Home BERITA Jessica: Menjadi Transpuan di Indonesia Tak Mudah

Jessica: Menjadi Transpuan di Indonesia Tak Mudah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Saya menjumpai Lesmana pertama kali ketika mengikuti sebuah aksi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di Gejayan hampir setahun lalu. Ia selalu berada di tepi barisan, melenggok dan sesekali berjalan ke tengah kerumunan masa aksi.

Waktu itu saya tak bisa lepas pandang.  Dengan rambut panjang terurai, memakai topi hitam, setelan serba hitam, serta topeng putih, Lesmana tampak mencolok. Barangkali ia tak hanya menarik perhatian saya. Selesai aksi, beberapa orang meminta berfoto dengannya.

Dalam kesempatan lain, saya kembali menemuinya. Kami bertemu di sebuah galeri seni. Ia bertugas sebagai panitia registrasi pameran di sana. Kami mengobrol banyak. Ia berkisah tentang dirinya: dari Lesmana hingga Jessica.

Enam tahun yang lalu, Lesmana menambahkan nama depannya, yaitu Jessica. Ayudya sebagai nama tengah yang memiliki arti kebijaksanaan.

“Ayudya itu kan pohon. Pohon bijaksana. Bahasa Sansekerta, pohon kebijaksanaan, dan dia teguh,” jelasnya.

Sekarang, Lesmana lebih dikenal sebagai Jessica Ayudya Lesmana. Transgender yang aktif menyuarakan isu-isu transgender dan kaum marjinal. Setiap minggu, ia berkumpul bersama dengan kamu transgender lain di Pondok Pesantren Waria Yogyakarta. Kadangkala mereka mendiskusikan isu-isu transgender dan melakukan kajian bersama.

Pada tahun 2018, ia juga tergabung dalam sebuah grup musik bernama Amoeba. Amoeba menjadi band transgender pertama di Indonesia. Bersama tiga temannya, grup itu didirikan atas dasar kesadaran untuk menyuarakan isu-isu transgender.

“Lagu-lagu Amoeba itu lagu-lagu pergerakan,” tutur Jessica.

Dalam lagu-lagunya, mereka mempertanyakan alasan mereka tidak diterima dan segala bentuk penghakiman dalam masyarakat. Problem selalu dialami Jessica serta teman transgender lainnya untuk mendapat hak mereka. Mengutip lirik lagu yang dibawakan oleh Amoeba, “I’m sick of being judged, I’m tired of the stupidity. I just wanna live my life. This is my life, this is my destiny.”

Sejak kecil Jessica memang telah tampil jujur terhadap kecenderungannya. Transpuan itu tumbuh di Venetie van Java, sebutan untuk Kota Semarang pada zaman Belanda. Ibunya menikah empat kali. Kali pertama adalah ketika ia berumur dua tahun. Sejak itulah ia tinggal bersama neneknya hingga lulus SMA.

Selesai sekolah Jessica bekerja menjadi sales di sebuah pusat perbelanjaan di Semarang. Ia merias wajahnya saat bekerja dan seringkali kena tegur oleh atasan. Tidak berlangsung lama, ia memilih berhenti lantaran di tempat itu, ia merasa tak bisa menjadi diri sendiri.

“Kamu kenapa? Kalo laki ya laki, kalo perempuan ya perempuan,” katanya meniru perkataan bosnya.

Jessica tidak betah. Dia mengaku tidak bisa menyelisihi nalurinya dan mulai mengekspresikan diri menjadi transgender selepas itu. Sejak kecil ia sudah memiliki kecenderungan seperti perempuan. Pun ketika masih seusia kanak-kanak, ia mengenali dirinya sebagai perempuan.

“Waktu TK aku gak pernah mau di barisan cowok. Kalau ditanyain guru, ‘loh kamu cewek apa cowok?’ Aku bilang ‘cewe.’”

Penolakan dan Batasan Berekspresi

Setelah keluar dari tempat bekerjanya, ia bertahan hidup dengan mengajar tari Jawa pada anak berkebutuhan khusus di SD Bina Harapan dan SMP 36 Fransiskus. Saat tampil sebagai diri sendiri di lingkungan itu, tak sedikit ia dihadapkan dengan berbagai penolakan.

“Itu kan struggling, ya. Selain mengajar tari juga harus menghadapi orang-orang yang transphobic,” ungkapnya.

Istilah transphobic atau transphobia merupakan serangkaian perlakuan dan perasaan benci terhadap kaum transgender. Sikap ini dapat membentuk perasaan tidak nyaman, takut, dan emosional pada mereka yang tidak nyaman terhadap keberadaan transgender.

Berbagai macam penolakan itu pun dialami Jessica hingga ia mengalami depresi pada tahun 2015. Ia mengaku mentalnya terguncang karena terus menerus termarjinalkan. Tidak ada yang menerima keberadaan dirinya. Lesmana akhirnya dirujuk ke rumah sakit jiwa dan diharuskan minum obat penenang selama delapan bulan.

“Aku ini apa, sih, kok aku ditolak terus, kenapa transgender kok ditolak terus?” gerutunya.

Penolakan terhadap transgender memang kerap terjadi pada masyarakat dan berakibat pada kesehatan mental para transpuan. Tekanan tersebut kerap kali berakibat pada susahnya mencari sumber penghidupan. Karena alasan transgender, Jessica harus berpindah-pindah pekerjaan.

Jessica juga sering dihadapkan pada kesulitan dan pembatasan berekspresi. Minimnya lapangan pekerjaan formal untuk transgender, mengakibatkan mereka harus mencari celah dan mengisi sektor-sektor informal yang rawan tanpa adanya perlindungan khusus. Ketika melamar kerja mereka juga dihadapkan dengan persoalan administrasi. Dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), status transgender belum jelas.

Mereka akhirnya banyak memilih berkecimpung di dunia seni, menjadi pengamen atau membuka salon kecantikan seperti dirinya saat awal kedatangan di Jogja. Meskipun, menurut Jessica, dalam prosesnya tetap tidak mudah. Ketika mereka memilih menjadi pengamen, mereka harus dihadapkan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang siap mengangkut mereka. Transgender dianggap sebagai penganggu ketertiban umum sama halnya dengan gelandangan dan pengemis.

Jessica pamit ke tempatnya magang. Pertemuan singkat kami siang itu pun harus berakhir. Saya pulang dan masih mengingat perkataannya, “Masih banyak transgender lain yang masih struggle, ditolak oleh keluarga, lingkungan, dimarginalkan oleh kota dan memilih sektor informal dengan tanpa jaminan sosial dan hukum yang jelas.” Tampil menjadi diri sendiri tidaklah mudah. Dan menjadi transgender di Indonesia ternyata masih sulit.

Reporter Atikah Nurul Ummah | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Ilustrasi Muhammad Faqih Sampurno