Lpmarena.com–Ratusan buruh dan mahasiswa melakukan aksi dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional di Titik Nol Kilometer, Rabu (01/05). Saat longmars berlangsung, terlihat beberapa peserta membawa bendera dan spanduk berisi tuntutan untuk pemerintah terhadap hak-hak buruh, di antaranya adalah terkait kondisi pekerja perempuan yang hingga hari ini masih dipinggirkan.
Hani, Anggota Beranda Migran, dalam wawancara menuturkan jika pekerja perempuan dalam kondisi rentan. Menurutnya, banyak dari perempuan pekerja migran yang bekerja terus-menerus dengan upah yang di luar kata layak, ditambah jam istirahat yang sedikit. Dalam risetnya, Erwin Bramana Karnadi, Asisten Profesor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, menemukan kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki sebanyak 23,68%, terlebih bagi perempuan yang berusia di bawah 30 tahun.
Selain itu, kekerasan juga banyak dialami para perempuan, dalam catatan tahunan (CATAHU) 2023, Komnas Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2022 ada sebanyak 1621 bentuk kekerasan yang dialami oleh mereka dengan rincian 588 kekerasan di tempat kerja, 442 kekerasan dalam bentuk ekonomi seperti pemotongan dan tidak dibayarnya gaji, hingga kekerasan seksual sebanyak 199.
“Kami juga melihat banyak, bahwa kenapa pekerja migran atau buruh migran yang keluar negeri itu perempuan, karena saat ini sektor domestik, pekerjaan domestik itu yang perlu dibutuhkan dan terutama Perempuan lebih mudah dimobilisasi, karena kan lebih murah (upahnya) dibandingkan laki-laki,” paparnya.
Dengan gaji yang tidak layak, perempuan juga menanggung beban ganda. Hani juga menambahkan sebagai pekerja, para perempuan tidak hanya fokus pada apa yang ia kerjakan terhadap tempat kerjanya saja, tetapi juga ditekankan untuk fokus pada keluarga di kampung halamannya.
“Walaupun mereka jauh dari keluarga, mereka itu masih melakukan peranan mereka sebagai pengasuh atau perawat keluarga, dari mereka menjadi tulang punggung keluarga, mencari sumber penghidupan bagi keluarganya, mereka masih melakukan pengasuhan kepada anak anaknya, orang tuanya, bahkan juga keluarganya, suaminya dan segala macam”
Beban ganda tidak hanya sebatas melakukan peranan yang lebih, tetapi juga tidak adanya cuti haid, melahirkan, juga menjadi beban. Kondisi tersebut mengharuskan mereka untuk memasang alat kontrasepsi atau KB agar tidak hamil selama mereka bekerja di luar negeri. Memasang alat tersebut juga pastinya menyebabkan rasa yang tidak nyaman pada tubuh.
“Saat pekerja migran mau keluar negeri aja itu syarat tidak tertulis itu adalah memaksa teman-teman pekerja migran perempuan untuk melakukan kontrasepsi dulu untuk KB, jadi dipaksa KB, itu untuk memastikan bahwa mereka itu tidak hamil saat mereka ada di luar negeri” imbuhnya.
Keresahan serupa dirasakan Natasya, Anggota Serikat Pekerja Media dan Industri (SINDIKASI), baginya hamil, haid, atau apapun itu yang berkaitan dengan tubuh perempuan adalah alamiah, dan sejalan dengan itu, harus dijamin haknya.
“Bukan karena perempuan dan laki laki ini tidak setara pada kemampuan, tetapi ada fungsi biologis yang berbeda, maka harus di akomodasi,” katanya sewaktu diwawancara ARENA Rabu (01/05).
Permasalahan yang hadir semenjak disahkannya UU Ciptaker juga menambah rumit persoalan. Menurutnya, ada banyak hak-hak pekerja dan yang seharusnya menjadi kewajiban dari perusahaan absen dari peraturan tersebut. Upah yang ditentukan oleh pusat, besar kemungkinan PHK sepihak, hingga pesangon yang dibatasi adalah beberapa masalah di antaranya.
“Jadi inikan efek dari omnibus juga yah, akhirnya banyak kemenangan pekerja untuk hak-haknya kemudian jadi hilang lagi, dan ini harusnya kita kerjakan bersama lagi,” lanjutnya.
Reporter Syifa Nurhidayah | Redaktur Selo Rasyd Suyudi