Home BUKU Kritik Sasti Gotama atas Praktik Patriarki

Kritik Sasti Gotama atas Praktik Patriarki

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Kekuatan kolumnis terletak pada kemampuan merespons isu hangat dengan tanggap dan cepat. Orator andal mampu menarik pendengarnya dengan ketepatan retorika dan kalimat-kalimatnya yang lugas. Berbeda dengan keduanya, cerpenis justru mengomparasikan berbagai persoalan yang diendapkan dan kemudian diejewantah dalam bentuk-bentuk cerita, melalui kolaborasi alur dan penggambaran suasana yang elegan. Sehingga responsibilitas cerpenis bukan terletak pada seberapa tajam analisisnya terhadap suatu masalah, tapi sebijaksana apa ia menenun kata-kata, menghipnotis pembaca, dan membuat mereka selalu dilanda rasa penasaran untuk membuka lembaran setelahnya.

Sasti Gotama membuktikan itu. Sekalipun berbagai isu yang direspons sudah biasa dan sering terjadi, tapi ia mampu mengolaborasi dengan kekuatan penggambaran cerita yang bisa dikatakan sempurna. Persoalan seperti penindasan, marjinalisasi perempuan, kontestasi pemuka agama juga turut ikut andil di dalamnya. Sasti mampu menghadirkan wajah baru. Ia piawai meracik kalimat-kalimat yang sesekali mengandung metafor. Diksi dari setiap cerpennya tidak pernah menafikan kesehariannya sebagai seorang dokter perempuan.

Sejenak mari kita lihat cerpen judul “Rahasia Keempat” (hlm. 49).  Ia bercerita tentang seorang perempuan yang lahir di jamban, dan baru mengetahui bahwa yang dianggap ibu olehnya adalah neneknya, dan kakaknya adalah ibu kandungnya sendiri. Itu merupakan tiga rahasia yang terungkap, namun rahasia keempatnya ia sembunyikan rapat-rapat. Ibunya adalah seorang perempuan yang pada waktu itu dibawa ke seseorang yang dianggap suci oleh kakeknya. Kemudian delapan bulan setelah itu, lahirlah ia di jamban.

Selanjutnya cerpen “Segala Sesuatu yang Tak Pernah Terjadi” (hlm. 41). Persoalan yang Sasti kritik adalah posisi perempuan yang termarjinalisasi oleh pihak suami. Laskhita sebagai istri Barata mendapat perlakuan yang kasar dan sangat sulit mendapatkan kasih.

Tuhan, mana yang lebih penting? Mengabdi atau mencintai diri sendiri”, “Tuhan, sebuah perpisahan tak pernah mudah bagi perempuan. Orang-orang akan memandang hina dan menyalahkannya. Ia akan dianggap perempuan jalang yang tak sudi mengabdi kepada tuannya.(hlm. 46).

Di sini timbul perenungan, bahwa meninggalnya Barata adalah sesuatu yang tak pernah terjadi. Dan untuk memungkasi perlakuan Barata—yang kasar terhadap Laskhita—satu-satunya jalan adalah kematian Barata sendiri, sebab jika berpisah, Laskhita dibenturkan dengan realitas pahit dari persepsi masyarakat itu sendiri.

Bagaimana pandangan Anda jika berada di posisi tersebut? Bukankah hal-hal semacam itu kerap terjadi dalam kehidupan sekarang? Bukankah pemujaan terhadap perempuan hanya dilakukan ketika ingin mendapatkannya? Silakan pikirkan lebih dulu.

Inilah mengapa saya menyetujui persepsi yang dilontarkan oleh Ayi Jufridar di sampul belakang buku ini. Setiap akhir dari kisah cerpen dalam buku ini membawa pembaca pada awal dari konflik baru yang mendorong pembaca melanjutkan kisahnya dengan atau tanpa sadar. Pembaca diajak berpikir dan berimajinasi tentang berbagai kemungkinan yang tak berkesudahan.

Cerpen terakhir dalam buku ini berjudul “Apa yang Paul McCartney Bisikkan di Telinga Janitra”(135). Bercerita tentang bagaimana konflik batin yang dirasakan oleh seorang ibu ketika berada di posisi yang dilematis. Mengurus putrinya atau mempertahankan pekerjaannya. Tentu, Gupta—sebagai suami Janitra—menginginkan agar Janitra mengurus putrinya dan Gupta sebagai laki-laki yang akan menanggungnya.

Konflik terjadi ketika pekerjaan Gupta di titik kebangkrutan. Pada saat itu, ia menyalahkan Janitra yang berhenti bekerja dengan membalikkan fakta bahwa ia tidak pernah meminta Janitra untuk berhenti kerja, hanya saja memintanya untuk lebih intens mengurus Nara anaknya. Namun, akibat perlakuan yang terlalu keras dari Gupta, akhirnya dengan susah payah Janitra harus menidurkan si Kumbang (emosi batin Janitra) meski pada akhirnya tetap tidak bisa.

Dalam kisah tersebut, Sasti ingin menyampaikan bahwa permpuan bukan boneka laki-laki; perempuan adalah manusia utuh, tak ubahnya laki-laki, yang piawai menyimpan dendam, piawai menyimpan keluh kesah. Namun, laki-laki justru tidak merasakan akan hal itu. Sasti menghadirkan penegasan, bahwa di saat-saat tertentu kemarahan perempuan akan lebih berbahaya dari amarah laki-laki.

Hampir dari semua cerpen itu bertemakan perempuan yang termarjinalisasi oleh praktik patriarki atau oleh seorang laki-laki. Dan Sasti berusaha merespons itu semua, persoalan-persoalan keagamaan, sosial, dan realitas kehidupan yang hampir tidak pernah berubah.

Sasti menyampaikan kritik itu dengan diksi-diksi sederhana dan metafor yang elegan. Tentu akan berbeda, jika keberadaan Sasti sebagai cerpenis diperbandingkan dengan dedikasi dari seorang novelis Nawa el-Saadawi. Nawa justru lebih ‘sangar’ menyuarakan kesetaraan gender dan isu-isu feminism. Tetapi setidaknya, Sasti mampu menyuarakan hal itu dengan cara berbeda, dengan tetap mengusung kebaruan dari segi penataan kalimat dan alur cerita.

Cerpenis Yetti A.KA mengomentari Sasti dengan menulis: Bagi saya, hal terpenting yang disuarakan Sasti sebagai penulis perempuan adalah kritiknya atas praktik patriarki dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, dan bernegara.

Yogyakarta, 31 Maret 2021

Judul Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam | Penulis Sasti Gotama | Tebal 144 Halaman | Cetakan Desember 2020 | Penerbit DIVA Press | Peresensi Ahmad Zubaidi