Oleh: Zaim Yunus*
Ia menatap layar laptop dan memasang raut muka serius. Ia seperti sedang mengerjakan tugas penting, di kos yang harga sewa per bulannya jauh lebih murah dari tiga dus kecap Bango dan lebih mirip kamar mandi daripada tempat tidur. Matanya terpacak pada layar dan sesekali ia mengumpat, “Anjing!”.
Sebenarnya ia pria kalem. Hanya saja, pagi ini ia terlampau fokus dan tak bisa diganggu; ia sedang bermain video game.
Kita panggil saja pemuda itu Anto. Saya lebih suka memanggilnya begitu sebab ia punya nama asli, Nisbi, yang tidak ada lucunya sama sekali. “Anto” terasa lebih pas untuknya: ia berbadan kurus, banyak minum dan suka mencatat, dan terobsesi dengan kemenangan dalam game. Bila abjad A-N-T-O disusun ulang, anda bisa menyusunnya menjadi “onta” atau “nota” atau “tano”.
Belum genap satu tahun Anto mengenal game. Ia memiliki skill bermain medioker dan banyak mengeluh. Kepada saya, ia mengeluh kecanduan game, namun di waktu lain bercerita soal pentingnya game terhadap kesehatan mental, peningkatan fungsi motorik, dan perkembangan mutakhir bentuk karya seni.
Ia memaparkan itu penuh semangat, menggunakan gaya pengkhotbah akhir pekan, dan mengutip satu kalimat Martin Suryajaya dalam YouTube berjudul “Filsafat Video Game” sebanyak lima kali: “Di sana (di dalam game) ada penjumlahan dari berbagai macam ekspresi seni.”
Dengan mata merah kuyu khas orang-orang kurang tidur, Anto bertutur. Saya menyimak dan sadar betul yang ia utarakan penting didengar dan pantas direnungkan. Tak keliru. Tapi, saya belum tahu apakah saya akan sepenuhnya setuju.
Andrew Przybylski, Direktur Riset di Oxford Internet Institut dan penulis utama studi game, berujar dalam siaran pers, “Temuan kami menunjukkan bahwa video game tidak selalu buruk bagi kesehatan Anda.” Ia melanjutkan keterangan itu sambil menyebut ada fakta bahwa bermain game berhubungan secara positif dengan kesehatan mental.
Game bisa membuat bahagia. Dan, membatasi penggunaan game hanya akan menghalangi pemain merasakan manfaatnya. Pernyataan tersebut diambil dari hasil analisis atas efek game Plants vs Zombies: Battle for Neighborville dan Animal Crossing: New Horizons. Namun Anto melupakan satu hal, game lain mungkin punya efek yang berbeda.
Guna meyakinkan saya, ia pun menunjukkan sebuah artikel lewat gawai berlayar retak miliknya. “Hasilnya, tidak mengejutkan,” Anto melanjutkan membaca, “dan sudah dirasakan orang banyak. Video game bisa membuat seseorang lebih sejahtera!” Ia menutup kalimat terakhir dengan mengubah titik dengan tanda seru dan membayangkan kata “sejahtera” yang mungkin terlalu muluk-muluk.
Meski demikian, saya senang mendengarnya. Lagi pula, benar juga, ketika pandemi masuk di Indonesia, gamemenjadi salah satu alternatif mengatasi kebosanan di tengah Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Orang-orang punya banyak waktu luang, entah untuk membaca buku, bermain game, menonton film, ataupun menikmati penderitaan. Anto melakukan semua itu, yang terakhir menurut saya dapat porsi paling besar.
Negara gagap merespons pandemi kala itu. Dan, pemerintah kita tampaknya berisi orang-orang cerdas yang kreatif menghadapi bencana; mereka sangat efisien dan optimis. Mereka percaya pandemi yang merepotkan dunia bisa beres dengan sebungkus nasi kucing atau susu kuda liar atau kalung ajaib dari ekstrak eucalyptus. Alhasil, ekonomi berjalan ke arah minus dan banyak pelaku usaha ambruk. Dan, seorang karyawan seperti Anto banyak yang dirumahkan—jika tidak mau menyebutnya dipecat.
Saat itu pula ia mengunduh game pertamanya: Adorable Home.
Gamesantai produksi perusahaan HyperBeard ini memanjakan mata dengan artwork bergaya kartun yang menggemaskan. Selain itu, anda tidak butuh akses internet untuk bermain dan tidak perlu banyak strategi untuk naik level. Hanya ketelatenan. Kalaupun tidak sabar, anda bisa menginstal game versi mod yang bertebaran di web ilegal.
Sebuah artikel berjudul “Ada yang Dapat Menyusup Masup ke dalam Adorable Home” ditulis akun bernama Benji menggambarkan pembukaan game ini dengan sangat bagus. Saya akan mengutip dan mengubahnya sedikit:
“Kau mendapati dirimu berada di ruang yang dilengkapi TV layar lebar dan tangga.” Benar. Anto punya rumah dalam game ini. “Pasanganmu merupakan seorang buruh, sepertinya.” Anto juga punya pasangan. “Lantaran kau tak punya pekerjaan, kau bakal menyiapkan makanan dalam bento box untuknya. Kau juga memilih kucing-kucing baru dan perabotan untuk mengisi rumahmu yang kosong. Kau membeli itu dengan mata uang berbentuk hati; kau membeli semuanya dengan cinta.”
Bila anda pernah bermain Neko Atsume: Kitty Collector, kira-kira seperti itu gambarannya.
Pemain Adorable Home mendapatkan kepingan hati dengan menyelesaikan kegiatan kecil, seperti merawat kucing dan menyiapkan makan untuk pasangan. Jika menyelesaikannya dengan baik, cinta yang diperoleh semakin besar. Bermodalkan cinta yang mereka berikan itu, Anto bisa membangun kolam ikan di taman, memajang bonsai, membeli piano hingga menempelkan lukisan Van Gogh, The Starry Night, untuk mempercantik ruang rumah.
Anto merasa menjadi pengangguran paling bahagia tanpa perlu merasa setengah mabuk dan setengah lapar. Ia punya pasangan yang baik dan kucing-kucing yang lucu. Tidak ada tagihan listrik. Tidak ada cicilan rumah yang tenggat waktu. Tidak ada alasan menjadi selibat karena menganggap orang lain menjengkekan.
Adorable Home adalah dunia ideal Anto. Meski dua bulan kemudian, ia menghapus game tersebut dari perangkat dengan alasan, “Bosan. Semuanya terlalu mudah.”
Anto mencari tantangan baru. Ia pilih game yang jauh lebih berat, secara ukuran maupun rintangan, ialah Assassin’s Creed: Syndicate. Game itu berlatar Paris dan London kala Revolusi Industri mengguncang. “Hitung-hitung sekalian belajar sejarah,” kata Anto.
Ia merasa dirinya makin pintar setelah memainkannya. Ia banyak membicarakan tokoh tersohor yang muncul dalam game. Yang paling sering ia ceritakan kepada saya adalah dua orang bernama Charles, yaitu Charles Dickens dan Charles Darwin.
Berbekal mesin pencarian Google dan rasa penasaran akan game itu, saya mendapati sebuah skripsi dari Satryo Priyamboho, seorang mahasiswa UNIKOM. Salah satu tujuan penelitiannya adalah “identifikasi dampak dari aspek kapitalisme terhadap masyarakat London pada game Assassin’s Creed: Syndicate.”
Saya heran dengan peningkatan drastis kemampuan Anto dalam bercerita. Yang saya lihat dalam game ia hanya menjalankan peran sebagai pembunuh dan tukang pukul. Teknik andalannya membanting kemudian menikamkan belati di tembolok lawan. Saya tidak tahu kalau gebuk-gebukan bisa membuat kita paham sejarah.
Namun, ternyata saya salah sangka. Alur kisah dalam game ini adalah tambang berharga bagi pendulang pesan moral.
Dalam layar 17 inci, seorang pria tua minta bantuan. Ia hendak mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas serikat pekerja, tapi polisi selalu memata-matainya, “Mereka menempel padaku seperti lalat,” kata pria tua itu. Demi menuntaskan misi, dan tentunya demi kesejahteraan pekerja, Anto harus mengawal pria itu dan memastikan polisi tidak ikut campur.
“Dia Karl Marx,” kata Anto. “Ia yang mengilhami pemuda dari Ulyanovsk mengubah tatanan bumi menjadi lebih baik.” Kemudian, Anto menjeda permainan selama tiga puluh menit untuk menceritakan betapa pentingnya pria itu untuk dunia.
Gara-gara game itu, Anto pengin jadi guru sejarah dan pengin cepet-cepet merebut alat produksi. Kini, ia merasa bermain game adalah tindakan mulia, bagian dari ibadah, bagian dari perjuangan kelas.
Berminggu-minggu, setelah ia “dirumahkan” dari pekerjaannya sebagai penulis konten untuk produk obat kulit, ia tetap menganggur dan bermain game. Sesekali jika ada waktu luang saya menemaninya, meski hanya jadi penonton; kadang-kadang saya ikut bermain, meski mati setelah dua menit memegang stick.
Namun, Anto tampaknya terlalu lama menatap layar laptop. Ia mengaku kurang enak badan, kepalanya seperti kentang rebus, dan ia mengaku pusing bukan kepalang. Kami tidak pergi ke rumah sakit, selain memang tak ada uang, selama masa pandemi berobat adalah urusan rumit. Sebagai teman yang baik, saya ingin mengobatinya. Saya memanaskan air dan mengerok punggungnya dan berharap ia segera sembuh.
Sayang sekali, tak kami temui Adorable Home di sini: cinta tak bisa membeli apa pun. Dan, karena telalu sering bermain game, kami makin jarang olahraga—mana bisa jadi seorang asssassin?
*Penulis pernah aktif di Komunitas Android Kendal
Ilustrasi: Faqih Sampurno