Oleh: Mahdi Ruhani*
Dua kali Ramadan bersama pandemi, tidak ada yang berbeda kecuali larangan mudik dan kongkow bersama di jalan-jalan. Terkhusus larangan mudik, meskipun hanya sekadar tradisi, ia memang identik dengan Ramadan. Penghujung Ramadan tak hanya membawa berkah, tapi juga membawa orang-orang kembali dari perantauan untuk melepas penat dan rindu ke kampung halaman. Bertemu dan berkumpul dengan orang tua, sanak keluarga, teman lama, atau mantan kekasih adalah hak setiap insan.
Namun, siapa yang dapat menahan arus masyarakat? Arus mudik yang begitu kuat justru disambut oleh pemerintah tak tegas. Sebagian masyarakat yang tidak mampu menahan rindu pulang kampung berhasil melewati larangan mudik demi bersua dengan orang tua mereka yang sudah renta. Sebagian lain yang altruis, memilih merelakan kesempatan mudiknya tahun lalu. Dan tahun ini, pandemi masih betah bercokol di bumi pertiwi, mungkin kembali membuat para altruis menimbang keputusan untuk tidak mudik di tahun ini.
Bagi masyarakat muslim Indonesia tradisi berpuasa Ramadan begitu berkesan dan dirindukan setiap tahun. Bulan ketika makan menjadi seru dilakukan bersama di waktu berbuka. Setelah menahan lapar dan haus seharian, menyantap jajanan yang telah dibeli sore hari adalah jalan terbaik untuk balas dendam. Sementara bagi perokok, membakar rokok atau puntung bekas sahur merupakan momen yang juga sangat melegakan setelah menenggak air minum. Setiap tarikan disesap dalam-dalam dan dihembuskan lamban-lamban.
Meski aplikasi rapat online menjamur, nampaknya, tak ada yang bisa ‘pertemuan’. Agenda modus berbuka bersama (bukber) menjadi opsi tetap untuk dicetuskan di grup-grup WhatsApp demi menyukseskan pertemuan. Pertemuan yang dirancang untuk membunuh bosan dirumahkan. Biasanya, satu ajakan yang telah disepakati dahulu akan memulai keramaian dalam grup, mengobrolkan tanggal dan tempat yang tak jarang berakhir wacana.
Jika agenda bukber disepakati, yang terjadi adalah ajang silaturahmi. Bisa jadi sedikit tidak menyenangkan, karena ada saja yang bercerita soal dirinya dengan cara yang menyebalkan.
Ramadan pun kerap kali menjadi ajang bagi masyarakat Muslim untuk mendadak menahan segala tindak-tanduk buruknya di bulan lalu. Ketika sebelumnya tidak pernah sembahyang, kali ini mereka mengupayakan ibadah wajib, bahkan ditambah sembahyang tarawih. Alquran mulai sering dilantunkan setiap sore menjelang magrib atau setelah sembahyang subuh. Meski kebiasaan itu bertahan sebentar sepanjang Ramadan, ia cukup membuat orang-orang merasa termaafkan dari banyak dosa lalu.
Puasa Ramadan sendiri merupakan tradisi tua berumur 1440 tahun, lebih muda dari tahun Islam karena baru disyariatkan di tahun kedua Hijriah. Sepanjang tradisi ini berjalan, konflik antara umat Muslim di dunia juga masih subur bertahan. Konflik antara saudara seiman pada Nabi dan Tuhan yang sama. Konflik yang muncul dari berbagai faktor seperti ketertindasan, politik, dan keberbedaan prinsip beragama.
Dari fenomena itu, kita lantas bisa menyimpulkan bahwa ibadah puasa, jika tidak ingin menyebut seluruh jenis ibadah, masih jauh dari berhasil membawa kita kepada kualitas diri yang lebih adil dan dekat dengan Tuhan. Berpuasa berfungsi sebatas menunaikan kewajiban beragama agar terhindar dari dosa akhirat (neraka) dan dosa dunia (cibiran orang tua).
Seperti yang terjadi dengan Sale, pria muda usia 25 tahun dari Jawa Tengah, seorang penyewa kamar di apartemen bilangan pinggir kota Bekasi. Ia tidak sungkan untuk berpuasa sekaligus menjajakan kamar apartemen kepada muda-mudi tanpa kartu nikah. Ia mengetahui itu salah, tapi baginya itu tidak membatalkan ibadah puasa. Nilai amal hanya Allah Yang Maha Pengampun yang dapat menilai.
Mungkin hantaman kebutuhan terasa lebih menghunjam daripada nilai-nilai keagamaan yang ia dapat sewaktu masih kecil. Namun, selain Sale adalah bukan Tuhan atau otoritas yang boleh menilai, akhirnya puasa menjadi ibadah yang rahasia. Tidak ada yang mengetahui kualitas puasa kita. Tidak seperti syariat ibadah lainnya yang nampak, puasa berurusan dengan batin seseorang.
Berpuasa berbeda dengan sembahyang shalat atau zakat, kedua itu bisa ditampakkan dan tercampur dengan riya’. Tetapi puasa tetap menjadi rahasia setiap pribadi Muslim. Ia juga satu-satunya syariat ibadah yang bersifat ‘negasi’. Kita dilarang melakukan hal mubah seperti makan dan minum. Suami-istri dilarang bersenggama, di mana sebelumnya mereka boleh melakukannya sesuka hati mereka.
Sale mungkin menahan lapar dan haus sepanjang hari, tapi kualitas puasanya ditentukan bukan sebatas faktor menahan hasrat lapar dan haus. Selain Sale, muslim-muslim yang duduk di kursi-kursi kepentingan juga menahan lapar dan haus, sambil keputusannya merugikan pihak-pihak di bawahnya. Berpuasa dengan menahan lapar dan haus telah cukup untuk menunaikan kewajiban selama Ramadan, tetapi itu kemudian menjadi alasan mengapa setelah Ramadhan yang ke seribu, umat Muslim masih tidak dapat menyelesaikan konflik yang ada.
Masyarakat Syiah Sampang perlu melewati konflik selama lebih dari sembilan tahun untuk mendapat penerimaan kembali dari kelompok Sunni di Sampang. Mereka kembali bukan karena toleransi, melainkan setelah memutuskan kembali bermazhab sama dengan mayoritas muslim di Indonesia. Puasa tidak berhasil merefleksikan Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Pengasih dalam komunitas muslim Indonesia. Puasa tidak membangun jiwa-jiwa yang menahan hasrat pribadi dari merasa benar sendirian.
Alhasil, puasa di tengah pandemi tidak ada beda dengan biasanya. Kita tidak menahan pendengaran kita dari informasi-informasi yang menyesatkan dan menimbulkan perpecahan. Kita tetap memamah biak hasrat-hasrat kita melalui pandangan terpesona terhadap idola-idola virtual. Puasa di tengah pandemi masih tidak berbeda, penguasa-penguasa masih menyakiti masyarakat dengan memutuskan kebijakan yang meresahkan masyarakat.
Sartre boleh saja bilang “eksistensi mendahului esensi” sebagai dasar dari pemenuhan hasrat-hasrat manusiawi dan pembebasan atas batas-batas yang ditentukan oleh selain dirinya. Tapi, puasa selama ribuan tahun adalah kontra narasi dari pemikiran filosof Prancis tadi.
Sir Muhammad Iqbal memahami eksistensi manusia sebagai subjek yang terhubung dengan Sang Pencipta. Narasi manusia sebagai pusat dari tindakannya sendiri ditolak dan digantikan dengan tindakan yang mencerminkan keadilan. Pendapat ini didorong asumsi bahwa manusia adalah cerminan manifestasi dari Tuhan yang Maha Sempurna.
Di tengah pandemi, Ramadan tetap memberikan suasana yang unik dan khas. Ia memaksa kita terbangun pagi-pagi buta untuk menyantap sahur. Suasana hening pagi itu bisa saja membuat pikiran kita berkeliaran jauh, memikirkan hal-hal yang tidak terpikir di siang hari, berpikir tentang diri, menjadi manusia, berpikir tentang busuknya hidup kemarin atau berpikir nakal soal apapun.
Tetapi, Ramadan ini belum sepenuhnya berakhir. Tidak perlu menargetkan diri menjadi Santo di akhir Ramadan. Tetap realistis dengan waktu yang ada, setidaknya kita bisa memahami bahwa Ramadhan bukan urusan menjaga perut dan lubang pipis. Ia bisa dimaknai sebagai momentum untuk memahami jika diri kita bukan pusat semesta. Manusia hidup bersama hasrat agar tetap hidup, bukan hidup untuk memenuhi hasrat.
*Penulis adalah Mahasiswa Hauzah Ilmiah Al-Musthafa Jakarta yang sedang menggeluti filsafat Islam
Sumber Foto: @adli.dzilikram (Instagram)