Oleh: Zaim Yunus*
Anda tidak akan dipenjara meski seribu kali birpikir melemparkan mangkuk penuh kotoran kuda nil ke muka seorang anggota dewan yang sedang berpidato. Selama hal itu hanya mengendap di kepala, dan hanya Anda dan Tuhan yang tahu, seharusnya Anda akan tetap baik-baik saja.
Bagaimanapun, pikiran adalah tempat paling aman di muka bumi, tempat Anda bebas berfantasi, tempat Anda bisa menjadi pejabat tanpa perlu banyak berbohong.
Seorang kawan, mahasiswa hukum semester baru, sering mengutip kalimat ini: “Sebelum terjadi perbuatan tindak pidana, niat seseorang, baik sengaja maupun tidak, tak dapat disentuh oleh hukum pidana.” Dari situ kita tahu bahwa dalam sebuah aturan ada satu aturan yang tidak boleh dilanggar: hukum tak bisa menyentuh pikiran.
Di dalam pikiran Anda akan tetap aman, meski Anda seratus kali berdoa dalam hati agar seorang menteri yang bodohnya bukan main terkena musibah, entah kepalanya tertimpa tiang listrik hingga pikun, atau tergelincir dan jatuh dari lantai dua dan pingsan tiga pekan. Anda tidak bisa dihukum karena itu. Perkara lain jika Anda menulis sumpah serapah di tembok rumahnya atau memanjatkan doa-doa berisi kutukan lewat sebuah toa raksasa.
Pada tahun 2017, melalui 21 cerita pendek, Yusi Avianto Pareanom mengabadikan sisi gelap manusia, dalam beberapa adegan pada buku kumpulan fiksi Muslihat Musang Emas. Itu buku, yang bersampul kuning terang dan bergambar tiga rubah dan satu cangkir merah, akan mengajak pembaca menyaksikan palung-palung tergelap jiwa manusia—tempat seseorang bisa berpikir apa saja.
Di cerpen ke-14, Yusi berkisah tentang tokoh utama yang mendongkol bukan main ke orang bernama Buris. Buris adalah senior tokoh utama di kantor dan mereka bekerja pada satu divisi. Tak ada alasan yang jelas untuk membenci Buris. Namun, ingin rasanya ia meludahi piring makan Buris. Menurut tokoh utama, “terkena cacar air pada usia dewasa lebih baik ketimbang mendapatkan cap sebagai konco Buris.”
Sampai suatu hari Buris kecelakaan dan mengalami kelumpuhan permanen, dari pinggang sampai bagian tubuh bawah. Tokoh utama memang sering membayangkan seniornya itu celaka, tapi ketika hal tersebut benar-benar terjadi ia sama sekali tak gembira, meski tak juga bersedih.
Sejak hari itu, ia tak lagi bersama Buris. Namun perangainya tak juga berubah, dan ia tetap berpikir tentang hal-hal buruk: “Aku tahu bahwa tak ada orang normal yang mau celaka. Hanya saja, aku tak kunjung bisa menepis pemikiran bahwa Buris menikmati situasi terbarunya—lumpuh. Ia mendapatkan penghambaan dari Rara dan kekaguman dari orang-orang kantor yang menganggapnya berjiwa besar. Telok.”
Kisah di atas merupakan contoh yang menurut saya cukup jahanam. Namun, pikiran-pikran nakal semacam itu, dalam level kekejaman tingkat apapun, akan terus ada dan sukar dihindari. Sampai-sampai agama merasa perlu ikut mengaturnya. Kita pasti pernah mendengar seruan seorang pemuka agama tentang pentingnya husnuzan, berbaik sangka terhadap suatu kenyataan. Mereka bilang prasangka baik akan membawa kita pada kebaikan, dan Anda pun mungkin mengamini pernyataan itu. Namun tanpa perlu aba-aba dari siapa pun, Anda paham bahwa kita tidak bisa taat pada wejangan tersebut dalam setiap peristiwa.
Manusia dibekali kemampuan memikirkan hal-hal buruk. Kita juga memiliki insting selayaknya hewan liar prasejarah yang buas. Jadi, tidak masalah jika kita membayangkan hal tersebut sebagai bentuk alat bertahan hidup; sebuah cara agar manusia tetap sanggup menjalani hari di tengah abad yang pengap dan gelap.
Kita ambil dua peristiwa sebagai contoh sederhana.
Pertama. Berita pagi mengabarkan bahwa petani padi dalam negeri panen raya. Di waktu yang sama, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras besar-besaran. Kemudian Anda berpikir, “Mungkin ada persekongkolan jahat di sana” atau “Mungkin pejabat A menerima suap”, atau mungkin lebih geram lagi: ingin segera mencolok kedua mata orang yang Anda anggap jahat itu dengan sepasang sumpit atau tusuk sate.
Kedua. Ketika Anda duduk santai sambil menikmati secangkir teh panas pada sore hari yang sedikit berangin, seorang remaja tanggung, bertubuh kurus, berkulit tropis dan berambut lepek, mengendarai sepeda motor yang bunyi knalpotnya nyaring memekik telinga. Sebagai warga masyarakat yang terkenal bersahaja dan cinta damai Anda memilih tidak mengumpat ke bocah keparat itu. Namun jauh di dalam lubuk hati, Anda ingin sekali mematahkan gigi gerahamnya; Anda menyumpahinya menabrak gapura di ujung kampung.
Pikiran buruk adalah hal yang muskil kita hindari sepenuhnya. Karena itu, kita bisa membayangkan betapa horornya sebuah hukum jika sudah menyentuh pikiran. Ketika negara memiliki alat canggih berupa penyadap kepala yang mendeteksi gerak-gerik pikiran, barangkali, saat itu pula gagasan menamatkan hidup lebih cepat adalah pilihan paling bijaksana.
George Orwell membayangkan situasi distopia tersebut dalam novelnya yang masyhur berjudul 1984. Polisi berpatroli dan mengintai isi kepala. Mereka memata-mati para penjahat pikiran pada satu waktu dan menangkap mereka di waktu yang lain. Dalam dunia seperti itu, Anda bisa masuk penjara hanya karena berpikir bahwa sebuah departemen di pemerintahan penuh orang-orang tengik dan tidak becus.
Kita tidak menerapkan sebuah nilai “baik” atau “buruk” terhadap semua hal di atas. Dan, Anda tentu boleh protes karena tulisan ini tidak mempertimbangkan hal lain, seperti aspek psikologis dan spiritual. Namun, selama seseorang punya otak tidak geser, dan tentu saja memiliki hati nurani, saya kira, pikiran gelap hanya akan mengendap di kepala. Ia hanya akan menjadi imajinasi liar. Dan pikiran tanpa sebuah aksi, bukanlah masalah—setidaknya menurut hukum. Kita memang tidak bisa menghitung “kejahatan-kejahatan” yang masih berada di dalam kepala. Tapi setidaknya kita tahu bahwa, sepanjang 2018-2019, KontraS mencatat 643 kekerasan telah dilakukan oleh anggota Polri dan itu nyata. Jumlah tepatnya tak ada yang tahu, tapi kita bisa memastikan ada angka yang lebih tinggi. Pada tahun 2020, kala UU Cipta Kerja memantik gelombang protes masyarakat, Koordinator KontraS mengatakan bahwa terdapat lebih dari seribu aduan terkait kasus kekerasaan yang dilakukan oleh aparat. Begitulah.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum semester akhir
Ilustrasi: Muhammad Faqih Sampurno