Lpmarena.com– Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) mengadakan aksi yang mengusung tema Bangun Persatuan Gerakan Mahasiswa, Lawan Kapitalisasi Pendidikan pada Senin (29/3). Aksi ini diselenggarakan di Bundaran UGM dan diikuti oleh beberapa aliansi lain dengan menyerukan 13 tuntutan.
Salah satunya ialah menuntut dihapuskannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 dan Undang-undang Sikdiknas No. 20 tahun 2003. Rusdi, Humas GNP, menyampaikan bahwa Undang-undang ini memberikan satu skema regulasi yang mengatur otonomi kampus. Hal tersebut menjadikan kampus bebas melakukan berbagai macam kebijakan yang kemudian tidak lagi memosisikan mahasiswa sebagai subjek dalam kampus.
“Contohnya adalah biaya pendidikan. Atas dasar otonomi kampus, biaya pendidikan tidak ditinjau dari kepentingan mahasiswa melainkan kampus yang bisa menetapkan biayanya sendiri. Itulah salah satu alasan mengapa kami mengadakan aksi ini,” ungkap Rusdi.
Selain itu, pasal lain yang dipermasalahkan adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Undang-Undang ini melanggengkan liberalisasi pendidikan. Karena sumber biaya pendidikan berasal dari masyarakat, bukan lagi pemerintah. Hal tersebut berbanding terbalik dengan tanggung jawab negara yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin hak warga negara untuk mengenyam pendidikan.
UU Sisdiknas yang hendak direvisi akan disesuaikan dan dikorelasikan dengan Omnimbus Law. meskipun kedua UU tersebut terpisah, namun skema yang akan digunakan tetap sama. Hal tersebut dikhawatirkan dapat memasifkan liberalisasi dunia pendidikan.
“Ternyata Undang-Undang Sisdiknas ini akan direvisi, bahkan sudah masuk dalam prolegnas tahun 2020 sampai tahun 2024. Konsep revisi undang-undang sidiknas ini akan menggunakan pendekatan Omnimbus Law.” sambung Rusdi.
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan dirasa gagal dan abai terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Dimasa pandemi, ketika hampir semua akses ekonomi rakyat dibatasi oleh negara, kebijakan pendidikan justru mengharuskan anak didik dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai perguruan tinggi harus membayar uang pendidikan.
“Saya adalah salah satu mahasiswa yang tedampak, dimana kampus tidak mengadakan pemotongan biaya, dan jujur saja pendapatan dari orang tua pun, semakin menipis karena adanya pengurangan jam kerja. Saya dan teman-teman yang lain sudah melakukan negosiasi dengan pihak kampus, namun tetap saja hasilnya tidak sesuai dengan keinginan saya dan teman-teman bahkan jauh dari kata sepakat,” ujar Alex, salah satu massa aksi.
Selain mendesak pemerintah mencabut Undang-Undang Perguruan Tinggi dan Undang-Undang Sisdiknas, massa aksi juga menuntut menghentikan pembungkaman demokrasi di dunia pendidikan. Sudah bukan hal asing bagi mahasiwa mendapatkan intimidasi dan kehilangan ruang berdiskusi secara bebas. Ironisnya, pembungkaman ini justru banyak dilakukan oleh birokrat-birokrat kampus.
“Biasanya, masing-masing mahasiswa yang ikut demo akan mendapatkan peringatan baik melalui SMS atau Whatsapp,” tutur Alex.
Perihal pembungkaman demokrasi, Rusdi juga turut angkat suara. Ia mengatakan faktor penyebab pembungkaman berasal dari watak rezim yang anti demokrasi. Meskipun saat ini pascareformasi, akan tetapi demokrasi saat ini hanyalah demokrasi yang bersifat liberal, yang bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang, elit politik, ataupun penguasa.
Noval, salah satu anggota Humas GNP, mengungkapkan hal senada: masalah pendidikan yang menggunung di Indonesia pada akhirnya memicu lahirnya cita-cita revolusi pendidikan yang berharap bisa menjawab masalah-masalah yang ada.
“Banyak masalah pendidikan di Indonesia seperti anak yang putus sekolah karena masalah biaya dan lain sebagainya. Saya sedang memperjuangkan pendidikan untuk rakyat menengah kebawah yang tidak mampu membayar pendidikan untuk bersekolah gratis,” tandas Noval.
Reporter Yunike Eka Lestari (magang) | Redaktur Sidratul Muntaha | Fotografer Muhammad Fikry Ulil Albab (magang)