Lpmarena.com – Sesaat setelah aparat memuntahkan empat selongsong gas air mata, saya teringat beberapa jam sebelumnya ketika seorang wartawan yang saya temui di Desa Wadas mengaku menyiapkan odol. Ia berjaga-jaga bila nanti kerusuhan pecah dan polisi menembakkan gas air mata. Saat itu pukul sepuluh pagi, saya punya keyakinan naif bahwa kerusuhan tidak bakal terjadi. Saya kira rencana sosialisasi pengukuran dan pematokan lahan Desa Wadas—yang bersikeras ditolak oleh warga—hanya memerlukan barang remeh-temeh: katakanlah, alat pengeras suara dan tenda-tenda.
Keyakinan saya buyar setelahnya. Jumat (23/4) menjelang siang, di sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilewati satu mobil di Dusun Kaliancar, ratusan polisi bersiap memasuki desa. Di depan mereka, warga duduk mengular menutupi jalan. Mereka ramai-ramai berzikir, “Hasbunallah wanikmal wakil.” Kalimat itu berarti “Cukuplah Allah sebagai tempat bagi diri kami”; sebuah ucapan berserah diri kepada Tuhan untuk mendapatkan takdir terbaik. Sebagian dari warga membaca kalimat itu keras-keras, hampir berteriak. Sebagian yang lain dengan suara lirih membacanya dengan badan yang gemetar.
Di depan barisan warga ada dua batang pohon ditumbangkan untuk menghadang jalan. Saya melintasi batang pohon itu untuk melihat keadaan. Dari arah yang berlawanan, terlihat dua mobil aparat telah memasuki desa. Belakangan saya menghitung sekitar dua puluh mobil polisi datang ke lokasi.
Mengaku ingin berdialog, salah seorang aparat berbicara menggunakan megafon. Polisi lain menyalakan gergaji mesin, memotong pohon penghalang. Anggota lain berperalatan lengkap, membawa pentungan, perisai, dan senapan gas air mata, perlahan mendekati pohon penghadang terakhir warga. Semakin keras warga membaca kalimat berserah diri.
***
Rencana sosialisasi pengukuran lahan pagi itu adalah rangkaian tahapan agenda penambangan batu andesit di Wadas. Penambangan itu telah direncanakan sejak 2017. Kala itu, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) dan pihak yang bekerjasama mendatangi rumah Kepala Desa Wadas. Mereka menyampaikan perencanaan penambangan batu andesit untuk bahan material pembangunan Bendungan Bener.
Setahun setelahnya, tahun 2018, melalui SK Nomor 660.1/19, Gubernur Jawa Tengah membuat keputusan sepihak. Ia berisi rincian penambangan: pemotongan dan pengerukan bukit sebesar 19.800.778 m3. Dalam SK juga tertulis, pengambilan batuan sebesar 15.530.028 m3 akan dilakukan dengan bahan peledak. Volume material batu yang dibutuhkan dari Desa Wadas berkisar ±41 juta m3.
Setahun yang lalu, tepatnya Januari 2020, saya mendatangi Wadas untuk pertama kali bersama rekan dari ARENA. Kami datang untuk mengobservasi kondisi desa dan keadaan warga. Saat itu, berita yang kerap tersiar adalah tentang tanah Wadas yang gersang. Namun yang kami temui justru sebaliknya.
Warga punya banyak sumber penghasilan di sana. Ada warga yang mendapat penghasilan dari menjual kayu keras, kemukus, dan menganyam besek dari bambu yang melimpah di desa.
Sekali waktu saat pagi buta, saya dan beberapa rekan mendatangi seorang warga yang mendapat penghasilan dari menjual aren. Kami mengobrol barang sebentar lalu menaiki bukit di belakang rumahnya, di kebun tempat pohon-pohonnya tumbuh. Pagi itu dingin dan kami belum makan sama sekali.
Saat proses penyadapan, kami tak dapat melihat dengan jelas proses penyadapan itu berlangsung. Maklum, tak ada satu pun dari kami yang bisa memanjat. Kami hanya melihat, warga itu turun dari pohon dan menunjukkan cairan nira di dalam bambu. Ia lantas mengajak kami kembali ke rumahnya. Di rumah yang terletak di bawah kebun tersebut, ia meminta kami mencicipi nira itu, sarapan, dan membawa tuak saat pulang.
Menurut data yang disajikan LBH Yogyakarta dan WALHI, Desa Wadas merupakan salah satu desa yang memiliki kekayaan alam melimpah dan merupakan kawasan perkebunan.
Komoditas yang dihasilkan per tahun kurang lebih mencapai 8,5 milyar, seperti kayu keras dapat mencapai 5,1 miliar per lima tahun; durian 1,24 miliar per tahun; kemukus 1,33 miliar per tahun; jati 1,73 miliar per lima tahun; aren 2,6 miliar per hari; mahoni 1,56 miliar per lima tahun; dan sengon 2,09 miliar per lima tahun.
Kekayaan alam itu, saya kira, menjadi alasan utama warga menolak penambangan di desa mereka. Pada dasarnya, mereka tidak menolak Bendungan Bener, tapi mereka hanya menolak lokasi penambangan batu andesit yang bertempat di desa mereka. Atas dasar itu, mereka pun melakukan berbagai aksi.
8 November 2018, warga menempuh perjalanan 100 km untuk menggelar demonstrasi pertamanya di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. Namun Gubernur tak dapat ditemui. Kemudian mereka melakukan aksi di depan Kantor Bupati Purworejo, 8 Januari 2019. Hasilnya sama.
Rangkaian aspirasi itu terus disuarakan warga ke berbagai pihak: BBWS-SO, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purworejo, Polres Purworejo, BBWS-SO lagi. Aksi kedua di BBWS-SO itu cukup berbeda dengan yang pertama. Aksi di BBWS-SO pertama digerakkan oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa). Namun, aksi kedua justru digerakkan oleh ibu-ibu Wadas yang tergabung dalam komunitas bernama Wadon Wadas.
Pada mulanya, Gempa Dewa adalah satu-satunya tempat warga mengorganisir diri dan berdiskusi mengenai penolakan lokasi tambang batu andesit di desa mereka. Seiring berjalannya waktu, komunitas lain tumbuh, seperti Kamu Dewa (Kawula Muda Desa Wadas) dan Wadon Wadas.
***
Penolakan warga Wadas terhadap rencana penambangan di desa cukup kuat. Namun, BBWS-SO dan pihak lain yang bekerjasama juga bersikeras menjadikan Wadas sebagai lokasi tambang. Ini mungkin didorong oleh keterbatasan waktu Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang akan berakhir bulan Juni 2021.
Sementara IPL mendekati tenggat akhir, tanah Desa Wadas belum juga diinventarisasi. Inventarisasi yang dimaksud adalah pengukuran tanah milik warga. Di Wadas, inventarisasi belum berjalan karena ada penolakan dari warga sejak mula proyek.
Sementara itu, desa lain yang terdampak Bendung Bener telah diinventarisasi, dinilai harganya dan dalam proses penerimaan ganti rugi. Kendati demikian, proses ganti rugi pembebasan lahan itu tak lepas dari masalah. Banyak warga mengeluh pencairan uang yang sangat lambat.
Tukiran, Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Purworejo, memberi alasan dibalik lambatnya proses pencairan uang ganti rugi itu. Ia menjelaskan bahwa pencairan uang ganti rugi bisa dilakukan setelah disetujui oleh LMAN dan pihak yang terkait. “Kami hanya fasilitator,” terang Tukiran saat ditemui di kantor BPN Purworejo, Senin (15/3).
Tukiran juga mengatakan, seiring proses pembayaran di desa-desa terdampak, BPN juga akan melakukan inventarisasi di Wadas. Menurutnya, bila desa terdampak lain sudah mendapat uang ganti rugi, Wadas akan menerima rangkaian proses penambangan batu andesit.
“Ibarat kita makan bubur panas aja ning pinggir-pinggir dulu, yang gampang-gampang dulu yang kita makan, yang dingin-dingin dulu,” Tukiran memberi perumpamaan.
Namun, apakah warga akan tergiur dengan uang? Suatu sore di Wadas, saya pernah berbicara dengan Siswanto, pemuda Wadas. Terkait uang ganti rugi tanah, Siswanto yakin seberapa pun besarnya uang ganti rugi, tak akan dapat menggantikan nilai tanah—sebuah keyakinan yang cukup berdasar melihat kebanyakan warga mendapat penghasilan dari kebun. Uang ganti rugi bisa habis, tapi tidak dengan tanah dan hasil kebun.
***
Satu bulan setelah pertemuan saya dengan Tukiran, jadwal inventarisasi Wadas pun terbit. Sosialisasi pengukuran lahan dan pemasangan patok rencananya akan dilakukan tanggal 22-23 April. Berita itu tersiar luas. Melalui akun Instagram @wadas_melawan, warga mengundang relawan aktivis untuk menghalangi proses sosialisasi. Saat undangan itu pertama kali diunggah, saya kerap mendengar bahwa kemungkinan besar akan terjadi geger gedhen.
Namun, geger gedhen di bayangan saya hanyalah geger biasa yang hadir membersamai warga sejak rencana penambangan tersiar. Saya pernah menyaksikan geger itu setahun lalu, ketika sebuah drone melintas di langit Wadas dan seluruh pemuda mengejarnya. Mereka curiga drone itu terbang di atas desa untuk mengukur tanah.
Cerita lain pernah saya dengar dari seorang lelaki yang kerap disapa Gus Fuad. Suatu hari, ada penjual kasur yang mendatangi desa. Warga yang saat itu melihatnya tak menggubris. Sampai akhirnya, anak dari Gus Fuad melihat penjual kasur itu memakai atribut BBWS-SO dan memberitahu ayahnya. Namun, penjual kasur itu sudah hilang dan keluar dari desa ketika Gus Fuad mencarinya.
Geger gedhen itunyata, sebab warga telah trauma dengan kedatangan pemrakarsa Bendungan Bener yang mencoba merampas lahan mereka. Dan, kecurigaan tertinggi warga selalu tertuju pada aparat militer. Sebab, kita semua tahu, di tanah konflik pihak keamanan justru lebih sering memberi ancaman.
Begitulah, hingga Jumat siang itu, saya masih belum bisa membayangkan geger yang lebih besar. Hingga akhirnya, warga yang duduk mengular sepanjang jalan di Dusun Kaliancar berhadapan dengan polisi yang berbaris. Di tengah mereka terdapat dua batang pohon yang disiapkan warga untuk memblokade jalan. Salah seorang aparat mulai memotong pohon penghadang jalan dengan gergaji mesin. Mereka maju.
Jarak polisi dan warga semakin dekat. Warga mulai berteriak membaca kalimat pasrah. Beberapa orang terlihat menangis dan ditarik ke belakang barisan. Beberapa orang lainnya memasang badan, mendekati pohon yang menjadi pagar terakhir.
Setelah pohon penghadang disingkirkan, kini giliran Wadon Wadas yang maju ke depan barisan. Aparat dan ibu-ibu itu pun terlibat kontak fisik. Menggunakan megafon, polisi meminta perwakilan warga untuk berdialog, tapi ajakan dialog itu juga beriringan dengan bentakan. Dua orang aparat, satu memakai seragam polisi dan satunya menggunakan kemeja putih, membentak seorang perempuan dan menuduhnya telah memprovokasi warga.
Perempuan itu adalah anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Ia meminta aparat tetap tenang. Permintaannya tak berbalas, ia justru ditarik. Perempuan Wadas yang mengelilinginya lantas menjerit, menarik tangan dan memegang kakinya agar tidak dibawa polisi.
Seorang relawan solidaritas lain pun mendatangi pendamping tersebut. Relawan itu menghadang agar polisi dan Pendamping tak terlibat kontak fisik lagi. Tapi, baju dan lengannya ditarik oleh polisi. Rambutnya dijambak, kepalanya dipiting dan ia diseret masuk ke barisan polisi. Untung saja, ia ditarik kembali oleh warga.
Aksi polisi membuat warga panas. Mereka mulai mendorong polisi. Sebuah batu besar melayang ke barisan polisi, disusul dengan lemparan batu lain. Polisi membalasnya dengan menembakkan gas air mata empat kali.
Saya melihat itu semua dari dataran yang lebih tinggi, sekitar satu meter di atas lokasi rusuh. Gas air mata membuat warga kocar-kacir. Mereka mundur dan polisi merangsek maju, mengincar para relawan. Beberapa di antara mereka ditangkap, tentu setelah digebuk terlebih dahulu. Begitu pula beberapa warga, mereka digebuk dan ditangkap.
Polisi yang memegang megafon pun mulai lanjut berbicara, bahwa tidak ada sosialisasi pengukuran dan pemasangan patok hari itu. Mereka hanya ingin lewat. Dan benar, mereka memang hanya lewat, setelah menangkap 12 orang dan membikin 9 warga luka-luka. Salah seorang yang ditangkap akhirnya dilepas, sementara sisanya dibawa ke Polres Purworejo.
Beberapa polisi pun terlihat menaiki kendaraan masing-masing, mobil dan motor. Sembari mobil polisi satu per satu melewati jalan, saya menghitung ada sekira 20-an mobil yang dibawa polisi. Motor lebih banyak lagi.
Belasan polisi lain masih terlihat memajangkan diri di jalanan. Mereka belum kehabisan nafsu untuk menangkap warga dan aktivis. Luthfi, wartawan pers mahasiswa ARENA, juga mendapat intimidasi. Saat mengambil gambar, ia didatangi polisi dan disuruh mematikan kamera.
“Matiin engga, Mas?”
“Saya media, Pak.”
“Kamu matiin atau saya tangkap?”
Nando, wartawan pers mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia, juga sempat ditanyai aparat. Aparat memintanya memperlihatkan identitas. Habis kejadian itu, kami terus bersama mengunjungi rumah-rumah warga. Salah seorang warga yang kami temui bernama Budin. Lengannya terluka dan dibebat kain, setelah ia menangkis pentungan aparat yang hampir mendarat ke kepalanya.
Usai mengobrol sebentar, kami pamit untuk mencari seorang teman dari pers mahasiswa Poros yang tak kunjung terlihat setelah kerusuhan pecah. Kami mencoba mengontaknya, tapi tak ada jawaban. Sinyal di desa itu buruk dan menghambat komunikasi kami. Untungnya, kami menemukannya di Balai Desa Wadas. Kami pun beristirahat di rumah warga dan menuju Polres Purworejo di waktu sore, untuk menanyakan nasib warga dan relawan yang ditangkap.
Di atas motor, di tengah perjalanan menuju Polres, saya masih mengingat jelas kejadian siang itu: tentang pemukulan, penangkapan, dan tembakan gas air mata.
Reporter Sidratul Muntaha | Redaktur Zaim Yunus | Ilustrator Firdan HK