfan, Jadul Maula menyebut kolonialisme bahkan membuat identitas masyarakat terpecah dan terpisah. Sebut saja, seringkali Islam dipahami terpisah dengan Jawa. Di Minangkabau, syariat dan adat dianggap tak bertaut. “Padahal semuanya bisa saja terhubung,” ungkap Jadul.
Atas dasar itulah, Suluk Kebudayaan Indonesia, buku antologi yang dibedah dalam diskusi tersebut, menjadi penting bagi Jadul. Ia menyorot salah satu artikel yang ditulis Dwi Cipta, berjudul Tiga Pertaruhan Penulis Dalam Sastra Indonesia. Artikel itu menyorot tiga karya dari tiga penulis tersohor di zaman yang berbeda: Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Pulau Buru, Kuntowijoyo dengan novelnya Pasar, dan Ulid karangan Mahfud Ikhwan.
Ketiga novel menghadirkan persoalan serupa: adanya ekspansi kapitalisme yang meminggirkan para tokohnya. Namun, menurut Jadul, meski penjajahan dan peminggiran kerap dilakukan dengan perangkat ekonomi, hasilnya selalu pembungkaman kesadaran diri.
Padahal menurut Jadul, sejak zaman Hindu-Buddha, bahkan sebelumnya Indonesia adalah negara spiritual. Negara spiritual yakni negara dengan masyarakat yang memiliki kesadaran kosmologis, bahwa alam dan Tuhan selalu memliki keterhubungan. “Di antara itu, manusia menemukan dirinya dalam keseimbangan,” ujarnya.
Irfan Afifi menutup diskusi itu dengan sebuah ajakan untuk menengok tradisi, bergulat dengan diri sendiri untuk menemukan identitas Indonesia. Laku tersebut, menurutnya, bisa dilakukan siapa saja dengan cara apapun. Ia menyambut dan merayakannya, seperti halnya ia menyambut artikel Mahfud Ikhwan berjudul Menjadi Jawa Tanpa Nonton Wayang. “Dari situ, muncul kedaulatan diri,” seru Irfan.
Reporter Sidratul Muntaha | Redaktur Sidratul Muntaha