Oleh: Mahdi Ruhani
Tahun 1979, di bulan April, rakyat Iran bergembira merayakan kemenangan revolusi mereka. Sosok ulama yang dielu-elukan namanya membawakan pidato kemenangan yang pertama. Sementara di kubu oposisi, Mohammad Reza Shah pergi terusir dari negaranya. Di tengah suasana yang ramai akan hiruk pikuk suara, Imam Khomeini, ulama bersorban hitam itu berkata dalam pidatonya, ‘Iran ingin menjadi penentu dari nasibnya sendiri. Rakyat berkata: “Kami tak ingin kerajaan.” Bila mereka berhasil menjatuhkan kerajaan maka mereka akan berhasil menentukan nasib mereka sendiri.’
Pidato yang terekam oleh Nasir Tamara di dalam buku “Revolusi Iran” menjadi tanda dari keseriusan Imam Khomeini membela keadilan. Bagi dirinya imperialisme dan kolonialisme adalah musuh dari kemanusiaan. Tak hanya muridnya dalam ilmu keagamaan, perjuangan Imam Khomeini untuk revolusi rakyat Iran saat itu diamini oleh kalangan sekuler, komunis Iran, dan lintas iman. Kharisma kuat yang terbungkus kegigihan dan kejujuran membuat banyak masyarakat bersimpati dengan jalan revolusi saat itu.
Dari Iran kemudian menuju Palestina. Khomeini melanjutkan suara panjang pembelaan. Ia mencetuskan demonstrasi skala Internasional yang dikenal dengan “Internatonal Al-Quds Day” yang diperingati setiap Jumat terakhir di bulan Ramadan. Tujuan di balik hari tersebut adalah untuk melawan dengan terang aksi penjajahan oleh Zionis, Israel, Amerika dan sekutunya yang telah melanggengkan pendudukan ilegal di negeri Palestina.
Hari Al-Quds dilakukan dengan damai tapi tetap keras dengan tuntutan-tuntutannya. Ia meminta pencokolan Israel atas Palestina harus dihapuskan. Meski dilakukan tanpa mengangkat senjata, hari Al-Quds memberikan pengaruh yang lebih ganas dari membuat lubang di daging-daging musuh. Karena ‘peluru’ Al-Quds bertujuan menyasar langsung hati nurani dan kesadaran manusia alih-alih membuat bekas luka di tubuh lawan.
Untuk mencapai tujuan Al-Quds, Zuhairi Misrawi, menyebut diperlukan adanya refleksi komprehensif mengenai pentingnya menggariskan kemerdekaan Palestina dengan tegas. Imam Khomeini telah mengawali refleksi tersebut dengan memulai Al-Quds itu sendiri. Al-Quds adalah upaya gamblang selain gerakan taktis dan birokrasi untuk mencapai pembebasan Palestina.
Slogan “Hari ini Iran, Esok Palestina” adalah pernyataan Imam Khomeini yang begitu baik dikenang oleh Shalah Zawawi, Duta Besar Palestina untuk Iran. Dalam wawancara antara Shalah dengan tim berita IQNA tahun lalu (20/05), ia bersaksi atas ketokohan Imam yang senantiasa membela Palestina. Kantor Kedutaan Palestina merupakan bukti nyata sikap keberpihakan Imam Khomeini atas negeri yang sedang menjadi sarang koalisi Zionis. Sebelum revolusi Iran, kantor tersebut adalah Kedutaan Israel untuk negeri ‘Seribu Mullah’ itu.
Selain kekaguman atas sosok revolusionis iu, Shalah pun menggambarkan dengan yakin posisi Imam yang membela Palestina. Menurutnya, salah satu tujuan jelas dari aksi Al-Quds adalah pencegahan dan perlawanan atas proyek besar Israel dan Amerika untuk membangun kawasan Israel Raya. Jika umat Muslim tidak mempertahankan Palestina, maka itu menjadi celah kelemahan yang diharapkan oleh musuh-musuh Islam.
Imam Khomeini sekalipun sudah 40 tahun sejak kematiannya, tetap memberikan pengaruh signifikan terhadap upaya pembelanaan Palestina. Hal itu tercermin dari semangat juang dan pemikiran beliau yang tertanam kuat di benak para muridnya dan tokoh-tokoh yang mempelajarinya, seperti Syahid Qassem Sulaemani dan Yasser Arafat dahulu.
Kedua tokoh tersebut tercatat dalam sejarah sebagai pengagum Imam Khomeini. Yasser Arafat bahkan mendatangi Imam saat Iran sedang melakukan revolusi mereka. Sementara Mayjen Sulaemani yang telah menjadi martir merupakan garda terdepan dalam membela Palestina. Ia membawa nilai-nilai yang terinspirasi dari Imam Khomeini. Itu terlihat dari pernyataan beliau yang menekankan perjuangan atas tanah Palestina dan Suriah.
Deskripsi mengenai keagungan tokoh Imam sering kali terbalut dalam ungkapan orang-orang atas kesederhanaan hidup beliau. Prinsip membela kaum tertindas bukan hadir tanpa sebab. Ia dibentuk sepanjang kehidupannya. Keberhasilan mencapai kemenangan revolusi tidak menjadikan dirinya merasa lebih besar dari revolusi itu sendiri. Setidaknya itu terlihat dari tindakan pasca revolusi yang konsisten pada kepentingan masyarakat Iran, bahkan Palestina. Bukan kepentingan pribadi.
Orientasi politik Imam adalah implementasi konkrit atas nilai-nilai keislaman. Ia menyatakan ketidaksetujuan dirinya terhadap ulama-ulama Iran dahulu yang enggan terjun di politik dan merasa cukup berbicara di mimbar pengajian. Penggambaran situasi-situasi di atas terekam juga dalam buku ‘Biografi Politik Imam Khomeini’ oleh Reza Sihbudi.
Kita bisa menyebutkan jika perjuangan Imam Khomeini tidak akan lahir tanpa karakternya yang kuat. Sementara karakter-karakter tersebut pun tumbuh bersama dengan pemikiran Islam, filsafat, dan irfan yang ia temukan di lingkungan madrasah dahulu. Pemikiran irfan beliau pun jadi yang menonjol selain tindak praktis revolusinya. Salah satu kaidah dalam irfan yang ia wasiatkan pada anaknya Ahmad, yaitu tentang eksistensi manusia bersifat faqir bi dzat, eksistensi yang lemah dan bergantung kepada Allah.
Dengan pemahaman eksistensi manusia yang demikian, menurut Imam, akan mendorong manusia untuk tidak berbuat sombong dan egois, jauh dari hasrat pemikiran imperialisme dan menindas kaum lemah. Hal itu didasarkan atas kesadaran akan kelemahan eksistensi manusia sendiri. Sehingga, atas kesadaran itu manusia hendaknya rendah hati dan berdiri membela ketertindasan, berupaya menjadi manifestasi Allah Yang Maha Adil di muka bumi.
Revolusi Iran dan hari Al-Quds dibangun atas dasar kebencian terhadap kepongahan penganut imperialisme. Mohammad Reza Shah adalah salah satu lakon penting ketika menjerumuskan Iran ke dalam situasi krisis karena ketundukannya pada Amerika. Itu yang kemudian disorot oleh Imam Khomeini dalam pidato kemenangannya, “Seluruh yang dikerjakannya telah merusak berat negeri kita, sehingga dibutuhkan 20 tahun untuk memperbaiki.”
Demikian perjalanan seorang Imam Khomeini, seorang Rahbar ketika itu, yang menyadari akan kelemahan eksistensi manusia. Kebergantungan eksistensi membuat manusia tidak lebih mulia dari batu atau benda-benda lain. Tetapi, kesadaran akan kebergantungan dan kesiapan menjadi lokus penampakan Tuhan lah yang membuat manusia bisa lebih mulia.
Imam Khomeini dengan slogan melegenda, “Hari ini Iran, esok Palestina,” berhasil membuktikan keberpihakannya pada kaum tertindas. Iran telah 40 tahun lebih kini mencecap hasil revolusi. Suara-suara yang menggaungkan kebebasan Palestina terus mengudara, membakar semangat untuk kemudian menjadi aksi nyata perjuangan pembebasan kaum tertindas di negeri itu atau penjuru dunia lain.
*Penulis adalah Mahasiswa Hauzah Ilmiah Al-Musthafa Jakarta yang sedang menggeluti filsafat Islam