Home BERITA Suara yang Timbul Tenggelam di Balik Bukit Sampah Piyungan

Suara yang Timbul Tenggelam di Balik Bukit Sampah Piyungan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com Problematika Kota Yogyakarta tak hanya soal ketimpangan ekonomi dan kriminalitas klitih. Tiga belas kilometer ke arah tenggara dari pusat kota, ada problem yang timbul-tenggelam. Masalah ini kembali diperbincangkan pada penghujung tahun 2020 lalu. Media lokal maupun nasional ramai-ramai menyoroti persoalan di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan.

Warga sekitar memblokade satu-satunya jalan menuju TPST. Berbagai armada pengangkut sampah yang menunggu giliran membuang muatan, tak ada yang bergerak. Antreannya sampai setengah kilometer. Macet. Sampah pun menumpuk dan berserakan di beberapa ruas jalan. Berhari-hari tumpukan kotor itu tak kunjung diangkut. Bau busuk merebak di tengah hilir-mudik warga.

Aksi blokade jalan ini dilandasi rasa geram warga karena keresahan mereka tak juga ditanggapi pihak pengelola. Mereka masih menagih hak yang tak kunjung dipenuhi. Janji negosiasi pun masih mengambang. Orang-orang itu masih menunggu perubahan datang.

***

Hiruk pikuk kehidupan urban selalu meninggalkan celah masalah. Tumpang tindih permasalahan sampah TPST Piyungan sudah carut marut. Cahyono Agus Dwi Koranto, Profesor Ilmu Tanah Fakultas Kehutanan UGM, menyarankan program perbaikan hulu dan hilir.

Menurutnya jika ingin mengubah sistem pengolahan sampah, perlu kombinasi yang baik antara warga, pemerintah dan pengelola. Menurut Agus, warga sebagai produsen bisa memilah sampah rumah tangga sebelum membuangnya. Lalu secara bersamaan dibuat aturan dan pengawasan ketat dari pemerintah. Di bagian hilir, disediakan teknologi pengolahan yang baik. Dengan kombinasi ini permasalahan sampah bisa dientaskan.

“Harusnya kalau mau dan niat, peraturan ini juga bisa,” tandas Agus sore itu, Senin (1/12).

Dalam menggambarkan kondisi lingkungan di TPST Piyungan, Agus memberi skor 3 dari 10. Sangat buruk. Menurutnya, permasalahan menahun yang tidak segera dituntaskan membuat lingkungan sekitar mengalami “stroke lingkungan”.

***

Langit cerah di pertengahan Januari 2021 menaungi perjalanan saya menuju TPST Piyungan, Bantul. Bau yang menyengat menyambut saya bahkan puluhan meter sebelum sampai di lokasi. Sepanjang jalan masuk, saya melihat sampah tercecer dari truk tanpa pernah dipungut. Saya tak punya gambaran, bagaimana warga sekitar tahan hidup lebih dari dua puluh tahun di tengah gunung sampah itu?

“Saya di sini sudah sejak lahir,” kata Estirani, salah seorang warga yang saya temui. Sejak lahir ia menempati rumah peninggalan ayahnya. Ia menyaksikan sendiri awal pembangunan TPST pada tahun 1994. Dulu, sebelum digunakan sebagai tempat membuang limbah, tanah di sana cekung seperti lembah. Dua puluhan tahun berlalu, lembah itu kini menjadi bukit sampah. Rumahnya persis di sisi barat tempat pembuangan. Rumah itu bahkan berdiri sebelum TPST Piyungan ada.

Di tempat yang sama, saya bertemu Supriyanto dan beberapa warga lain. Mereka bermukim di sebelah barat tebing tempat pembuangan. Ketika masa pembangunan TPST mereka juga ikut menjadi buruh proyek pembangunan.

Supriyanto pun turut dalam beberapa protes warga dan mediasi dengan pengelola TPST. Polemik bermula ketika ada proyek pembangunan jalan di sekitar tempat pembuangan. Jalan itu mempersempit drainase. Sehingga saat hujan, air yang bercampur sampah akhirnya menggenang. Air yang keruh perlahan menuruni tebing, mengalir deras ke arah rumah warga, termasuk rumah Supriyanto dan Estirani. Dua orang warga, sambil mengenakan caping dan bermodal garu, mulai memisahkan sampah agar tidak meluber dan mengotori pekarangan warga. Saya melihatnya melalui sebuah rekaman video yang ditunjukkan Supriyanto.

 “Kita enggak muluk-muluk. Cuma minta dibuatkan drainase yang baru agar air hujan yang bercampur sampah tidak turun. Itu bau lho. Mengganggu. Jangankan di musim hujan, di musim kemarau juga kadang turun (air limbah-red) itu,” keluh Supriyanto dengan raut muka serius.

Tuntutan itu disampaikan ketika negosiasi pembukaan blokade warga. Supriyanto dan warga lain turut serta dalam proses negosiasi. Selain perbaikan drainase, warga juga mempertanyakan kompensasi dari pihak terkait. Bagi mereka, hidup berdampingan dengan sampah bukanlah hal mudah. Mereka harus berkompromi dengan bau yang menyengat. Belum lagi, pengelolaan sampah terkadang bermasalah dan merugikan mereka secara langsung.

Misal untuk masalah air, warga sudah tidak bisa memompa air tanah dan hanya menggunakan air PDAM. Sebab air tanah sudah tidak layak digunakan.

“Yang terpenting itu, segeralah ditangani masalah yang berhubungan dengan kita secara langsung. Air lindi itu lho,” tegas Supriyanto.

“Sebenarnya itu pun bukan tuntutan, itu kan kewajiban pemerintah,” teman di sebelahnya menimpali.

Keresahan tak hanya saat musim hujan. Kala kemarau, terik matahari membuat bau sampah semakin menusuk. Bahkan, seringkali sampah ringan seperti plastik ikut terbang bersama angin ke daerah pemukiman. 

“Itu warga cuma minta dikasih pagar atau apalah yang bisa menghalau plastik-plastik itu,” keluh Estirani.

Esti sendiri merupakan ibu rumah tangga. Sambil mengurus anak, ia menerima pesanan jahit. Kehidupan Esti serta warga sekitar kini sedikit banyak berubah. Tak sedikit dari mereka pun menjadi pemulung.

Meski pekerjaan tersebut menjadi sentra pengelolaan sampah secara mandiri, nasibnya tak sebanding dengan tumpukan sampah yang menggunung. Mereka bekerja tanpa jaminan pekerjaan dan kesehatan. Bahkan bantuan dari pemerintah maupun pihak pengelola hampir tak pernah mereka dapatkan. Para pemulung ini berharap, paling tidak pemerintah memperhatikan mereka dengan, misal, membagi sembako, atau mendirikan lapak yang rapi dan layak bagi pemulung.

Saya pun menemui Maryono, ketua perkumpulan pemulung di TPST Piyungan. Ia duduk-duduk di sebuah warung di seberang gunung sampah. Di sebelahnya, tertancap plang hijau bertuliskan “Paguyuban Pemulung Mardiko”.

Setiap akhir pekan, satu pengepul bisa mengumpulkan hingga enam ton sampah yang telah terpilah. Di TPST Piyungan sendiri terdapat sekitar 15 pengepul, jadi per minggu bisa kumpul 90 ton. Per bulan sekitar 360 ton.

Selama ini, kata Maryono, pemulunglah yang banyak andil dalam pengolahan berton-ton sampah itu. Hingar bingar kendaraan lewat memenuhi telinga. Hanya ada satu ruas jalan yang memisahkan kedua tempat itu. Bising dan bau.

“Sampai sekarang ini, tidak ada dari Dinas yang selalu terjun langsung ke tempat. Hanya tengok, lalu kembali ke kantor. Kan seharusnya ada yang mengatur. Misal, ada yang ngatur jalan, ada yang ngatur pembuangan. Begitu.” 

Kemudian dari data yang saya himpun, tercatat pihak pengelola sampah TPST Piyungan kerap berganti. Awalnya, TPST berada di tangan Sub Dinas Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta. Lalu berpindah dalam wadah kerjasama Sekretariat Bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul). Setelahnya dikelola provinsi melalui Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP ESDM). Dan kini dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemerintah Daerah Yogyakarta.

“Selama di sini, sudah sering pengelolaan TPST ini berganti-ganti. Tapi masalahnya tetap saja sama,” kelakar Maryono.

Setiap tahun, masalah selalu muncul. Misalnya pada tahun 2005, ada rencana pembangunan pabrik di lokasi TPST. Pengelola saat itu mengalokasikan enam puluh persen lahan untuk pabrik dan sisanya untuk pembuangan sampah. Warga tentu menolak dengan tegas.

Waktu itu Maryono mewakili suara penolakan warga. “Jangankan enam puluh persen, satu persen pun dari warga tidak boleh kau dirikan satu pabrik!” seru Maryono mengulang perkataannya belasan tahun silam.

Sambil mengenang ceritanya, Maryono menutup segelas teh di depannya. Lalat mulai hinggap dan mengerumuni kami. Hilir mudik kendaraan masih memenuhi telinga. Aroma tak sedap tetap tercium meski kami memakai masker pelindung.

Awan gelap mulai berkumpul. Saya pamit pulang. Tiga puluh menit kemudian saya sudah semeja dengan beberapa teman. Hujan turun cukup deras. Namun pikiran saya masih berada di pemukiman bawah tebing itu. Tampaknya mereka kembali mendapat kiriman. Air hujan bercampur sampah pastilah meluber ke mana-mana.

Maryono dan warga sekitar tempat pembuangan hanyalah satu dari sekian banyak orang yang memperjuangkan hak kehidupan layak. Apa yang mereka lakukan di penghujung tahun silam hanya usaha untuk bertahan. Mereka ingin didengar dan diperhatikan, bukan dijanjikan lalu dilupakan.

Reporter Fatan Asshidqi | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Ilustrator Dzaky Syamsul Anwar | Sumber Foto @firdanhk (Instagram)