Dongeng, bagi orang tua, kerap hanya menjadi bacaan pengantar tidur dan khazanah ensiklopedik untuk anak. Ini bisa dilihat dari keyakinan naif orang tua kebanyakan bahwa dongeng adalah bacaan ringan untuk mengantarkan anak mengetahui banyak hal. Dari situ, anak bakal punya minat untuk membaca buku lantas jadi orang pintar kelak.
Hal itu mungkin ingin dibantah oleh Pustaka Mekar, seri buku Marjin Kiri untuk pembaca muda. Salah satu seri Pustaka Mekar itu berjudul Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang, buku cerita anak yang ditulis Luis Sepulveda. Dalam Kisah Seekor Camar, Luis Sepulveda cenderung mengedepankan aspek emosional daripada aspek pengetahuan ensiklopedik bagi pembaca mudanya.
Mungkin, lewat Kisah Seekor Camar, Sepulveda ingin menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah segalanya. Sepanjang sejarah peradaban, pengetahuan memang memainkan peran penting. Ia membantu kita memahami dunia. Namun di satu sisi, pengetahuan bisa merusak. Pengetahuan bahkan merupakan salah satu pemain kunci dalam resital pembangkangan terhadap “ibu bumi”.
Pengetahuan yang merusak bisa kita lihat pada awal cerita Seekor Camar. Kengah, camar betina, saat itu sedang mengorbit menuju Biscay untuk mengikuti rapat akbar burung camar dari Laut Utara, Laut Baltik, dan Samudra Atlantik. Ia bersama gerombolan camar dari Sungai Elbe yang tersambung dengan laut utara. Namun bencana tiba ketika Kengah mencoba melahap ikan haring di perairan yang tercemar tumpahan minyak.
Kengah memang lengah. Sebagai anggota kelompok camar, ia luput dari kaok peringatan navigatornya sebab terlanjur mencelupkan kepala untuk menangkap ikan haring. Tapi ia tidak terlalu naif untuk melulu menyalahkan diri saat bencana datang.
Kengah juga menyalahkan manusia, meski tidak semua. Ia mengutuk manusia di atas kapal tanker yang curi kesempatan saat laut berkabut untuk menguras tangki minyak kapal mereka.
Lantas apa hubungan kapal tanker yang menguras tangki minyak di atas laut dengan pengetahuan yang membangkang? Pengetahuan sejak awal mula modernitas, seperti yang kita tahu, tak lagi suci dari will to power. Atas nama pengetahuan, manusia mendefinisikan, mengkerangkeng dunia di sebuah penjara pikiran dalam kepala.
Berbekal pengetahuan, manusia menjelajahi dan menaklukkan dunia hingga yang tersisa hanya polusi. Pengetahuan memang tak selamanya buruk. Manusialah yang menentukan apakah pengetahuan digunakan sebagai cakrawala ensiklopedik, alat untuk menakluk, atau medium harmonisasi dengan alam.
Namun, seperti yang dikatakan Banyubiru, kucing yang separuh hidupnya dihabiskan di atas geladak kapal, kebanyakan manusia memilih mengubah bumi dan laut menjadi tempat pembuangan sampah raksasa.
Kengah hanyalah satu dari sekian banyak korban. Campuran minyak dan air laut membuatnya tak bisa terbang prima. Berpayah ia mengepakkan sayap hingga akhinya mendarat di bandara terakhir, pada balkon sebuah rumah di Hamburg. Di sana, ia bertemu kucing bernama Zorbas.
Kepada Zorbas, Kengah meninggalkan wasiat dan juga telurnya. Camar sekarat itu ingin Zorbas membesarkan anaknya dan mengajarinya terbang. Kengah pun mati dan membaptis Zorbas si kucing pelabuhan menjadi orang tua angkat dari seekor piyik.
Tapi bagaimana bisa?
Zorbas tak punya pengetahuan apapun soal terbang. Langit adalah dunia asing bagi sebagian makhluk hidup, terutama yang tidak bersayap. Pada mulanya, manusia bahkan hanya bisa memandangi langit, tanpa bisa menjelajahinya. Dari langit yang asing itu, manusia menciptakan mitos dan keyakinan.
Kemudian dengan pengetahuan, manusia belajar menjelajahi langit. Pada mulanya dengan balon udara, lalu pesawat hingga roket. Kini manusia bahkan punya stasiun di luar angkasa. Langit tak lagi menjadi sakral. Hanya misteri yang sedikit demi sedikit bisa dipecahkan melalui observasi dan persamaan matematis.,
Zorbas lantas mengajak piyik itu untuk belajar terbang pada Profesor. Profesor adalah kucing penjaga gedung berisi barang-barang antik dari seluruh dunia. Waktunya dihabiskan untuk membolak-balik halaman ensiklopedia. Mulai dari halaman bab A sampai Z, ia hafal semuanya.
Melalui ensiklopedia itulah profesor mencari tahu bagaimana cara terbang. Tepatnya dari ensiklopedia yang berisi soal “mesin terbang” dari Leonardo Da Vinci. Begitulah pengetahuan. Awalnya ia hanya ditemukan oleh seorang manusia, lalu menjadi tumpuan bagi makhluk yang lain.
Profesor pun percaya diri, dengan pengetahuan ia bisa mengajari seekor piyik menaklukkan langit. Pengetahuan Da Vinci adalah bahu raksasa yang tepat untuk menjadi lapangan lepas landas bagi seekor piyik.
Tapi ternyata tidak. Belasan kali piyik bernama Fortuna itu mencoba terbang, hasilnya nihil. Fortuna mulai kecewa. Sebagai seekor Camar, jenis burung yang tangguh menerjang badai, tak bisa terbang sangatlah memalukan.
Zorbas mungkin sedikit frustasi karena kegagalan Fortuna. Bila Profesor, kucing paling pintar di pelabuhan, tak bisa mengajari Fortuna terbang maka siapa lagi yang bisa? Rasa frustasi itu mendorong Zorbas melakukan pemali: berbicara dengan manusia. Mungkin, manusia sebagai makhluk yang paling punya kuasa atas pengetahuan lah yang bisa mengajari Fortuna.
Tapi siapakah manusia itu? Siapa manusia yang bisa diajak bicara oleh kucing dan mau mengajari seekor camar mengangkasa? Seorang manusia pintar, katakanlah ahli biologi, tak akan percaya ada kucing yang bisa berbicara begitu fasih. Kalaupun percaya, pada akhirnya hewan itu pasti tak lepas dari jerat eksperimen.
Hewan yang terlalu “cerdas” mesti menanggung resiko di hadapan manusia. Lihatlah, singa kini berada di sirkus, lumba-lumba membadut, dan burung beo dikurung dalam sangkar. Karenanya, bukan ahli biologi, bukan ilmuwan, melainkan penyair yang dipilih menjadi guru Fortuna.
Menjadikan penyair sebagai guru bagi Fortuna terbukti pilihan yang tepat. Meski pada awalnya kaget, penyair itu tak kurang ramah untuk memberi Zorbas sepiring susu. Ia juga mendengarkan persoalan Fortuna yang disampaikan Zorbas. Lalu, tanpa rumus dan persamaan matematis, ia melontarkan kredo yang diambil dari puisi Bernardo Atxaga:
Namun hatinya yang kecil/–hati para pemain akrobat–/tak mendamba apa pun/melebihi hujan menggila/yang nyaris selalu menghadirkan bayu/yang nyaris selalu menghadirkan surya..
Yang dibutuhkan seekor camar untuk terbang, bagi penyair itu, bukanlah pengetahuan. Ia, seperti para pemain akrobat, hanya membutuhkan hujan. Camar, burung yang sebagian riwayat hidupnya dihabiskan di laut, sangat akrab dengan hujan bahkan badai.
Camar hanya membutuhkan hujan, membutuhkan hubungan yang harmonis dengan alam. Tidak ada lain.
Lewat Kisah Seekor Camar ini, saya kira Luis Sepulveda ingin memberi tahu sesuatu pada pembacanya: bahwa pengetahuan bukan modal satu-satunya memahami alam. Sebab mengetahui kerap berujung pada menaklukkan. Dan, hubungan antara alam semesta dan makhluk hidup tidak semestinya takluk-menakluk.
Tentu ada alasan mengapa penyair yang Sepulveda jadikan guru untuk seekor Camar. Ini mungkin sebuah metafora. Pada akhir cerita Zorbas berkata “Bahwa hanya mereka yang berani terbang yang bisa terbang.” Keberanian, seperti yang kita tahu hanyalah sebentuk perasaan. Lapisan emosi dari sekian banyak jenis emosi yang lain. Dan untuk memahami lapisan emosi itu tak dibutuhkan pengetahuan. Kita hanya perlu sedikit rendah diri untuk tidak melihat alam semesta sebagai objek pengetahuan, tapi sebagai puisi gigantis.
Judul Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang | Penulis Luis Sepulveda | Penerjemah Ronny Agustinus | Penerbit Marjin Kiri | Cetakan 2020 | Tebal vi + 90 hlm | Peresensi Sidra Muntaha