Home BERITA Pentas “Kelaparan”, Teater Eska Mengangkat Soal Krisis Pangan

Pentas “Kelaparan”, Teater Eska Mengangkat Soal Krisis Pangan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com– UKM Teater Eska UIN Sunan Kalijaga kembali mengadakan Pentas Tiga Bayangan pada tanggal 7 dan 8 April 2021. Pementasan kali ini ditayangkan secara daring melalui loket.com.

Pentas sinematik itu diawali lakon berjudul Kelaparan yang disutradarai oleh Anas Mukti Fajar. Melalui lakon itu, Teater Eska ingin menyampaikan pesan tentang keserakahan dan egoisme manusia. Berkaca pada masa pandemi, banyak yang kehilangan penghidupannya. Selain macetnya sirkulasi ekonomi, masa pandemi menjadi celah menimbun kebutuhan pribadi.

Awalnya, naskah karya Siti Aminah itu ingin menyoroti dampak alih-guna lahan akibat industrialisasi. Sebab menurutnya, keresahan tidak muncul ketika belum ada dampak nyata hilangnya lahan. Ia berupaya membangun kesadaran penonton lewat kisah Hering, Nara dan Juring. Kelaparan mengisahkan dua burung yang terjatuh bernama Hering dan Nara.

Mereka dikurung bersama Juring, tanaman beracun yang muncul dari tanah. Ia mengisahkan bahwa di masa itu, ada penjara yang memungkinkan hal aneh terjadi, seperti mengubah hewan dan tanaman menjadi manusia dengan emosi dan pikirannya. Dunia kala itu sedang dalam krisis pangan. Keluar dari penjara, manusia itu menuju kepunahan karena keserakahannya memakan semuanya.

“Akhirnya aku memilih tema kelaparan, karena dampak akhir dari tersisihnya lahan adalah krisis pangan,” kata Aminah ketika diwawancarai ARENA melalui pesan WhatsApp (14/04).

Dalam karyanya Aminah memilih genre fiksi-ilmiah dengan latar waktu cerita yang berlangsung pada tahun 2050 Masehi. Tak ayal, menurutnya, manajemen emosi menjadi salah satu tantangan ketika proses penulisan naskah.

Di lain sisi, Anas mengatakan naskah Kelaparan cukup sulit diadaptasi dalam bentuk visual. Sehingga dalam proses penggarapannya, beberapa adegan mesti diubah. Keterbatasan fasilitas, tempat dan waktu pun menjadi kesulitan tersendiri.

“Ketika Nara menyelami dunia imajiner, dia punya karakter lain. Tapi seiring berjalannya waktu dan masalah teknis, karakternya itu hilang.”

Kendati demikian, sebagai sutradara, ia maklum dan justru tertantang. Karena ini merupakan kali pertama Teater Eska menggarap teater secara sinematik. Proses pengerjaannya tentu berbeda dari biasanya.

“Yang bikin agak rumit itu sutradara harus pinter berkompromi dengan tim media,” curhat Anas.

Reporter Aliefian Damarizky | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Fotografer Teater Eska