Home BERITA Historiografi Perempuan Islam di Nusantara Belum Komprehensif

Historiografi Perempuan Islam di Nusantara Belum Komprehensif

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com- Historiografi (penulisans sejarah) perempuan Islam di Nusantara belum menjadi arus utama. Terlebih sejarah perempuan Islam kelas rakyat. Saat ini, sejarah perempuan Islam lebih banyak menonjolkan sisi kepahlawanan yang terlalu moralis dan istana-sentris. Demikian yang diucapkan Anna Mariana, Pengelola Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS), pada kuliah umum gelaran Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga, Rabu (24/3).

“Memunculkan tokoh bukan berarti tidak boleh, namun ketika perspektifnya hanya untuk satu persen perempuan, untuk apa?” tanya Anna.

Akibatnya, menurut Anna, masyarakat tak memiliki ingatan dan pengetahuan soal bagaimana Islam hadir dalam keseharian, pola pengasuhan, dan pola pendidikan masyarakat.

Anna juga mempertanyakan soal cara mencari cerita perempuan dalam sejarah Islam di Nusantara. Pasalnya, cerita-cerita tersebut sarat dengan periodisasi yang terlalu bercorak nasional sekaligus berwatak maskulin. Kisah yang muncul pun didominasi oleh perempuan yang berada di puncak kepemimpinan dan memiliki akses di ranah publik.

“Bagaimana dengan narasi perempuan yang tidak memiliki akses terhadap ruang publik? Apakah ia tidak memiliki sejarah?” Anna kembali melempar pertanyaan.

Narasi yang muncul dalam historiografi perempuan kerap kali hanya mengenai sejarah pergerakan. Itu pun selalu dilekatkan dalam periodisasi peristiwa politik di Indonesia secara umum. Selain itu, penulisan sejarah perempuan masih sering menggunakan narasi kolonial yang maskulin.  

“Apakah sejarah perempuan selalu sama dengan sejarah gerakan perempuan? Lalu apakah memang periodisasi pergerakan perempuan selalu sejalan dengan situasi politik nasional? Apakah perempuan tidak memiliki periodisasi sejarah pergerakan tersendiri?” Lagi-lagi Anna melempar berbagai pertanyaan.

Lebih lanjut, studi sejarah perempuan yang komprehensif dapat dihitung dengan jari. Persoalan seperti perkembangan pemikiran perempuan, geneologi pergerakan perempuan atau kajian kritis atas gerakan perempuan hanya disajikan berupa potongan-potongan. Padahal perempuan juga memiliki peran penting dalam sejarah.

“Masa lalu adalah masa lalu laki-laki dan perempuan bersama-sama,” ujar Anna mengutip Kuntowijoyo.

Mengenai periodisasi, hal itu sangat penting diketahui untuk bisa memahami alur sejarah. Hendaknya, menurut Anna, dalam menulis sebuah historiografi, sejarawan perlu membongkar penelitian dan wacana mereka untuk melihat komunitas perempuan dalam sejarah. Juga perlu mengkritik bagaimana perempuan harus diberdayakan.

Periodisasi dalam historiografi Islam Nusantara tak bisa terlepas dari periodisasi yang dimiliki historiografi nasional. Hal itu ditunjukkan dengan periodisasi yang mayoritas menempatkan masa pra-Islam pada masa Hindu-Buddha. Tapi beberapa sejarawan, seperti Ricklefs, memiliki pandangan berbeda. Ia berpendapat, masa Awal Modern di Indonsia sudah dimulai sejak tahun 1200-an, sejak berkembangnya Islam di Indonesia. Azyumardi Azra juga mengatakan, sejarah Islam yang berkembang sesuai dengan kultural Indonesia telah hadir mulai abad ke-7 Masehi.

Reporter Aliefian Damarizky | Redaktur Nur H. | Sumber gambar Suara Merdeka