Home SASTRACERPEN Pukul Tiga Dini Hari

Pukul Tiga Dini Hari

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh : Nur Hidayah*

Malam ini rembulan masih setia menggantung di langit, memamerkan cahayanya meski ditantang ribuan lampu kota dan terlupakan. Kesiur angin malam memainkan dedaunan di pohon yang tinggal satu dua. Seekor burung Cabak Kota melesat keluar dari pepohonan, terbang menuju lampu jalan sudut gang sempit sambil memekak-mekak.

Lima puluh meter dari gang itu, rumah kos-kosan dengan dua lantai di kiri jalan nampak sunyi. Lampu-lampu padam menandakan penghuninya telah terlelap. Kecuali kamar di ujung balkon lantai dua. Ruangan 3×3 meter itu tertutup rapat. Lampunya bahkan tak dinyalakan sejak malam menjelang. Sebuah kursi terletak di depan jendela yang setengah terbuka. Di atasnya, tali tampar berwarna putih yang menggantung pada kisi-kisi jendela bergoyang-goyang pelan tertiup angin.

Lalu di sudut ruangan itu, di samping lemari kayu, seorang perempuan berambut panjang acak-acakan duduk meringkuk. Dhea namanya. Tiga botol minuman keras yang tergeletak di hadapannya sudah tak dihiraukan lagi. Satu botol telah kosong dan menggelinding, satu buah tersisa separuh, dan satu lagi masih tertutup rapat. Ia membenturkan kepala berulang kali pada tangan yang terlipat di atas kedua kakinya. Sesekali diacaknya rambut yang sudah berantakan itu dengan kasar.

Jeritan Cabak Kota yang memekakan perlahan menjauh. Tidak ada suara lagi yang terdengar di ruangan ini kecuali detak jam beker di atas meja samping ranjang. Tetapi pada kesunyian ini, ada yang begitu riuh dalam diri Dhea. Umpatan dan sumpah serapah pada diri sendiri menggema berulang-ulang dalam kepala perempuan itu.

“Bodoh, tak berguna, sampah!”

“Bodoh, tak berguna, sampah!”

“Bodoh, tak berguna, sampah, mati!”

“Mati, mati, mati, mati!”

Sejak mendapat panggilan video dari bapaknya kemarin, perempuan itu mulai merutuki dirinya sendiri. Bapaknya dikejar-kejar debt collector sebab sudah tiga bulan tak bayar cicilan utang. Dhea tak mengerti, setiap bulan dia selalu rajin mengirim uang. Bahkan jatah bulan ini sudah ia kirimkan Jumat lalu.

“Bapak habis beli apa?”

Bapak Dhea hanya diam.

“Bapakmu kumat lagi, Dhe!” Ibunya muncul di layar ponsel dengan wajah menahan tangis.

Kini Dhea yang terdiam. Penyakit bapaknya itu selalu kambuh saat merasa keuangannya aman. Judi. Sejak tahu Dhea mendapat gaji lumayan tinggi di perantauan, bapaknya diam-diam mulai kembali berjudi setelah berhenti bertahun-tahun.

Dhea bahkan sudah lupa soal penyakit bapaknya ini. Tak pernah lagi ia bertanya macam-macam sejak bisa mengirimi jatah bulanan yang cukup untuk orang tuanya. Sekarang ia terkejut bukan main mengetahui bapaknya dililit utang puluhan juta dan sertifikat rumah telah tergadai.

Ia hanya terus terdiam mendengarkan cerita ibunya lalu berkata, ”Nanti Dhea usahakan bantu,” di akhir telepon.

Pikirannya buntu sejak panggilan video itu ditutup. Sumpah serapah lebih sering keluar dari mulutnya. ‘Bangsat!’ saat kakinya tak sengaja menyandung meja. ‘Kampret!’ untuk kopinya yang terlalu panas. ‘Anjing!’ untuk piring yang lepas dari tangan saat dicuci. ‘Sialan!’ saat tak bawa handuk ketika mandi. Dan umpatan-umpatan lain mulus terlontar dari bibirnya yang tipis pada hal-hal sepele.

Hal itu karena orang tuanya tak mengerti bahwa seminggu lalu Dhea sudah mengajukan surat pengunduran diri ke perusahaan tempatnya bekerja. Ia hanya akan bekerja hingga akhir bulan ini. Gaji yang cukup tinggi rupanya tak menjadi jaminan bahwa kehidupan kerjanya baik-baik saja. Perempuan itu bahkan sudah berusaha mati-matian untuk bertahan sejak bulan-bulan awal masuk kerja.

Entah apa yang salah, rekan-rekan kantornya tak memerlakukan Dhea seperti selayaknya. Awalnya, ia berusaha bersikap baik pada semua orang di kantor. Jika aku bersikap baik, orang lain juga akan bersikap baik padaku, begitu prinsipnya. Tapi prinsip semacam itu tak berlaku di kantor Dhea. Semakin kau bersikap baik, semakin kau akan dilahap.

Target kerja yang terlampau tinggi di perusahaan Dhea menciptakan atmosfir kerja yang terlalu target oriented. Relasi yang terbangun antara karyawan adalah relasi kerja menyebalkan, bukan relasi kekeluargaan yang hangat dan nyaman.

Beban yang berat seharusnya bisa lebih menyatukan orang-orang, agar tak tercecer dan tumbang satu-satu. Tetapi mereka sudah terlalu sibuk dan stres dengan target kerja masing-masing hingga tak sempat untuk sekadar saling bertanya kabar. Tak heran jika banyak karyawan yang keluar-masuk dalam waktu singkat karena sistem kerja ini. Satu-satunya alasan orang masih bertahan di perusahaan ini karena gaji yang di atas rata-rata.

Sialnya, Dhea harus masuk dalam sistem kerja keparat ini. Bulan-bulan awal masuk kerja, ia kesulitan beradaptasi dengan target kerja yang terlampau tinggi. Saat itu, ia mulai mendengar keluhan dari rekan-rekannya.

“Kalau kerjamu lamban seperti ini, kita semua bisa dapat masalah.”

“Ayolah! Kamu udah empat bulan kerja di sini, masa nggak ada perubahan?”

Awalnya Dhea mengabaikan kalimat-kalimat semacam itu. Namun kian hari, ucapan-ucapan menyudutkan semakin sering terdengar. Kuping perempuan itu mulai panas. Suara-suara menyakitkan itu mulai merangsek masuk ke kepala Dhea.

Lalu orang-orang mulai memandangnya sebelah mata. Bahkan ia tak dipedulikan sama sekali. Delapan jam kerja per hari terasa begitu panjang. Lebih panjang lagi saat malam tiba ketika Dhea mulai riuh dengan pikirannya sendiri.

Perempuan itu mulai memandang dirinya sebagaimana orang-orang di kantor memandangnya. Ia mulai membenarkan perkataan mereka. Dirinya memang bodoh, tak berkompeten, dan lamban. Pada malam-malam panjangnya, sekali dua telah terbayang bahwa sebaiknya dia mundur saja. Tapi tanggungan keluarga di kampung menuntutnya agar tetap bertahan.

“Sebentar lagi, hanya sebentar lagi. Kamu pasti bisa, kamu pasti kuat,” ucap Dhea pada diri sendiri saat mulai lelah.

Selanjutnya, ia mulai belajar dan bekerja mati-matian demi mematahkan omongan dan anggapan miring orang-orang di kantor. Pagi sampai sore bekerja, malam belajar dan memperbaiki pekerjaan. Berbulan-bulan ia tertatih bercucuran darah bergelut dengan pekerjaannya.

Perlahan namun pasti, kemampuan kerja Dhea mulai meningkat. Bahkan beberapa kali ia bisa melampaui target yang ditetapkan. Tetapi bekerja mati-matian semacam itu terkadang tak didukung oleh fisik Dhea. Sudah dua kali ia opname di rumah sakit karena kelelahan dan tipes.

Kabar baiknya, orang-orang kantor mulai kembali melirik Dhea. Bahkan satu-dua orang mulai bertegur sapa dengannya. Hari-hari selanjutnya, Dhea mulai bekerja dengan tersenyum. Ia bahkan mulai membangun harapan soal jenjang karier dan sebagainya.

Sayangnya, biar dipaksa sekeras apa pun, lingkungan kerja Dhea memang bobrok. Senyuman yang dibangun setelah berdarah-darah itu kembali pupus pelan-pelan ketika ia sadari rekan-rekan kantornya hanya memasang topeng.

Ada maksud tersembunyi di balik sikap baik rekan-rekannya. Saat satu per satu rekannya mulai meminta bantuan pada pekerjaan mereka, Dhea dengan senang hati membantu. Hitung-hitung untuk membangun relasi yang baik, pikirnya. Tetapi lama-lama mereka mulai terbiasa meminta bantuan Dhea. Bahkan tak jarang menyuruhnya menyelesaikan pekerjaan yang bukan jobdesk-nya. Perempuan itu hanya dimanfaatkan.

Malam-malam Dhea kembali panjang dan riuh. Ia mulai benar-benar memikirkan untuk berhenti dari perusahaan itu. Kini, kondisi keluarganya di kampung telah mulai membaik. Masih ada cukup waktu untuknya mencari pekerjaan baru saat benar-benar berhenti dari perusahaan itu. Bahkan tabungannya masih cukup untuk hidup satu atau dua bulan ke depan tanpa bekerja.

Tetapi panggilan video dari bapaknya kemarin membuat rencana Dhea hancur berantakan.  Tabungannya tidak sebanyak itu untuk bisa melunasi utang dan menebus sertifikat rumah. Sementara kembali pada perusahaan itu sama saja dengan sukarela masuk neraka. Dhea menemui jalan buntu.

“Bodoh, tak berguna, sampah!” Ia mulai menyesal dan merutuki dirinya sendiri.

Segala hal yang telah dilakukannya terasa salah. Mengapa ia harus gegabah untuk mengajukan surat pengunduran diri? Mengapa dulu ia masuk dan memilih bertahan di perusahaan keparat ini? Lalu mengapa ia harus memiliki bapak penjudi?

“Bodoh, tak berguna, sampah!”

Sekali lagi Dhea mengacak rambutnya yang sudah berantakan. Kakinya menendang botol minuman keras, membuat isinya tumpah berceceran.

“Sial!” umpatnya dalam hati.

Ia melirik jam beker, pukul tiga dini hari. Tali tampar yang tergantung di kisi-kisi jendela masih bergoyang pelan tertiup angin. Simpul lingkarannya yang sebesar kepala melambai-lambai menunggu sebuah leher tersangkut. Haruskah ia mengakhiri hidupnya sekarang?

Tak ada lagi yang bisa dilakukan Dhea. Semua hal berjalan dengan salah. Apakah mengakhiri hidup adalah jalan untuk membebaskan diri? Ataukah hal itu akan menjadi kesalahan paling besar yang Dhea lakukan? Pukul tiga dini hari, di tengah puncak kebimbangan, ia hanya bisa berkata; “Tolong aku!”

*Penulis adalah redaktur di lpmarena.com yang baik hati dan kurang tidur

Ilustrasi: Muhammad Dzaky Samsul Anwar