Lpmarena.com – Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) kategori hak digital masyarakat ada tiga, yakni hak mengakses internet, hak untuk berekspresi, dan hak atas rasa aman. Namun pemenuhan hak digital masyarakat Indonesia tahun 2020 mencapai posisi siaga dua. Artinya kondisi ini sudah demikian buruk. Pernyataan itu diungkapkan oleh Damar Julianto, Direktur Eksekutif SAFENet dalam peluncuran laporan tahun 2020 bertajuk Represi Digital di Tengah Pandemi via Zoom Meet (21/4).
“Di tahun 2018 status hak-hak digital di level waspada, 2019 siaga satu dan tahun 2020 mencapai siaga dua, artinya kita semakin mendekati situasi otoritarianisme digital,” papar Damar.
Ketimpangan akses internet menunjukan hak digital belum sepenuhnya terpenuhi secara merata, baik di ranah pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Meski ada sekitar 202 juta pengguna internet aktif di Indonesia, 56% pengguna masih terpusat di Pulau Jawa. Paling sedikit adalah Pulau Maluku dan Papua, yaitu 3% pengguna. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan perlambatan dan pembatasan internet yang pernah terjadi di Papua oleh pemerintah.
Kemudian meningkatnya korban pemidanaan karena pasal karet UU-ITE pun menjadi indikator kerentanan hak berekspresi di internet. Tahun 2020 sebanyak 84 orang dipidanakan dengan UU-ITE. Angka ini melonjak dibanding tahun sebelumnya yang hanya 24 orang. Pasal 28 ayat 2 UU-ITE tentang Ujaran Kebencian menjadi dalih pemidanaan terbanyak terhadap warga sipil.
Hak atas rasa aman juga terganggu dengan serangan digital. Sepanjang tahun 2020, SAFENet menemukan sebanyak 147 serangan digital yang terjadi. Rata-rata dua belas kali serangan terjadi setiap bulannya. Kasus tertinggi terjadi di bulan Oktober dengan 41 serangan. Pada bulan itu, isu nasional berkutat pada pengesahan UU Omnibus Law. Lebih-lebih, banyak kasus terjadi dipicu oleh Surat Telegram Kapolri tentang pemantauan aktivitas di internet terkait hoaks Covid–19.
Indri Saptaningrum, kandidat doktor UNSW Law, mengaitkan situasi hak digital masyarakat Indonesia dengan menurunnya kualitas demokrasi. Sempitnya ruang demokrasi digital menjadi salah satu pemicu adanya disinformasi.
“Temuan ini turut mengafirmasi beberapa laporan lain yang meminta pengambil kebijakan segera bertindak untuk menyelamatkan kondisi demokrasi yang kualitasnya kian menurun,” jelasnya.
Reporter Fatan Asshidqi | Redaktur Dina Tri Wijayanti