Home CATATAN KAKI Puasa: Medium Refleksi Terbaik yang Kita Punya

Puasa: Medium Refleksi Terbaik yang Kita Punya

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Mahdi Ruhani*

Bukan tanpa alasan puasa menjadi ibadah yang utama. Rahasia di balik itu ialah puasa bermakna menahan. Ia meminta seseorang untuk menjaga dirinya dari menyaksikan selain Dia. Namun, masalah muncul ketika Dia sendiri yang memberikan ego dengan daya hasrat pada manusia.  Hingga kemudian menjadi babak dilematis karena manusia harus menghadapi pergolakan batin yang tidak mudah.

Ego adalah lokus di mana seluruh pengalaman berkesadaran kita berkumpul. Ego adalah kesadaran itu sendiri, memilih dan bertindak adalah contoh fenomena yang berdasar atas ego. Ego bersifat subjektif, oleh karena itu ia hanya dimiliki oleh kita secara personal. Sekalipun keinginan antara sepuluh manusia itu sama, hasrat ego itu terjadi secara khas pada setiap insan.

Tentunya ego sebagai ihwal yang halus dan tidak terdeteksi oleh kacamata indera mendapat penolakan oleh kalangan empiris. Tetapi Sir Iqbal berpendapat jika ego terpahami langsung oleh intuisi manusia, di mana ia hadir ketika manusia mulai memutuskan untuk bertindak. Maka, tak heran jika ego berkaitan langsung pada tindakan manusia.

Manusia tidak bisa menolak adanya ego, mereka harus menerima kehadiran tersebut. Menurut Islam, ego berfungsi untuk mengarahkan tindakan manusia, akan tetapi ia juga berpotensi menjadi sumber kekacauan. Sir Muhammad Iqbal dan Soren Kierkegaard adalah dua tokoh yang mengakui eksistensi manusia yang subjektif dan nyata.

Pergolakan batin pada manusia pun terjadi ketika ia mulai menentukan tindakan guna mencapai makna eksistensinya. Eksistensi yang paling dasar adalah ketika ego dipuaskan pada hasrat-hasrat spontanitas, sebagai pemuasan diri. Spontanitas adalah kata lain ketika sesuatu tidak melalui proses rasionaliasasi akan tujuan sebuah tindakan. Iqbal menyebut pengarahan ego atas tindakan ini sebagai tidak bermakna.

Tindakan bermakna terjadi ketika kita mulai mempertimbangkan aspek teleologis darinya. Eksistensi ini mulai mengatur ego pada pertimbangan rasional dan berorientasi kepada fungsi-fungsi sosial. Baik dan buruk, benar atau salah. Nilai-nilai yang berlaku secara kehidupan sosial.

Di bagian ini, puasa kemudian menjadi medium yang tepat untuk manusia berkontemplasi dan melatih ego dari putusan-putusan spontan. Ia melarang manusia dari kebutuhan alamiahnya–makan, minum, dan seks–selama beberapa jam dalam sehari, sepanjang 30 hari di bulan Ramadan. Secara syariat Islam, puasa melarang aktivitas di atas dari terbit fajar hingga terbenam matahari dilakukan manusia, serta larangan lain yang tidak kita bahas di sini.

Akan tetapi, puasa pada ranah hakikat bukan sekadar praktik syariat menahan hasrat biologis. Ia meminta manusia untuk mengontrol tindakannya dari ketidakbermanfaatan dan mengarahkan tindakan itu tidak kepada selain diri-Nya. Kierkegaard menyarankan kita agar bisa menyadari eksistensi kita dengan perhitungan akal sebagai batas. Kita harus cermat melihat tujuan dari tindakan kita. Dan bertanya: apakah kita masih bergerak pada modus hasrat yang sama?

Para sufi selain Kierkegaard, mencirikan lebih detail modus-modus hasrat yang halus tersebut. Membaca buku yang menyesatkan, mendengar yang mengeraskan hati, menyentuh yang menimbulkan birahi, mengucapkan yang melukai hati, mencium yang menciptakan rasa benci merupakan sebagian dari banyak yang perlu diawasi secara lahiriah.

Sedangkan, dari aspek batiniah manusia perlu menjaga fungsi akalnya. Imajinasi, memori, dan pikiran adalah ketiga sub-akal yang harus adil dan tidak digunakan untuk memenuhi hasrat ego.

Semua penjelasan di atas bukanlah tujuan dari tindakan, melainkan sarana menuju sebuah tujuan. Pergolakan batin adalah niscaya ketika kita kemudian memaksa membatasi ego, dalam hal ini sub-ego sebagai hasrat yang bertindak secara spontan. Wilayah eksistensi yang mampu mendudukan sub-ego dan rasio secara spasial kemudian disebut eksistensi etis oleh Kierkegaard.

Wilayah eksistensi yang dibagi oleh Kierkegaard terjadi berdasarkan pemikiran tentang pergolakan batin manusia dan pengalamannya yang subjektif. Artinya, pilihan hidup antara manusia tidak terjadi secara objektif, melainkan beragam sesuai konteks personal manusia. Dan pengalaman ego tersebut bersifat gradual sehingga menciptakan wilayah eksistensi yang berbeda pula.

Perlu diakui subjektivitas pengalaman manusia lebih sering dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia tidak melampaui hukum-hukum dalam alam materi. Dengan kata lain, ia tidak dapat memastikan sebuah kebenaran yang objektif dari hidup yang jalani. Ia tidak mengetahui nilai pasti dari tindakan-tindakan yang ia lakukan, sekalipun ia meyakininya.

Dalam konteks puasa, manusia tidak pernah mengetahui capaian objektif dari puasa atau ibadahnya. Ia tidak mampu memastikan apakah puasa yang telah ia lakukan telah diterima ataukah tidak. Menurut Kierkegaard, manusia cukup dengan meyakini tindakan kita telah disandarkan kepada objek kebenaran. Tidak penting nilai dari puasa kita, melakukannya atas dasar keyakinan yang tulus terhadap puasa itu sendiri sudah lebih baik.

Malahan, jika kita terus mempertanyakan nilai puasa bersamaan dengan harapan atas selain-Nya, adalah hijab itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, puasa adalah menahan dari tindakan yang mengarah kepada selain-Nya. Akhirnya, puasa menjadi ibadah yang tetap akan menjadi rahasia bagi yang menjalankannya.

Puasa harus dimaknai sebagai medium yang paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia memaksa kita mengawasi ego dari menjadi egois. Ia menahan ego kita agar bertindak dengan lebih berhati-hati, peka sosial dan bermanfaat bagi sosial.

Selain pembagian wilayah eksistensi, Kierkegaard pun menasihati kita agar menjalani hidup yang otentik, lepas dari kepalsuan. Kepalsuan terjadi ketika karakter batin kita ditutupi oleh perbuatan berpura-pura di depan publik. Di mana antara keduanya, terjadi ketidak selarasan. Saat berpuasa sangat mungkin kita telah melakukan kepalsuan dalam beribadah. Modusnya bisa banyak, tetapi korban dari kepalsuan itu sudah barang tentu kita sendiri.

Ramadan di mana kita sebagai Muslim wajib berpuasa menjadi ruang refleksi yang baik. Ketika kita menahan diri dari lapar dan haus, kemudian kita tertahan dari banyak bicara karena badan kita yang lemas. Kita menjadi lebih banyak diam atau setidaknya hemat mengeluarkan suara. Keheningan itu mungkin membawa manusia pada pikirannya sendiri dan menyoal pilihan-pilihannya yang lalu dan akan datang.

Ia lebih banyak merenung dan memperhatikan sekitar, berusahan memahami tapi tanpa bahasa yang sering tidak terpahami. Renungan itu mampu menuntunnya kepada pikiran tentang Ego Absolut—sumber  ego-ego yang ada—atau ia malah menjebaknya pada pikiran yang ego-sentris atas dirinya.

Akhirnya, puasa kembali menjadi rahasia mistis yang tidak kita ketahui hasilnya, apakah ia membawa pengaruh pada sosial atau minimalnya diri kita sendiri atau tidak. Yang pasti puasa adalah perjalanan yang memiliki tujuan. Meski, ketersampaian adalah sesuatu yang belum bisa kita validasi.

Hafiz pernah bersyair soal perjalanan ibadah yang manusia lakukan:Penyelaman lautan tampak mudah, dengan harapan akan membuahkan hasil / Tetapi mutiara seharga badai dan penderitaan / Mereka yang tenang di pantai, dengan kedamaian pikiran / Tidak akan tahu badai kita, gelombang dan gelapnya malam!

*Penulis adalah Mahasiswa Hauzah Ilmiah Al-Musthafa Jakarta yang sedang menggeluti filsafat Islam

Sumber Foto: CNN Indonesia